Sukses

OPINI: Inggris Setelah Brexit

Inggris adalah sumber investasi portofolio institusi asing terbesar kedua di Indonesia setelah Amerika Serikat.

Liputan6.com, Jakarta - Hasil referendum Brexit, terkait tetap bergabung atau berpisahnya Inggris dari Uni Eropa, telah menimbulkan turbulensi politik maupun ekonomi. Hanya dalam hitungan jam, Perdana Menteri David Cameron mengumumkan pengunduran diri sebagai bentuk tanggung jawab atas hasil referendum, yang semula ditujukan untuk meredam konflik internal Partai Konservatif yang saat ini sedang berkuasa.

Kuat dugaan Boris Johnson akan menggantikan Cameron, mengingat posisi Johnson sebagai pendukung terkuat kubu Konservatif atas berpisahnya Inggris dari Uni Eropa. Hal yang unik, Johnson hingga Februari lalu masih berada dalam kubu mendukung Inggris tetap sebagai anggota Uni Eropa.

Partai Buruh sebagai oposisi pun tidak kurang terguncang. Tujuh menteri bayangan mengundurkan diri yang diduga kuat menunjukkan perpecahan di dalam Partai Buruh, dan tekanan kuat bagi Jeremy Corbyn untuk mengundurkan diri dari posisi pimpinan partai, mengingat Partai Buruh Inggris adalah pendukung terkuat tetap tergabungnya Inggris dalam Uni Eropa.

Guncangan di sisi politik Inggris ini sebanding dengan guncangan ekonomi dan keuangan yang terjadi. Nilai tukar Poundsterling pada Jumat lalu sempat terpangkas 10 persen, dan menjungkirkan posisi nilai tukar Poundsterling ke keadaan 30 tahun lalu.

Bersama dengan itu, bursa saham London pun mengalami guncangan, melalui penurunan harga besar-besaran sebagaimana ditunjukkan oleh pelemahan FTSE 100 yang sempat mencapai 9 persen, sebelum ditutup melemah 3,2 persen.

Aksi jual meluas ke bursa Amerika Serikat, setelah sebelumnya ikut membuat pasar Asia jeblok. Nilai kapitalisasi pasar global yang hilang pada 24 Juni lalu diperkirakan mencapai $2,1 triliun.

Kepanikan yang terjadi mengindikasikan derajat ketidakpastian yang akan terjadi di kemudian hari. Berdasarkan Pasal 50 Konstitusi Uni Eropa, proses keluarnya sebuah negara anggota akan memakan waktu setidaknya dua tahun, sebelum dapat berlaku efektif.

Selama rentang waktu tersebut, Inggris dan Eropa diperkirakan akan didera kelesuan ekonomi, sebelum titik keseimbangan baru dapat tercapai.

Hal ini terjadi mengingat dalam proses keluarnya Inggris dari keanggotaan Uni Eropa, terdapat banyak rangkaian negosiasi baru perlu dilakukan oleh Pemerintah Inggris dengan Uni Eropa, sebagai persyaratan administratif.

Guncangan politik Inggris yang terjadi mengisyaratkan akan munculnya pemerintahan koalisi baru, yang terpaksa mengakomodasi berbagai kepentingan yang dapat bertolak belakang dalam proses negosiasi dengan Uni Eropa. Dan sebagaimana sering terjadi, koalisi yang lemah cenderung menimbulkan instabilitas baru.

Perang Nilai Tukar?

Negosiasi panjang Inggris dan Uni Eropa ini akan berlangsung di tengah iklim perlambatan ekonomi Inggris, yang menggantungkan setengah nilai ekspornya ke Uni Eropa.

Demi mendorong pertumbuhan ekonomi, Bank of England sebagai bank sentral Inggris, diperkirakan akan memotong tingkat suku bunga Inggris sehingga terdapat ruang bagi Poundsterling untuk melemah lebih lanjut, hingga sekitar 15 persen dari keadaan sebelum referendum berlangsung.

Hal serupa tidak dapat dilakukan oleh Bank Sentral Eropa, yang posisi tingkat suku bunga acuannya telah nyaris nol.

Pelemahan Poundsterling ini selanjutnya akan membuat produk buatan Inggris menjadi relatif lebih murah dibandingkan produk negara-negara Uni Eropa, sehingga dapat menjadi isu tersendiri bagi kawasan Uni Eropa, yang sedemikian tergantung pada hasil ekspor sebagai penopang pertumbuhan ekonomi.

Negosiasi perdagangan dengan Uni Eropa dipastikan akan menjadi lebih sulit. Padahal bukan sebuah kemustahilan efek keluarnya Inggris dari Uni Eropa adalah terjadi perlambatan ekonomi Uni Eropa, akibat inefisiensi yang terjadi.

Melalui skema WTO, produk-produk Inggris masih dapat memasuki pasar Uni Eropa, kendati Inggris sudah bukan lagi anggota Uni Eropa.

Efek lanjutan dari melemahnya mata uang Poundsterling adalah lonjakan inflasi yang diperkirakan akan terjadi berbarengan dengan resesi pada 2017.

Keunggulan Inggris atas ekspor teknologi tinggi yang banyak diminati Eropa daratan akan melemah, sehingga lonjakan pengangguran akan dapat terjadi.

Industri keuangan Inggris adalah sektor yang akan sangat terpukul. Rencana merger antara London Stock Exchange dan Deutsche Borse akan sangat mungkin gagal, sebagai konsekuensi pembatasan pergerakan modal lintas batas yang akan terjadi.

Lebih lanjut pembatasan ini juga akan mendorong berbagai perusahaan keuangan Eropa melakukan eksodus besar-besaran dari London.

Dampak bagi Indonesia

Bagaimana dampak Brexit terhadap Indonesia? Perlambatan ekonomi dan hubungan yang lebih renggang dengan Uni Eropa, secara langsung dapat berdampak pada penurunan aktivitas investasi Inggris di Indonesia, baik melalui investasi portofolio maupun investasi langsung seiring perlambatan ekonomi Inggris.

Dampak  terbesar akan terasa pada sektor energi sebagai sektor yang menjadi konsentrasi aktivitas perusahaan Inggris di Indonesia, selain sektor keuangan dan investasi.

Di sisi investasi portofolio, BNY-Mellon melaporkan pada kuartal pertama 2016, Inggris adalah sumber investasi portofolio institusi asing terbesar kedua di Indonesia setelah Amerika Serikat, dengan nilai investasi mencapai $5,2 miliar, atau meliputi sekitar 15,9 persen dari besaran portofolio institusi yang ditanamkan di Indonesia. Melemahnya aktivitas industri keuangan di Inggris dapat berpengaruh negatif atas hal ini.

Di tengah ketidakpastian yang terjadi, masih terdapat beberapa titik harapan. Pada Februari lalu, Boris Johnson pernah mengisyaratkan kemungkinan dilakukannya Referendum gelombang kedua, yang akan lebih spesifik menentukan apa yang akan dilakukan Pemerintah Inggris, hal yang penting dilakukan agar pemerintahannya dapat berlangsung secara efektif.

Kendati tidak mudah, tetapi hal ini masih mungkin dilakukan. Sebab, 2 juta warga Inggris dalam waktu dua hari setelah referendum, telah mengajukan petisi kepada parlemen agar dapat dilakukan pembahasan serius terkait referendum ulang ini.

Angka ini terpaut selisih sangat tajam atas batas 100.000 ajuan yang biasanya menjadi angka minimum agenda pembahasan di Parlemen Inggris. Sementara proses tersebut berlangsung, kita masih akan menyaksikan gelombang ketidakpastian ekonomi dan politik yang masih akan berkecamuk.

 

**Ingin mendapatkan informasi terbaru tentang Ramadan, bisa dibaca di sini.

http://ramadhan.liputan6.com/?utm_source=Direct&utm_medium=ContentPromotion&utm_campaign=Ramadan_Festival

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.