Sukses

Mendag: Hilangkan Kuota Impor, Harga Daging Sapi Dapat Bersaing

Mendag Thomas Lembong mengupas sejumlah persoalan mulai dari pengadaan daging sapi hingga dampak Brexit.

Liputan6.com, Jakarta - Harga daging sapi melambung saat Ramadan dan menjelang Lebaran. Pemerintah pun telah menggelar operasi pasar dalam beberapa pekan terakhir.

Namun, operasi pasar tersebut belum bisa mendorong harga daging sapi turun ke level yang diinginkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Penyebab utama sulit turunnya harga daging ini karena keterlambatan pengadaan pasokan dan faktor distribusi yang tidak efisien.

Kementerian Perdagangan bersama dengan beberapa kementerian lain sebenarnya telah menggelontorkan puluhan ton daging sapi ke pasaran. Hanya saja, cara tersebut ternyata belum ampuh untuk mendorong harga daging sapi ke angka Rp 80 ribu per kilogram.

"Harga daging belum mencapai target Rp 80 ribu per kg secara merata. Kami sudah menggelontorkan puluhan ton daging sapi ke banyak titik distribusi dengan Rp 80 ribu per kg," ucap Mendag Thomas Lembong saat berbincang di Studio Liputan6, SCTV Tower, Senayan, Jakarta Pusat, belum lama ini.

Thomas menduga, penyebab sulit turunnya harga daging sapi di pasaran karena pemerintah terlambat melakukan pengadaan daging sapi. Dengan pengadaan yang terlambat tersebut menyebabkan distribusi ke daerah juga terhambat.

Sebenarnya Presiden Jokowi telah memberi instruksi untuk memperbanyak pasokan sejak akhir tahun lalu. "Khusus kondisi saat ini memang harus diakui kami agak telat melaksanakan perintah Presiden, yang sudah diperintahkan akhir tahun lalu," ujar dia.

Selain itu, ia mengatakan tingginya harga daging sapi karena sistem rantai pasok yang tidak efisien. Dia mengatakan, rantai pasok daging saat ini mengandalkan daging segar, sehingga tidak bertahan lama. "Indonesia sangat cenderung konsumsi daging segar, ayam ataupun sapi," imbuhnya.

Thomas menyatakan pemerintah telah berupaya menekan harga daging sapi di pasaran. Operasi pasar dengan daging beku menjadi alternatif masyarakat untuk pemenuhan daging murah.

"Ada daging yang terjangkau, tapi tentunya belum mencapai harga rata-rata segitu (Rp 80 ribu per kg) seluruh golongan daging," Thomas menambahkan.

Ketergantungan Impor

Tak hanya itu, minimnya negara pemasok sapi ke Indonesia juga membuat harga daging sapi menjadi mahal. Saat ini, Indonesia hanya bergantung dari pemasok tunggal, yakni Australia.

Thomas Lembong menuturkan, sedikitnya negara pemasok sapi ke Indonesia membuat tidak ada persaingan di pasar daging impor. Dia mengatakan, Indonesia perlu mencari negara pemasok sapi lain sehingga tercipta persaingan dan harga daging di pasaran menjadi turun.

Mendag mengakui, hal ini merupakan masalah yang berlangsung cukup lama. Dia mengatakan, ketergantungan hanya pada satu negara membuat Indonesia tak memiliki posisi tawar.

"Saya kira memang satu industri apa pun dibiarkan begitu saja seterusnya akan status quo, mungkin kurang persaingan," Thomas menambahkan.

Dalam pandangan Mendag, sistem kuota impor daging sapi pun perlu dihilangkan. Ia beralasan, hal tersebut menjadi penghalang pengadaan daging dan berdampak pada tingginya harga di pasaran.

"Sayangnya demikian. Saya pribadi sangat mendukung kalau kita bisa menghilangkan sistem kuota sama sekali," ia menjelaskan.

Terlebih, menurut Thomas, peternak selama ini tidak menikmati tingginya harga daging sapi. Lantaran itulah, untuk menekan harga daging sapi mesti memperbaiki rantai pasokannya terlebih dahulu.

Dampak Brexit

Tak hanya mengupas permasalahan daging sapi, Mendag Thomas Lembong juga menanggapi soal dampak keluarnya Inggris dari Uni Eropa.

Hengkangnya Inggris dari Uni Eropa melalui referendum Brexit (Britain Exit) pada 23 Juni lalu, kini membuat sejumlah pihak khawatir terhadap dampaknya. Bukan tanpa alasan, Brexit dianggap bakal menimbulkan gejolak pada perekonomian global.

Kendati demikian, Menteri Perdagangan (Mendag) Thomas Lembong menyatakan, Brexit tidak berdampak secara langsung ke Indonesia dan Asia Tenggara lainnya. Sebab, Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya tak memiliki relasi perdagangan yang besar dengan Inggris.

"Yang dikhawatirkan semua Asia Tenggara bukan dampak langsungnya. Saya kira, Inggris sebagai mitra dagang dan investasi relatif tidak dominan bagi kebanyakan negara Asia Tenggara," ujar dia.

Hanya saja, Thomas menuturkan yang menjadi kekhawatiran saat ini ialah dampak tidak langsung dari Brexit. "Yang kami khawatirkan dampak tidak langsung sentimen global. Nafsu investor (untuk) investasi."

Lalu, bagaimana soal efisiensi terkait pemotongan anggaran di Kementerian Perdagangan? Simak selengkapnya wawancara khusus Liputan6.com dengan Menteri Perdagangan Thomas Lembong yang dipandu Pramita Andini berikut ini.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.