Sukses


Ketua MPR Menilai Razia Atribut dan Buku Komunis Berlebihan

Mengenai keterlibatan TNI dalam penyisiran benda-benda berbau komunisme, Zulkifli juga mengatakan terlalu reaktif.

Liputan6.com, Jakarta - Aparat penegak hukum merazia atribut berlambang palu dan arit mirip lambang Partai Komunis Indonesia (PKI) dan menyita buku-buku berbau komunis atau sejarah PKI di sejumlah daerah Indonesia. TNI dan Polri menganggap perlunya menindaklanjuti penemuan benda-benda tersebut.

Namun, Ketua MPR Zulkifli Hasan berbeda pandangan. Ia menilai respons TNI-Polri berlebihan. Hal itu dinyatakan Zulkifli usai menghadiri acara wisuda perdana SMA Kebangsaan di Kalianda, Lampung Selatan.

"(Aparat penegak hukum) Terlalu reaktif," tegas Zul ketika dimintai pendapatnya terkait heboh penemuan atribut bergambar mirip lambang PKI dan razia buku berbau komunis, Minggu (15/5/2016).

Mengenai keterlibatan TNI dalam penyisiran benda-benda berbau komunisme, lagi-lagi Zul mengatakan hal yang sama. Namun ia enggan menjelaskan lebih jauh alasannya berbeda sikap dengan TNI-Polri.

"Terlalu reaktif, itu saja," tegas Zul.

Aparat penegak hukum ramai-ramai menyisir tempat-tempat penjualan benda-benda berbau PKI. Salah satunya yang disita adalah kaos berlambang palu arit yang merupakan gambar sampul album grup musik metal asal Jerman, Kreator yang mirip lambang PKI.

Kaos tersebut disita oleh aparat TNI-Polri dari kios-kios baju grup musik di tempat perbelanjaan Blok M Square dan Blok M Mal, Jakarta Selatan. Penjualnya pun digiring ke kantor polisi untuk dimintai keterangan.

Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Awi Setiyono mengatakan dasar tindakan polisi tersebut adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (Tap MPRS) Tahun 1996 yang isinya pembubaran PKI. Sehingga aparat penegak hukum harus peka terhadap potensi makar PKI.

"Masyarakat harus cerdas bahwa PKI adalah partai terlarang sesuai Tap Nomor XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran PKI. Jadi jika aparat langsung merespons hal-hal yang berkaitan dengan PKI, harap mengerti alasan kami," ujar Awi kepada Liputan6.com melalui pesan singkat, Selasa 10 Mei lalu.

"Dan ingat, ada ancaman hukumannya sesuai UU Nomor 27 Tahun 1999 tentang perubahan KUHP yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara. Hukumannya 12 tahun penjara," tegas Awi.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.