Sukses

Korban Vaksin Palsu Laporkan RS Elizabeth Bekasi ke Polda Metro

Orangtua ingin RS Elizabeth membiayai medical check up seluruh pasien yang divaksin sejak 2006 sampai Juli 2016.

Liputan6.com, Jakarta - Orangtua korban vaksin palsu di RS Elizabeth, Bekasi mendatangi Unit SPK Polda Metro Jaya. Mereka melaporkan pihak rumah sakit, terutama Direktur Utama RS Elizabeth atas pemalsuan obat.

Kuasa hukum orangtua, Hudson Hutapea mengatakan, pihaknya melaporkan Direktur rumah sakit, dokter, hingga perawat dengan Pasal 196 dan 197 UU Farmasi tentang pemalsuan obat dan Pasal 62 UU Perlindungan Konsumen. Semua bukti yang dikumpulkan juga sudah diserahkan ke polisi.

"Buktinya berupa medical record, buku vaksin RS Elizabeth, juga hasil uji laboratorium Prodia, bahwa vaksin yang disuntikan di RS Elizabeth, hasil lab-nya non reaktif anti hb, atau non reaktif, atau negatif," jelas Hudson di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Sabtu (23/7/2016).

"Juga ada surat pernyataan yang ditandatangani oleh Direktur RS Elizabeth, dr Antonius Suryanto, bukti otentik pengakuan bersalah dan bertanggung jawab atas segala konsekuensi atas penggunaan vaksin palsu di RS Elizabeth," lanjut dia.

Orangtua ingin RS Elizabeth membiayai medical check up seluruh pasien yang divaksin sejak 2006 sampai Juli 2016. Kalau terbukti bersalah, setiap anak harus diberi asuransi kesehatan penuh.

"Kita ingin kasus ini terang benderang. Ini kehatan luar biasa. Harus ada yang ditersangkakan. Pengakuan direktur rumah sakit, dia mengaku menggunakan vaksin palsu sejak November 2015, dan merilis 150-an korban. Harusnya sudah cukup dibawa ke tahapan penyidikan," imbuh dia.

Hudson mengatakan, pengakuan rumah sakit awalnya mereka tidak tahu kalau vaksin yang masuk ternyata palsu. Tapi orangtua tidak percaya, bagaimana bisa rumah sakit memasukkan vaksin dari distributor tak resmi.

"Kami percaya Bareskrim dan Polda bisa mengungkap kasus ini. Kita ingin dorong ini supaya tuntas," sambung dia.

Pelaporan ini juga bukan tanpa alasan. Sudah banyak anak-anak yang sakit hingga satu bulan. Hal ini diyakini karena sang anak tidak memiliki antibody yang harusnya disuntikan saat imunisasi.

"Karena ia tak punya antiobody. Sehingga ia bertarung tanpa antibody. Kami bayangkan jika ia terserang penyakit. Ada juga yang terkena bintik-bintik merah, terkapar," ungkap Hudson.

Hudson juga mempertanyakan pernyataan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) yang menyebut tidak ada bahaya akibat vaksin palsu. Karena nyatanya sudah banyak anak yang menjadi korban.

"Bareskrim hanya menerapkan tersangka dengan Pasal 197 masalah izin edar. Ada upaya melokalisir mengamankan dokter dan rumah sakit. Kami mau ini diungkap semua. Diungkap jangan setengah-setengah. Enggak mungkin dokter enggak tahu adanya peredaran ini. Tindakan dokter itu kan melekat dengan korban terus menerus," tutur dia.

Sampai saat ini juga belum ada tanggung jawab dari pihak rumah sakit. Selama ini medical check up masih menggunakan biaya pribadi.

"Kami kemungkinan minggu depan akan membuat gugatan. Gugat Direktur rumah sakit, para dokter, Menkes dan BPOM," pungkas Hudson.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini