Sukses

Dekan Psikologi UI Sebut Ahli Kubu Jessica Bukan dari Kampusnya

Kasus pembunuhan berencana terhadap Mirna Salihin dengan terdakwa Jessica Wongso masih bergulir di persidangan.

Liputan6.com, Jakarta - Kasus pembunuhan berencana terhadap Wayan Mirna Salihin dengan terdakwa Jessica Kumala Wongso masih bergulir di persidangan. Sejumlah ahli yang pernah dihadirkan bahkan perang pendapat hingga di luar pengadilan.

Setelah dua ahli yang dihadirkan pihak jaksa penuntut umum (JPU) mendadak menggelar konferensi pers untuk membantah pernyataan ahli kubu Jessica, ‎kini serangan baru kembali menyasar kubu Jessica. Status Dewi Taviana Walida Haroen sebagai ahli yang dihadirkan kubu Jessica dipertanyakan.

Dekan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI), Dr Tjut Rifameutia Umar Ali menyebut, Dewi bukan merupakan staf pengajar di almamaternya. ‎Psikolog yang bersaksi di persidangan kasus Jessica ke-22 itu tidak terafiliasi dengan UI.

"Yang bersangkutan bukanlah staf pengajar, peneliti, atau psikolog yang terafiliasi dengan Universitas Indonesia," ujar Rifameutia melalui pesan tertulisnya di Jakarta, Jumat (23/9/2016).

Rifameutia menjelaskan, hal ini harus diluruskan karena banyak yang mengeluh dan mempertanyakan status Dewi yang disebut sebagai ahli psikologi UI. Namun ia mengakui, Dewi memang alumnus UI pada 1984.

"Dia masuk pendidikan dengan nama Dewi Taviana Walida pada program S1 tahun 1984 dan memperoleh gelar Sarjana Psikologi pada tahun 1991. Tapi, yang bersangkutan tak pernah bekerja di lingkungan Fakultas Psikologi UI," ujar Psikolog UI ini.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Bukan Akademisi

Setelah ditelusuri, ternyata Dewi Taviana tidak mempunyai latar belakang pendidikan akademis, rekam jejak penelitian, atau rekam jejak pengabdian dalam bidang psikologi politik.

"Jadi, kami tidak bisa memberikan jaminan apakah yang bersangkutan memiliki kualifikasi yang bisa dipertanggungjawabkan dalam bidang psikologi politik," tutur Rifameutia.

Karena itu, kata Rifameutia, Fakultas Psikologi UI sangat keberatan apabila Dewi disebutkan sebagai Ahli Psikologi Politik dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. "Kami tidak mempunyai staf yang bernama Dewi Taviana Walida Haroen," tandas dia.

Dia menjelaskan, saat ini untuk menjadi psikolog harus menempuh pendidikan hingga jenjang S2 atau magister. ‎Memang zaman dulu lulusan S1 ilmu psikologi bisa menjadi seorang psikolog, tapi saat ini syarat itu ditingkatkan.

"Lalu, sebutan psikolog juga diberikan oleh asosiasi psikologi, yaitu HIMPSI, dan surat izin praktik juga diterbitkan oleh HIMPSI," jelas Rifameutia.

Rifameutia mengaku tidak mengetahui apakah Dewi Taviana yang dihadirkan kubu Jessica sebagai ahli psikologi itu mengantongi surat izin praktik dari HIMPSI atau belum. Surat izin praktik dari HIMPSI ini juga memiliki masa terbatas dan harus diperbaharui.

Karena itu, kata Rifameutia, ahli-ahli psikologi yang dihadirkan di persidangan seharusnya terlebih dulu ditanyakan terkait keabsahan izin praktiknya. "Karena ada beberapa keahlian, antara lain, klinis anak, klinis dewasa, psikolog sekolah, psikolog industri dan organisasi serta psikolog forensik," dia memungkasi.

Pada persidangan ke-22, Senin 19 September lalu, Dewi beberapa kali mengkritisi kesimpulan ahli psikologi yang dihadirkan JPU, yakni Antonia Ratih Andjayani. Dia menyebut metode yang dilakukan Ratih dalam assessment Jessica tidak lengkap.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.