Sukses

Jejak Megalitik di Tana Sumba

Keyakinan adat Marapu membuat masyarakat Sumba, NTT, makin dekat dengan leluhur dan Tuhan. Mereka menyembah nenek moyang sebagai penghubung dengan Tuhan.

Liputan6.com, Sumba: Langit adalah rumah tempat bersemayam arwah nenek moyang di bawah lindungan Mawulu Tau Majii Tau. Dari langit, Tuhan Agama Marapu diyakini mampu menjawab berbagai persoalan hidup. Ada relasi yang cukup kuat antara manusia yang hidup, roh nenek moyang, dan Tuhan.

Ribuan tahun sudah sebagian besar masyarakat adat Sumba, Nusa Tenggara Timur, memegang teguh keyakinan Marapu. Dalam sudut pandang etimologis, Marapu memiliki arti yang disembah atau yang didewakan. Ada juga yang memaknainya sebagai yang tersembunyi atau tidak terlihat. Bagi masyarakat setempat, selain kekuatan tinggi yang tidak terlihat, penganut Marapu juga memiliki Antala, yakni dewa tertinggi dan suci serta memiliki nilai magis kuat. Penganut Marapu sangat menghormati Anatala sehingga mereka tidak menyebut sembarangan. Agama Marapu diteruskan antargenerasi dengan menggunakan budaya tutur dan tidak ada kitab suci.

Penganut Marapu juga percaya jika mendapat mimpi buruk, bisa jadi pertanda ada sesuatu yang tidak beres yang akan menyerang orang yang mendapat mimpi tersebut dan seluruh warga kampung. Jika mendapati hal demikian, maka sebuah prosesi pemujaan pada nenek moyang harus segera digelar demi membuka tabir mimpi itu.

Sesepuh adat dan pendeta Marapu kemudian berkumpul di Uma Adung atau rumah peribadatan sambil merapalkan rangkaian kalimat doa. Empat ekor ayam yang dianggap sebagai mediator, petunjuk dari nenek moyang pun siap digunakan. Ayam kemudian dilihat hatinya. Sebab, ayam menjadi penting bagi penganut Marapu, sebagai simbol nenek moyang.

Satu per satu hati ayam diamati bergiliran. Jika hati ayam tak satu pun ada guratan, maka pertanda baik yang dipercaya mereka akan terjadi. Ayam-ayam tersebut kemudian dimasak untuk nantinya disantap bersama.

Tidak hanya itu, menurut adat penganut Agama Marapu, jika ada seorang yang meninggal berarti akan memperoleh kehidupan kekal dan bersemayam bersama leluhur. Sebab, bagi mereka, kematian adalah gerbang menuju langit. Bagi warga yang meninggal, harus dikuburkan di dekat rumahnya. Hal tersebut dimaksudkan agar roh keluarga yang tak terlihat tetap dekat.

Rumah warga setempat juga didesain tiga tingkat. Pada bagian bawah biasanya digunakan untuk kandang hewan, kemudian pada bagian tengah untuk penghuni rumah, lalu pada tingkat paling atas digunakan untuk benda-benda pusaka perlambang para dewa. Sebab, bagi mereka, rumah bukan hanya sebagai tempat tinggal tapi juga tempat bertemunya manusia dengan Tuhan.(BJK/ANS)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini