Sukses

OPINI: Pilkada DKI dan Bradley Effect

Liputan6.com, Jakarta - Politik identitas adalah persoalan menarik untuk Pilkada DKI 2017. Bagaimanakah pengaruh etnis dan agama terhadap keputusan pemilih dalam menentukan pilihannya pada hari pemungutan suara nanti?

Ini pertanyaan penting mengingat salah satu calon kuat memiliki etnis dan agama yang berbeda dengan mayoritas pemilih. Asumsi umum mengindikasikan bahwa pengaruh kedua faktor ini akan kecil.

Alasannya, para pemilih DKI adalah pemilih yang lebih rasional, terdidik, dan lebih kritis. Memang, dari segi pendidikan, pemilih Jakarta sekitar 45-50 persen berpendidikan SLTA dan sekitar 20-25 persen berpendidikan perguruan tinggi.

Profil pendidikan ini jauh lebih baik dibanding rata-rata daerah lain. Akses pemilih Jakarta kepada informasi juga jauh lebih besar karena relatif tak ada bagian Jakarta yang sulit diakses.

Anggapan umum mengatakan, pemilih yang rasional, terdidik, dan kritis memiliki kecenderungan memilih dengan alasan-alasan yang tidak terkait identitas.

Berbagai survei yang sudah dirilis ke publik juga relatif mengindikasikan bahwa faktor etnis dan agama mungkin tak terlalu berpengaruh. Hampir semua survei menunjukkan Ahok unggul dibanding nama-nama lain yang mungkin jadi pesaingnya.

Jawaban atas pertanyaan soal pengaruh kedua faktor ini juga menunjukkan hal yang sama. Misalnya, survei Populi Center yang dirilis Februari lalu menemukan bahwa sekitar 73 persen pemilih tidak mempersoalkan etnis dan hampir 50 persen tidak mempersoalkan agama sang calon gubernur.

Namun, sejumlah asumsi dan data umum tersebut belum dapat membawa kita pada kesimpulan bahwa faktor etnis dan agama tidak akan berpengaruh dalam Pilkada DKI nanti.

Identitas, terutama etnis dan agama adalah faktor yang bersifat laten. Ia ada di hampir semua masyarakat, terutama masyarakat yang multi-kultur seperti DKI. Akan digunakan atau tidak, akan berpengaruh atau tidak, tergantung pada sejumlah kondisi.

 

Teori umum politik identitas dan berbagai hasil penelitian menunjukkan, ada dua faktor pokok yang membuat etnis dan agama menjadi menarik dan muncul (salient) untuk dipakai dan berpengaruh dalam proses politik.

Pertama, ketika etnis dan agama menjadi faktor yang dipertaruhkan. Ada semacam keperluan untuk mempertahankan atau membela identitas yang dimiliki suatu kelompok.

Kedua, ketika proses politik tersebut berlangsung secara kompetitif. Artinya, proses politik itu menyebabkan kelompok-kelompok identitas saling berhadapan dan tidak ada yang dominan, sehingga tidak begitu jelas siapa yang akan menjadi pemenang sejak jauh-jauh hari.

Pemilihan umum, termasuk pilkada, adalah proses politik di mana berbagai faktor seperti identitas menjadi pertaruhan. Tinggal sekarang bagaimana aktor-aktor yang terlibat di dalamnya mengelola isu-isu seperti etnis dan agama, menjadi hal yang masuk pertaruhan.

Di Pilkada DKI 2017 nanti, kedua isu etnis dan agama jelas menjadi mudah dikelola untuk dijadikan bagian penting dalam pertaruhan.

Kita juga sudah mafhum bahwa banyak aktor, baik secara sendiri-sendiri ataupun bersama-sama sudah mulai menggunakan isu ini. Hal yang lumrah saja dalam suatu pertarungan politik, seperti juga di berbagai wilayah lain di Indonesia maupun negara lain.

Tinggal faktor kedua, soal kompetitif atau tidaknya pertarungan. Secara kelembagaan atau peraturan perundangan, Pilkada DKI memungkinkan untuk selalu kompetitif. Berbeda dengan daerah lain, Pilkada DKI mensyaratkan perolehan suara lebih dari 50 persen bagi seorang kandidat untuk ditetapkan sebagai pemenang.

Bila tidak didapat, maka harus ada putaran kedua pilkada. Ini berarti akan ada dua pihak yang saling berhadap-hadapan, kalau tidak di putaran pertama, maka di putaran kedua.

Bila kandidat yang saling berhadapan ini memiliki perbedaan etnis dan agama yang sangat jelas—terutama calon gubernur—maka faktor identitas menjadi faktor yang mungkin berpengaruh.

Selain faktor peraturan perundangan, sejumlah data temuan berbagai survei menunjukkan, kemungkinan faktor etnis dan agama berpengaruh dan membuat pilkada menjadi kompetitif.

Pertama, secara umum, semua survei menunjukkan tingkat popularitas yang sangat tinggi (hampir 100 persen) dan tingkat kepuasan yang juga tinggi (60–85 persen) terhadap petahana.

Di pilkada daerah lain, bila popularitas dan tingkat kepuasan kinerja petahana mencapai level tersebut, biasanya petahana menjadi kandidat yang dominan.

Namun angka elektabilitas spontan (top of mind) dari petahana DKI maksimal di angka 50-an persen. Meskipun ini angka yang cukup aman bagi petahana bila bisa bertahan sampai akhir, namun tetap menunjukkan ada gap yang besar dengan popularitas dan tingkat kepuasannya.

Muncul spekulasi: jangan-jangan ini ada kaitannya dengan faktor identitas.

Seperti di kebanyakan daerah lain, umumnya pemilih Jakarta tidak mempersoalkan etnis calon kepala daerah (70 persen). Namun, untuk etnis yang berbeda dengan etnis mayoritas, kita harus berhati-hati membaca data ini.

Di Amerika Serikat, para peneliti perilaku memilih (voting behavior) mengenal teori atau fenomena "Bradley Effect."

Ini soal para kandidat non-kulit putih dalam Pemilu Amerika Serikat yang seringkali unggul dalam survei, tapi kalah dalam pemilu sesungguhnya.

Fenomena ini mulai jadi perhatian ketika Tom Bradley, kandidat berkulit hitam, bertarung dalam pemilihan Gubernur California tahun 1982. Dia diprediksi sangat kuat akan memenangkan kursi gubernur, karena semua survei menunjukkan hal tersebut.

Kenyataannya dia kalah. Pemenangnya adalah kandidat berkulit putih. Diduga kuat penyebabnya adalah, para pemilih kulit putih dalam survei mengaku tidak mempersoalkan warna kulit kandidat, padahal mereka mempersoalkannya.

Dalam survei, mereka tidak ingin dianggap rasis atau kurang liberal/demokratis. Bisa saja fenomena yang sama terjadi dalam Pilkada DKI.

Yang mungkin menunjukkan juga adanya pengaruh identitas adalah elektabilitas petahana yang masih rendah di kalangan Muslim (19 persen – SMRC, Oktober 2015), dan hampir 50 persen pemilih yang menginginkan gubernur beragama Islam (Populi Center, Februari 2016).

Sejumlah indikasi ini seolah menjelaskan mengapa ada gap yang cukup besar antara popularitas dan kepuasan kinerja petahana dengan elektabilitas (terutama top of mind), padahal pesaing yang jelas belum ada.

Posisi Ahok sebagai petahana, mungkin dapat mengurangi kemungkinan pengaruh faktor etnis dan agama tersebut. Argumen yang bisa diajukan mungkin adalah argumen kinerja, yang mungkin akan diterima oleh pemilih Jakarta yang dianggap lebih rasional, terdidik dan kritis.

Namun ini tergantung pada bagaimana komunikasi sang petahana, dan tingkat resistensi pemilih terhadapnya. Jangan lupa, masih ada faktor lawan petahana yang sampai hari ini masih belum begitu jelas.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini