Sukses

OPINI: Pertempuran 3 Figur Kuat di Pilkada DKI

Pertarungan pilkada kali ini bukan saja pertarungan antar masing-masing kandidat, melainkan juga pertarungan 3 figur kuat di negeri ini.

Liputan6.com, Jakarta - Pilkada DKI Jakarta pada 2017 ini sangat menarik untuk dicermati. Bahkan lebih menarik dari Pilkada DKI 2007 dan 2012. Karena pertama, pasangan yang muncul bukan hanya dua, tetapi tiga. Yaitu, pasangan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok – Djarot Syaiful Hidayat, Anies Baswedan-Sandiaga Uno, dan pasangan Agus Harimurti – Sylviana Murni.

Kedua, dua penantang Ahok tersebut adalah dua nama yang selama ini tidak beredar dalam pemberitaan maupun survei opini publik. Nama Agus yang diusung oleh partai Demokrat, PPP, PKB, dan PAN adalah nama yang sama sekali tidak beredar dalam sorotan survey maupun pemberitaan.

Sedangkan nama Anies baru muncul menjelang pendaftaran di KPU DKI Jakarta ditutup. Sehingga, kemunculannya boleh dibilang cukup mengejutkan publik maupun lawan politiknya.

Sisi menarik lainnya adalah ketiga pasangan tersebut dibekingi oleh tokoh-tokoh kuat di republik ini.

Di belakang pasangan Ahok-Djarot ada Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, di belakang Anies-Sandiaga ada Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, dan pasangan Agus-Sylviana Murni ada Ketua Umum Partai Demokrat yang juga mantan Presiden dua periode Susilo Bambang Yudhoyono.

Sehingga, pertarungan pilkada pada kali ini bukan saja pertarungan antar masing-masing kandidat dengan kekuatannya masing-masing, melainkan juga pertarungan tiga figur kuat di negeri ini.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana kekuatan elektoral masing-masing kandidat tersebut?

Hingga saat ini, belum ada lembaga survei yang merilis bagaimana peta kekuatan dan dukungan masing-masing kandidat. Hanya yang pasti, masing-masing figur yang sudah resmi mendaftar ke KPU DKI itu memiliki kekuatan dan kelemahan yang akan menjadi penentu kemenangan dan kekalahannya.

Ahok–Djarot, misalnya, ia sudah memiliki modal dari segi popularitas dan kinerja. Mengingat pasangan ini adalah pasangan inkumben dengan tingkat popularitas di atas rata-rata, dan tingkat kepuasan kinerja yang lebih dari 50 persen. Biasanya, calon yang memiliki tingkat kepuasan di atas 50 persen itu sulit dikalahkan.

Sementara Anies, merupakan figur yang sudah relatif dikenal oleh masyarakat. Seperti diketahui ia adalah mantan calon presiden pada konvensi Partai Demokrat untuk pilpres 2014.

Ia juga mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan selama dua tahun pada Kabinet Kerja Jokowi-JK. Nyaris dari sisi kinerjanya sebagai menteri tidak mengecewakan publik. Di sisi lain, Anies juga memiliki kemampuan intelektual dan retorika yang cukup mumpuni untuk meyakinkan masyarakat.

Sementara Agus Harimurti, adalah sosok yang memiliki kemampuan dari segi akademik, karier militer yang cukup cemerlang. Sayangnya, figur Agus belum relatif dikenal publik dari sisi kiprah di tengah-tengah publik.

Namun demikian, seiring dengan sedang dimulainya tahapan pilkada setelah pendaftaran di KPU DKI, kita patut menunggu bagaimana kedua penantang Ahok-Djarot mengemas visi dan misinya. Begitu juga dengan strategi politik yang akan dijalankannya seperti apa.

Kemunculan Anies sebagai penantang Ahok tentu tidak bisa dianggap enteng. Karena selain disokong oleh Partai Gerindra, ia juga diusung oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Seperti diketahui, PKS adalah partai yang memiliki basis kader yang cukup kuat di DKI Jakarta.

Pada Pilkada DKI 2007, PKS mampu tampil sendiri dengan mengusung Adang Daradjatun dan Dani Anwar melawan pasangan Fauzi Bowo dan Prijanto, yang didukung oleh banyak partai politik. Meski harus menelan pil pahit, namun perolehan suara PKS cukup siginifikan.

Ia memperoleh suara sebesar 1.535.555 (42,13%) dan pasangan Fauzi Bowo dan Prijanto 2.109.511 (57,87%).

Begitu juga halnya dengan Agus Harimurti. Meski kemunculannya boleh dibilang sebagai calon dari langit DKI Jakarta atau sangat tiba-tiba tanpa diprediksi banyak pihak sebelumnya, kehadirannya tidak bisa dianggap remeh. Mengingat ia sosok dengan yang cukup ganteng dan pintar.

Pada saat yang sama, SBY sebagai bapak dari Agus pasti akan turun all out untuk kemenangan anaknya itu. Terlebih, SBY adalah politikus yang memiliki strategi pencitraan yang cukup baik, yang membawanya menjadi presiden dua periode.

Dia juga memiliki perkawanan elite yang banyak, disertai dengan logistik yang kuat, tentu akan dikerahkannya untuk kemenangan putranya tersebut.

Ahok sebagai calon yang sudah sejak awal mendeklarasikan diri sebagai cagub dan digadang-digadang sebagai calon terkuat, tidak bisa lengah menghadapi dua duet penantangnya. Pekerjaan besar Ahok dan Djarot jika ingin mempertahankan tapuk posisi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, setidaknya dia harus melakukan dua hal.

Pertama, ia harus memelihara tingkat kepuasan publik atas kinerjanya yang sudah di atas 50 persen. Kedua, ia harus memastikan mesin partai politik bekerja dengan kompak.

Karena Ahok berpasangan dengan Djarot, yang merupakan kader politik PDIP, ini menjadi kelebihan tersendiri. Mengingat PDIP adalah partai terbesar di DKI Jakarta dengan perolehan suara terbesar. Yakni 1.231.843 suara. Sementara partai pengusung lainnya seperti Nasdem memiliki 206.117 suara, Hanura (357.006), Golkar (376.221). Total perolehan suara keempat parpol itu 2.171.181 suara.

Sementara jumlah suara gabungan Partai Gerindra dan PKS pengusung Anies–Sandiaga sebesar 1.016.958 suara. Yang terdiri dari 592.558 suara untuk Gerindra dan 424.400 suara pemilih PKS.

Adapun total jumlah suara partai pengusung Agus-Sylviana mencapai 1.246.096 suara. Yang terdiri dari Partai Demokrat (360.929 suara), PPP (452.224), PKB (260.159), dan PAN (172.784).

Di atas kertas, data tersebut menunjukkan superioritas calon petahana di banding dua penantang lainnya. Namun, seperti sudah banyak terbukti dalam berbagai pilkada maupun pilpres, kemenangan calon tidak bergantung pada kekuatan suara partai pendukung, tetapi pada sosok figur dan kerja-kerja politik dari masing-masing partai.

Kalau saja partai pengusung tidak menunjukkan kebersamaan dan kekompakan dalam menyusun dan menjalankan strategi pemenangan, bukan tidak mungkin calon petahana dengan kekuatan partai paling besar, akan ditumbangkan oleh salah satu dari dua penantang yang kekuatan partainya lebih rendah.

Karena itu, dugaan adanya konflik internal dari partai pengusung Ahok-Djarot, seperti yang diberitakan baru-baru ini, tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Karena hal tersebut bisa menjadi sumbu malapetaka pilkada bagi pasangan Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.