Sukses

Kepala BPJN IX Bantah Jadi Aktor Suap Jalan Maluku-Maluku Utara

Amran Hi Mustary sempat ditawarkan apartemen di FX Sudirman, namun ditolak.

Liputan6.com, Jakarta - Kepala Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) Wilayah IX Amran Hi Mustary menolak jika disebut sebagai aktor utama dalam kasus dugaan suap proyek pembangunan‎ jalan di Maluku dan Maluku Utara pada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

"Amran bukan aktor utama di kasus ini," ujar Kuasa hukum Amran, Robinson di Jakarta, Kamis (25/8/2016).

Dia mengatakan, perkenalan awal Amran dan Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama, Abdul Khoir merupakan inisiatif Abdul Khoir. Dia mendatangi Amran yang baru saja dilantik sebagai Kepala BPJN IX pada pertengahan Juli 2015 lalu.

"Abdul Khoir memperkenalkan diri selaku kontraktor yang selama ini jadi rekanan BPJN IX yang meliputi Maluku dan Maluku Utara," kata Robinson.

Saat itu, Juli 2015, Amran pernah ditawarkan mobil Fortuner dan apartemen oleh Abdul Khoir. Namun ditolak secara tegas oleh Amran. Lalu pada Januari 2016 atau sebelum Damayanti Wisnu Putranti ditangkap tangan KPK, Amran kembali ditawari apartemen oleh Abdul Khoir.

"Ia sempat menawarkan apartemen di FX Sudirman, namun itu ditolak oleh Amran," kata Robinson.

Soal isu yang berkembang yang menyebutkan ada aliran dana mengalir ke Kementerian PUPR, kata Robinson, Amran tegas menyatakan jika dana tersebut tidak berkaitan dengan kasus yang sedang disidik KPK. Hal itu juga sudah dijelaskan kepada penyidik KPK dalam pemeriksaan maupun saat bersaksi di Pengadilan Tipikor.

"Itu sudah dijelaskan oleh klien kami ke penyidik KPK saat jalani pemeriksaan dan pada saat bersaksi di sidang-sidang sebelumnya,"‎ ujarnya.
 
‎Robinson menuturkan, dana yang disebut diterima Sekretaris Jenderal Kementerian PUPR, Taufik Widjojono telah dijelaskan dan dikembalikan ke Amran. Dia mengaku, ada bukti pengembalian dana tersebut.
 
Di persidangan hal itu juga diungkap oleh Taufik. Bukti pengembalian pun sudah ditunjukkan di dalam persidangan. "Termasuk (dana) yang ke Kepala Biro Perencanaan telah dikembalikan," kata Robinson.

Saat disinggung soal sisa aliran dana US$60 ribu ke Dirjen dan US$10 Ribu ke beberapa Direktur, Robinson tidak memberikan jawaban pasti. Ia tidak membantah ataupun membenarkannya. "Soal itu, nanti kita lihat di persidangan pembuktiannya," ucap Robinson.
‎
Dia menjelaskan, yang pasti sumber uang murni pinjaman yang dilakukan Amran ke pengusaha bernama Aseng sebesar Rp 2 miliar. Pinjaman itu juga telah diakui ole‎h Aseng saat dihadirkan sebagai saksi pada persidangan dengan terdakwa Abdul Khoir.

Tujuan pinjaman dana itu, lanjut dia, sesuai dengan penjelasan Amran, yang mana pada awalnya diperuntukkan untuk biaya perayaan ulang tahun Kementerian PUPR di Provinsi Maluku dan Maluku Utara sebesar Rp 600 juta sebagaimana proposal Ketua Panitia, untuk bantuan Pesparawi melalui ketua panitia sebesar Rp 250 juta, serta untuk kegiatan pameran pembangunan pada Oktober 2015 dan November 2015 sebesar Rp 150 juta.

Karena itu, dia menegaskan, kalau Amran bukan aktor utama dalam kasus ini. Karena, semua dana-dana telah dikembalikan dan dijelaskan dalam pemeriksaan KPK maupun di persidangan.

‎"Jadi saya tegaskan, jika Amran bukanlah aktor utama dari kasus itu seperti yang beredar. Kemudian dana-dana yang disebut ke pejabat Kementerian PUPR  semua sudah dijelaskan di muka persidangan," ucap Robinson.

KPK telah menetapkan tujuh orang menjadi tersangka dalam kasus dugaan suap proyek pembangunan jalan di Maluku dan Maluku Utara pada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Tiga di antaranya merupakan Anggota Komisi V DPR RI.

Ketiganya, yaitu Damayanti Wisnu Putranti dari Fraksi PDIP, Budi Supriyanto dari Fraksi Golkar, dan Andi Taufan Tiro dari Fraksi PAN. Mereka diduga menerima fee hingga miliaran rupiah dari Direktur PT Windu Tunggal Utama, Abdul Khoir.

Sementara tersangka lainnya yakni, Kepala BPJN IX Maluku dan Maluku Utara Amran HI Mustary, Abdul Khoir serta dua staf Damayanti, yakni Dessy A Edwin dan Julia Prasetyarini.

Abdul Khoir telah divonis bersalah oleh Pengadilan Tipikor. Dia divonis empat tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider lima bulan kurungan. Khoir didakwa bersama-sama memberi suap kepada pejabat di Kementerian PUPR dan sejumlah Anggota Komisi V.

Total uang suap yang diberikan Abdul sebesar Rp 21,38 miliar, SGD 1,67 juta, dan USD 72,7 ribu. Suap diberikan oleh Abdul bersama-sama dengan Komisaris PT Cahaya Mas Perkasa So Kok Seng alias Aseng dan Direktur PT Sharleen Raya (JECO Group) Hong Arta John Alfred.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini