Sukses

Kisah Orangtua Korban Pencabulan Anak Berjuang Menuntut Keadilan

Rizali dari Sumenep mengajak enam remaja korban kekerasan seksual itu ke Jakarta, untuk mengadukan ke KPAI.

Liputan6.com, Jakarta - Ahmad Rizali tak tahu lagi harus mengadu kemana, pelaku pencabulan terhadap anak lelakinya masih berkeliaran bebas di dekat rumahnya.

Pria 40 tahun itu menahan geram. Pria yang sehari-hari bekerja sebagai nelayan ini tak terima, anak sulungnya MR yang masih berumur 14 tahun jadi korban pencabulan.

Tak hanya Rizali, lima teman anaknya juga menjadi korban yang sama. Mereka adalah AG, GR, SA, TF, dan AM. Rata-rata umur mereka antara 14 sampai 18 tahun.

Pelakunya diduga tetangga Rizali sendiri, si guru ngaji di Pasongsongan, Sumenep, Jawa Timur, MSN. Pria 45 tahun itu diduga mencabuli enam muridnya di rumahnya yang hanya berjarak 500 meter dari rumah Rizali.

Tak hanya di rumahnya, MSN juga diduga mencabuli enam muridnya di musala dan balai desa. Bahkan, tak hanya sekali, ulah bejad ini sudah ia lakukan bertahun-tahun.

Kini, sudah empat bulan terakhir waktunya tersita. Dari kantor polisi, kejaksaan, hingga rumah sakit jiwa, Rizali mengawal ketat kasus pencabulan terhadap anaknya dan lima remaja lelaki lainnya.

"Pelaku seperti kebal hukum, sekarang dia sudah bebas karena perkara kami tak kunjung P21," kata Rizali kepada Liputan6.com di Kantor Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jakarta, Senin (25/7/2016).

Rizali mengajak enam remaja korban kekerasan seksual itu ke Jakarta, untuk mengadukan ke KPAI. Sebab, ia sudah lelah dengan proses hukum yang tak kunjung usai di Jawa Timur.

"Saya sudah bolak-balik sampai Surabaya, udah ke Kejati, Kejari, dari laporan di Polsek sampai Polres Sumenep, bahkan ke Polda Jatim," keluh Rizali.

Rizali berharap KPAI mampu membantu mencari keadilan, anaknya trauma dan keluarganya malu atas pelecehan. Rizali rela meninggalkan pekerjaannya untuk sementara, agar korban lain yang juga teman anaknya dapat keadilan.

"Salah satu korban itu anak yatim piatu dan miskin, anaknya juga korban, sudah dua kali dicabuli pelaku," ujar Rizali.

Permainan Hukum?

Rizali sudah melaporkan dugaan pencabulan anak di bawah umur itu pada awal Februari 2016. Namun, laporannya tak kunjung naik ke persidangan. Alasan terakhir jaksa, MSN gila sehingga tak bisa disidang.

"Bagaimana gila? Dia ketua takmir masjid, anggota komite sekolah dan guru ngaji. Bahkan, pernah tertangkap tangan sedang melakukan itu (pencabulan) pada korban," kata dia.

Rizali pun curiga ada main antara jaksa dan MSN. Sebab, guru ngaji itu memang pernah mendekam 118 hari di penjara. Namun, karena tak bisa dihukum, akhirnya dia bebas demi hukum. Kasus ini bahkan sudah P19 atau ditolak kejaksaan hingga empat kali.

"Jaksanya tak mau menerima berkas karena katanya pelaku gila," ujar dia.

Rizali hampir putus harapan, sebab pelaku kejahatan seksual terhadap anaknya adalah orang berpengaruh di Sumenep. Tapi, ia tak patah arang dan terus mengadu hingga tingkat provinsi.

"Atas arahan Kapolda Jawa Timur (Irjen Pol Anton Setiadji), saya disarankan melapor ke KPAI di Jakarta," kata dia.

Enam bocah itu akhirnya bisa berkeluh kesah kepada Manajer Pengaduan KPAI Waspada. Saat bercerita, umumnya mereka masih mengalami trauma psikis yang berat. Mereka butuh rehabilitasi, untuk menghindarkan penyakit psikologis di masa mendatang.

"Mereka sangat trauma, kita harus cepat merehabilitasi sebelum mereka terlalu sakit," ujar Waspada.

Selain merehab kejiwaan para bocah itu, KPAI berjanji akan menyurati Kejaksaan Tinggi Jawa Timur dan Kejaksaan Negeri Sumenep. Surat ini nantinya meminta kejelasan dan klarifikasi dari kejaksaan, kenapa kasus yang sudah jelas itu tak kunjung diproses.

"Kami juga mempertanyakan dasar kejaksaan menyatakan pelaku gila," tegas dia.

Sementara, Furgon Maulana, penasihat hukum Rizali menyebutkan pihaknya akan langsung menyurati Jaksa Agung Muda Pengawasan Selasa besok.

"Kita akan langsung surati Jamwas dan berkoordinasi dengan mereka, soal jaksa yang menghalang-halangi kasus ini," ujar Furgon.

Saat ini, kasus pencabulan terhadap anak di bawah umur itu tengah ditangani Furgon. Kasus yang awalnya berada di tingkat kabupaten itu naik menjadi tingkat provinsi, dan juga mendapat dukungan dari KPAI.

"Kami meminta pengawalan dan pengawasan dari KPAI," pungkas Furgon.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.