Sukses

Penyuap Anggota Komisi V DPR Sebut Dirinya Korban Konspirasi

Khoir mengaku menyesal, karena uang yang dikumpulkannya dari tahun 2007 serta hasil pinjaman bank jadi terbuang sia-sia.

Liputan6.com, Jakarta - Pengadilan Tindak Pidana Korupsi kembali menggelar sidang perkara suap proyek di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), dengan terdakwa Abdul Khoir.

Saat menyampaikan nota pembelaannya, Direktur PT Windu Tunggal Utama itu menyebut dirinya adalah korban konspirasi di Komisi V DPR RI. Sebagai pengusaha, dia harus mengikuti aturan main yang dipandang sudah lumrah dengan memberikan sejumlah uang.

"Saya terpaksa ikut permainan yang salah dan jadi korban konspirasi pembagian jatah Komisi V DPR," ucap Khoir di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (30/5/2016).

Dia pun mengklaim, jika ingin mendapatkan proyek pemerintah dengan atas persetujuan DPR, maka harus memberikan sejumlah uang. Khoir pun mengaku menyesal, karena uang yang dikumpulkannya dari tahun 2007 serta hasil pinjaman bank jadi terbuang sia-sia.

"Uang sudah habis, masuk penjara pula. Sedangkan, proyek yang dijanjikan tidak dapat," keluh Khoir.

Dia pun berharap tidak ada lagi para anggota DPR mencoba meminta sesuatu kepada para pengusaha. "Tidak ada lagi yang main mata sehingga tidak ada korban lagi baik dari pengusaha, eksekutif, maupun legislatif. Cukup saya jadi korban," tandas Khoir.

Jaksa penuntut umum (JPU) menuntut Abdul Khoir, penyuap sejumlah anggota Komisi V DPR dengan pidan‎a penjara dua tahun enam bulan. Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama itu juga dituntut denda Rp 200 juta.

Khoir juga didakwa memberi suap kepada Kepala Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) IX Maluku dan Maluku Utara, Amran HI Mustary. Suap diberikan terkait proyek pembangunan jalan di Maluku dan Maluku Utara yang didanai dari dana aspirasi DPR.

Jaksa menimbang pada tuntutannya, bahwa perbuatan Khoir itu tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Perbuatan Khoir juga dinilai telah membuat pembangunan di Maluku menjadi terhambat dan merusak check and balances eksekutif dan legislatif.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini