Sukses

Terbalut Selang di Perut, Siswi di Bogor Tetap Semangat Sekolah

Wida divonis gagal ginjal sejak tahun 2010. Selama 6 tahun, gadis yang bercita-cita menjadi dokter ini sudah menjalani operasi berkali-kali.

Liputan6.com, Bogor - Wida Aprilia (13), gadis kecil asal Desa Pasir Jambu, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, Jawa Barat harus berjuang melawan penyakit gagal ginjal akut.

Sejak menginjak usia 8 tahun, vonis dokter menyeretnya rutin ke rumah sakit tiga kali dalam sepekan untuk menjalani cuci darah seumur hidup.

Kehidupan anak ketiga Syafrida (39) dan Burhanudin (45) tidak seperti anak seumurannya. Di saat teman-temannya sedang asyik bermain, bersantai atau belajar di sekolah, dia harus pergi untuk menjalani cuci darah di rumah sakit.

Meski begitu, niatnya untuk tetap belajar dan bersekolah tak pernah padam. Usai cuci darah, ia mempersiapkan buku-buku pelajaran untuk esok hari di sekolah.

Modal semangat dan rajin membuat Wida mendapat rangking 10 besar di kelasnya, bahkan ia bisa sampai diterima di SMPN 19 Kota Bogor.

Namun dalam beberapa bulan terakhir, aktivitasnya sangat terbatas setelah di area perut dipasang peritoneal, alat untuk mencuci dan membersihkan darah. Kondisi fisiknya pun semakin melemah sehingga ia tak bisa lagi konsentrasi untuk belajar.

"Enggak konsentrasi. Tapi saya berusaha tetap bisa sekolah," kata Wida, Rabu 21 September 2016.

Syafrida, orangtua Wida menuturkan, anaknya divonis gagal ginjal sejak tahun 2010. Selama enam tahun, gadis yang bercita-cita menjadi dokter sudah menjalani operasi lebih dari 10 kali. "Seminggu tiga kali harus cuci darah," ujar dia.

Cuci Darah Manual

Namun sejak lima bulan lalu, cuci darah dilakukan secara manual di rumah kontrakannya berukuran 4x5 meter itu. Keputusan untuk merawat sendiri anaknya lantaran terbentur biaya.

"Saya sendiri yang lakukan. Kalau cuci darah di RSCM perlu ongkos gede. Ini juga dokter yang nyaranin," tutur Wida.

Mulai pukul 06.00 WIB, Syafrida harus menyiapkan sejumlah peralatan untuk mencuci darah dengan cairan dialisat ke dalam tubuh anaknya melalui selang yang dipasang dekat pusar. Kemudian menguras sisa cairan dalam perut ke sebuah kantong khusus.

"Setiap dua jam sekali saya harus lakukan cuci darah sebanyak 1.000 mililiter," Wida menjelaskan.

Selama satu bulan, Syafrida harus menyiapkan 60 kantong cairan dialisat. Tak hanya itu, ia juga harus menyiapkan suntikan yang berisi cairan untuk menstabilkan tekanan darah anaknya.

"Saya juga harus nyiapin kain kasa sekali pakai seharga 15 ribu," ujar dia.

Meski seluruh biaya perawatan sudah ditanggung BPJS. Namun, beberapa obat dan alat medis untuk cuci darah tidak menjadi tanggungan asuransi kesehatan nasional tersebut.

"Saya khawatir karena kondisi ekonomi, nanti berhenti di tengah jalan. Untuk bawa cairan dialisat saja harus sewa mobil. Belum beli kain kasa dan lainnya," kata dia.

Saat ini, ada satu keinginan dari anak kesayangan itu yang hingga saat ini belum tercapai. Wida meminta tabung oksigen untuk membantu pernapasannya.

"Kalau abis cuci darah suka sesak napas," ujar istri seorang buruh bangunan itu.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini