Sukses

Saat Nazaruddin Kembali 'Bernyanyi' di KPK

Nyanyian Nazaruddin kali ini terkait dugaan korupsi proyek pengadaan e-KTP.

Liputan6.com, Jakarta - Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin rampung diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan e-KTP. Dia diperiksa untuk tersangka Sugiharto.

Usai diperiksa, M Nazaruddin kembali "bernyanyi" terkait kasus ini. Kali ini, "nyanyiannya" juga soal keterlibatan pihak lain. Dia merujuk pada mantan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Gamawan Fauzi. Nazaruddin pun berharap, KPK menetapkannya sebagai tersangka kasus dugaan korupsi e-KTP.

"Sekarang yang pasti e-KTP sudah ditangani oleh KPK. Kita harus percaya dengan KPK. Yang pasti Mendagrinya waktu itu (Gamawan Fauzi) harus tersangka," ucap Nazaruddin di Gedung KPK, Jakarta, Selasa, 26 September 2016.

‎Nazaruddin mengungkapkan, Gamawan sewaktu masih menjabat Mendagri diduga turut menerima gratifikasi terkait proyek e-KTP. Meski begitu, dia tak mau menyebut nominal uang yang diduga diterima Gamawan berkaitan proyek e-KTP senilai Rp 6 triliun ini.

"KPK kan memberantas untuk gratifikasi, yang terima gratifikasi kan salah satunya, ya menterinya (waktu itu). KPK itu sudah punya datanya semua, Gamawan terima uang berapa," ujar M Nazaruddin atau akrab disapa Nazar.

Mantan anggota DPR itu mengaku tak sembarangan umbar "nyanyian" ini. Sebab, dia sudah menjadi whistleblower atau saksi yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar suatu kasus.‎ Sebab, dulu dia pernah menyebut, proyek e-KTP merugikan negara sekitar Rp 2 triliun.

"Yang laporkan saya yang katanya bohong kan soal e-KTP ini. Sekarang buktinya benar kan, ada korupsi di e-KTP senilai Rp 2 triliun kan. Yang penting e-KTP (saya) jadi whistleblower dan e-KTP prosesnya jalan. Mudah-mudahan kerugian negaranya bisa balik. Itu tujuannya," kata Nazar.‎

Tuding Nama Lain

Sebelumnya, dalam berbagai kesempatan, Nazaruddin memang kerap "bernyanyi" terkait kasus dugaan korupsi proyek e-KTP ini. Terpidana kasus korupsi Wisma Atlet SEA Games Palembang, Sumatera Selatan, ini juga pernah mengatakan Ketua Umum DPP Partai Golkar, Setya Novanto diduga terlibat dalam kasus ini.

Novanto disebut eks Bendahara Umum Partai Demokrat itu sebagai orang yang memberi perintah untuk mengatur proyek e-KTP dan pembagian fee ke sejumlah pihak.

Namun, Novanto sudah membantah keterlibatannya dalam kasus itu. Menurut dia, Nazaruddin ‎hanya mengada-ada. Dia menegaskan, tak terlibat dalam kasus ini.

Penyidikan 2 Tahun

KPK telah mendalami kasus e-KTP pada tingkat penyidikan hingga dua tahun lebih. Pada kasus ini, KPK baru menetapkan satu tersangka, yakni Sugiharto.

Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri itu dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.

Sugiharto juga berperan sebagai pejabat pembuat komitmen dalam sengkarut proyek senilai Rp 6 triliun itu. Dia diduga telah menyalahgunakan kewenangan sehingga merugikan keuangan negara sebesar Rp 2 triliun.

‎Berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dilakukan pada semester I pada 2012 silam, ditemukan adanya pelanggaran dalam pelaksanaan tender e-KTP, yakni melanggar Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Pelanggaran tersebut telah berimbas kepada penghematan keuangan negara.

Dalam auditnya, BPK menemukan ketidakefektifan pemakaian anggaran dalam proyek ini sebanyak 16 item dengan nilai Rp 6,03 miliar, dan tiga item senilai Rp 605,84 juta. Kemudian terdapat lima item yang diindikasikan merugikan keuangan negara senilai Rp 36,41 miliar, dan potensi kerugian negara sebanyak tiga item senilai Rp 28,90 miliar.

Selain itu, BPK juga menemukan pelanggaran dalam proses pengadaan proyek e-KTP.‎ Dari hasil audit BPK juga disimpulkan bahwa konsorsium rekanan yang ditunjuk, yakni Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI), tidak dapat memenuhi jumlah pencapaian e-KTP. tahun 2011 yang telah ditetapkan dalam kontrak. Hal tersebut terjadi karena PNRI tidak berupaya memenuhi jumlah penerbitan E-KTP tahun 2011 sesuai kontrak.

Dalam audit BPK disebutkan juga terdapat "kongkalikong" yang dilakukan antara PT PNRI dengan Panitia Pengadaan. Persekongkolan itu terjadi saat proses pelelangan, yakni ketika penetapan Harga Perkiraan Sendiri (HPS).

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.