Sukses

Journal: Pro dan Kontra di Balik Nikmatnya Isapan Rokok Elektrik

Rokok elektrik beredar bebas di masyarakat. Namun BPOM mengingatkan keberadaan zat berbahaya di dalam uap yang diisap dari rokok ini.

Liputan6.com, Jakarta - Uap putih diembuskan dari mulut Raymond Sahetapy untuk kesekian kalinya sore itu. Tak sendirian, dalam ruangan ber-AC samping bengkel Vespa miliknya, Raymond mengisap rokok tanpa asap itu bersama dua temannya.

“Eh, gue ada dua liquid rasa baru nih, menurut gue enak,” tutur salah satu teman Raymond. Ucapannya disambut antusias oleh yang lain.

Pada akhir pekan, bengkel Vespa yang terletak di kawasan Tangerang Selatan ini memang kerap menjadi tempat berkumpul pencinta rokok elektrik atau yang kini disebut vape ini. “Biasanya customer bengkel saya yang juga nge-vape kumpul di sini. Kumpul bareng aja. Kalau ada liquid baru, kita share,” kata Raymond kepada Liputan6.com.

Raymond adalah satu dari sekian banyak pengguna rokok elektrik di Indonesia. Seperti pengguna rokok elektrik lain, benda ini merupakan salah satu cara pria berkepala pelontos itu keluar dari candu rokok tembakau. Setelah dua tahun mengisap rokok elektrik, ia mengaku tak lagi menyukai rokok tembakau. Padahal sebelumnya ia perokok berat dan bisa menghabiskan dua bungkus rokok tembakau sehari.

Toko rokok elektrik sekaligus tempat berkumpul para pecinta rokok elektrik. (Awan Harinto/Liputan6.com)

“Saya mau vaping in term buat berhenti merokok. Karena saya merasa, mungkin karena umur juga, mulai terasa sesak. Ini adalah alternatif, belakangan saya percaya ini penyelesaiannya. Bukan hanya jadi solusi, tapi jawaban untuk saya pribadi,” kata Raymond.

Setelah menjadi perokok elektrik, kini ia merasa jauh lebih segar saat bangun tidur. Tanpa ada rasa sesak maupun dahak di tenggorokannya. Melihat dampak positif pada tubuhnya ia mengatakan rokok elektrik lebih aman dari rokok tembakau, meski tetap melihat ada bahaya.

“Namun sisi berbahayanya menurut saya, vaping, tetap gimana pun juga, ada bahan kimia yang dimasukkan ke tubuh,” tuturnya.

Tak sekadar menjadi tempat jual beli alat maupun cairan rokok elektrik, toko rokok elektrik juga menjadi tempat berkumpul pengguna rokok elektrik. (Awan Harinto/Liputan6.com)

Pengguna rokok elektrik lainnya adalah Patrick Sinaga yang hampir dua tahun menggunakan rokok ini. Ia sudah mencari tahu mengenai bahaya atau tidaknya rokok elektrik. Patrick pun pada akhirnya tetap memilih menggunakannya guna membantu lepas dari rokok tembakau.

“Sampai sekarang belum ada penelitian yang konklusif, yang diakui benar-benar ini (rokok elektrik) berbahaya. Sedangkan banyak juga penelitian bilang ini tuh lebih baik, dan tak berbahaya. Sekarang balik ke pilihan kita juga,” tutur Patrick saat ditemui di sebuah toko rokok elektrik di kawasan Jakarta Pusat.

Meski banyak digunakan, pihak medis tidak merekomendasikan rokok elektrik sebagai cara untuk berhenti merokok. Menurut dokter spesialis paru dari Klinik Berhenti Merokok RSUP Persahabatan Jakarta Agus Dwi Susanto, rokok elektrik memiliki potensi menimbulkan kanker maupun memicu masalah pada kesehatan saluran pernapasan.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Bahaya dalam Tangki

Rokok elektrik hadir pada 1963 oleh Herbert A Gilbert dari Amerika Serikat dengan paten "a smokeless non-tobacco cigarette". Lalu pada 2003, perusahaan farmasi Hon Lik dari Tiongkok membuat rokok elektrik modern.

Rokok ini dipatenkan pada 2004, lantas kemudian menyebar ke seluruh dunia dengan berbagai merek seperti dikutip dari studi yang ditulis Hajek bertajuk Electronic cigarattes: review of use, content, safety, effects on smokers and potential for harm and benefit.

Rokok elektrik atau vape terdiri dari dua hal utama yakni alat (device) dan cairan (liquid). (Awan Harinto/Liputan6.com)

Pada awal kehadirannya, rokok elektrik memang digunakan sebagai alat bantu berhenti merokok atau nicotine replacement therapy (NRT). Namun seiring perkembangan, rokok ini tak lagi direkomendasikan sebagai alat bantu berhenti merokok dengan beberapa alasan kuat yang melatarbelakanginya.

“Sampai sekarang WHO dan FDA tidak merekomendasikan rokok elektrik karena aspek safety atau keamanannya,” tutur dokter Agus.

Pertama, dalam rokok elektrik tetap mengandung nikotin cair. Sehingga bila diisap terus-menerus masih menyebabkan adiksi karena pengaruh nikotin.

Aktivitas mengisap rokok elektrik. (Awan Harinto/Liputan6.com

Kedua, cairan dalam rokok elektrik yang berpotensi membahayakan. Selain nikotin, cairan rokok elektrik mengandung propylene glycol, glycerol, serta diethylene glycol. “Bahan-bahan tersebut bersifat karsinogen. Karsinogen artinya berpotensi menginduksi terjadinya kanker bila dikonsumsi atau digunakan secara terus-menerus,” tutur dokter Agus.

Dokter Agus juga menyampaikan bahwa uap yang dihasilkan tersebut mengandung radikal bebas. Karena itu, bila masuk ke dalam saluran napas bisa menyebabkan iritasi. Serta keluhan yang bersifat akut dan kronik. Akut misalnya menjadi batuk-batuk, napas tidak nyaman serta iritasi pada radang paru-paru.

Selain itu, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sudah melakukan kajian mengenai rokok elektrik. Salah satu hasilnya adalah sebagian besar rokok elektrik mengandung nikotin dan dalam beberapa studi ditemukan kadar yang lebih tinggi dibandingkan dengan tercantum pada label.

Kandungan cairan dalam rokok elektrik dapat berupa zat adiktif dan zat tambahan yang bersifat karsinogen bisa memicu masalah pada kesehatan.

“Beberapa flavor (perisa) itu kalau dipanaskan menjadi bahan yang berbahaya bersifat karsinogenik dan toksik. Karsinogenik itu pada jangka panjang menyebabkan kanker. Sementara itu toksik ya racun bagi manusia,” tutur Direktur Pengawasan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif BPOM, Frida Tri Hadiati.

Berdasarkan bahaya yang ada, BPOM sudah merekomendasikan melarang penggunaan rokok elektrik. Meski faktanya hingga kini tak kunjung hadir regulasi yang dikeluarkan pemerintah.

Di tengah proses regulasi yang lamban perokok elektrik di Indonesia tetap. Data dari Global Adults Tobacco Survei 2011 di Indonesia menemukan sekitar 10,9 persen penduduk usia dewasa telah mendengar rokok elektrik dengan 0,3 persen yang menggunakan. Sebagian besar pengguna berusia 15-24 tahun dan 25-44 tahun.

Perokok elektrik yang ada menghadirkan pasar rokok elektrik di tengah kontroversi. Bagi para penjual, rokok elektrik aman digunakan karena cairan yang digunakan berasal dari bahan-bahan dengan status food grade. Mereka pun berharap segera dikeluarkan regulasi tentang rokok elektrik, tapi bukan untuk melarang melainkan mengatur.

3 dari 3 halaman

Semua Menunggu Regulasi

Salah satu pemilik toko rokok elektrik, Dimasz Jeremia berpendapat posisi pemerintah cenderung membiarkan rokok elektrik. Karena itu, industri berjalan terlebih dahulu sebelum hadirnya ketentuan dari pemerintah. Menurutnya pengaturan rokok elektrik amat penting.

“Yang kami harapkan adalah ini segera diregulasi. Kenapa? Ini adalah teknologi yang baru mulai, yakni efeknya kita melihat orang berhenti. Bukan cuma dari rokok ke vaping, tapi dari vaping juga. Jika diregulasi, opportunity yang ada tidak kebablasan. Sehingga orang tidak hanya produksi (cairan) saja melainkan juga prosesnya,” kata Dimasz.

“Dengan adanya aturan, semua yang diproduksi di Indonesia itu memenuhi standar pemerintah. Akhirnya kita nggak membuat celaka orang. Karena kita pengen vaping ini untuk kebaikan,” ujar Dimasz menegaskan.

Tak sekadar menjadi tempat jual beli alat maupun cairan rokok elektrik, toko rokok elektrik juga menjadi tempat berkumpul pengguna rokok elektrik. (Awan Harinto/Liputan6.com)

Selain itu, hadirnya regulasi membuat para penjual cairan rokok elektrik bisa membayar pajak. Ini tentu menjadi keuntungan tersendiri bagi pemerintah.

Dimasz merasa, bila rokok elektrik dilarang di Indonesia akan ada banyak kerugian. “Kalau dilarang, vaping tetap ada, ini jadi black market. Ini artinya pemerintah kehilangan kerugian banyak. Kita jadi nggak bisa bayar pajak, kehilangan data, pemerintah kehilangan kontrol terhadap siapa yang vaping siapa yang produksi dan segala macam,” tegas Dimasz.

Sayangnya, hingga kini rokok elektrik di Indonesia masih dianggap sebagai barang elektronik. Bukan barang yang bisa dikonsumsi atau masuk ke dalam tubuh. Karena itulah, pengawasan bukan berada di bawah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), melainkan di bawah Kementerian Perdagangan.

Namun, pada awal 2015 BPOM sudah melakukan kajian data baik dari dalam maupun luar negeri tentang rokok elektrik. Kajian tersebut ditujukan kepada Menteri Kesehatan RI. Berdasarkan kajian yang ada, BPOM menyatakan kiranya pemerintah melarang penggunaan rokok elektrik.

Kementerian Kesehatan RI juga sudah menerima berkas tersebut lalu sudah mengirimkan surat ke Kementerian Perdagangan pada 2015. “(Kementerian Kesehatan) Sudah bersurat pada Kementerian Perdagangan pada sekitar awal 2015 bahwa barang ini sebaiknya dilarang peredaran di Indonesia karena tidak menyehatkan untuk masyarakat yang menggunakannya. Namun memang sejauh ini kami belum tahu reaksi dari Kementerian Perdagangan,” tutur Direktur Penyakit Tidak Menular, Lily Sriwahyuni Sulistyowati.

Satu tahun telah berlalu, tapi hingga kini belum ada kejelasan mengenai rokok elektrik. Lily, menganggap perlu mengajak kementerian terkait untuk duduk bersama membicarakan hal ini.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.