Sukses

Journal: Tanah Ambles Ibu Kota

Tanah Jakarta ambles hingga 11 sentimeter setiap tahunnya. Bagaimana penurunan ini terjadi, apa antisipasi pemerintah melindungi Ibu Kota?

Liputan6.com, Jakarta - Kotak besi seukuran sangkar burung itu nyaris hancur. Bagian atas kotak itu terdesak ke atas lantaran dihantam batangan besi berdiameter 15 sentimeter. Angka 1990 yang tertulis pada batangan besi bertemu dengan angka 43 sentimeter pada penggaris besi yang diletakkan di sampingnya.

Kotak dan batangan besi tersebut merupakan alat pengukur air bawah tanah atau disebut sebagai ekstensometer depth well. Dipasang di Balai Konservasi Air Tanah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral di Jakarta Utara sejak 1990, alat itu malah bisa dipakai untuk mengukur penurunan tanah. Rupanya, batangan besi yang ditanam hingga 300 meter itu berada di tanah yang ambles 43 sentimeter dalam rentang waktu 26 tahun.

“Ini karena tanahnya yang mengalami penurunan,” kata Muhammad Wahyudi Memet, Kepala Balai Konservasi Air Kementerian ESDM kepada Liputan6.com, Rabu (16/3/2016).

Penurunan tanah atau land subsidence, sudah terjadi sejak lama. Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melansir, penurunan tanah di Jakarta mencapai 7 sentimeter per tahun. Jan Sopaheluwakan, ahli geoteknologi LIPI menyebutkan, angka penurunan itu merupakan gambaran rata-rata dari penurunan tanah yang terjadi selama ini.

Menurut Jan, kecepatan penurunan permukaan tanah yang terjadi di DKI Jakarta berbeda-beda pada tiap tempat. Angka 7 sentimeter adalah perkiraan secara umum yang terjadi. “Yang ada secara umum, belum tahu secara detail,” kata Jan.

Temuan ini dibenarkan Kelompok Keahlian (KK) Geodesi Fakultas Geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB). Hasanuddin Z Abidin, peneliti sekaligus Dekan Fakultas Geodesi ITB menerangkan, penurunan tanah di Jakarta terjadi secara merata. Bahkan, Hasanuddin menyebut wilayah utara Jakarta merupakan daerah yang paling banyak mengalami penurunan tanah.

Peta penurunan permukaan tanah DKI Jakarta selama 90 tahun berdasarkan pengukuran Kelompok Keilmuan Geodesi Institut Teknologi Bandung. (Liputan6.com/Rio Pangkerego)

Hasanuddin bersama Heri Andreas dan tim KK Geodesi ITB sudah melakukan studi penurunan tanah di Jakarta sejak 1997. Temuannya menunjukkan, wilayah Jakarta Utara bagian barat, yakni Pantai Indah Kapuk, Pluit, dan Muara Baru merupakan daerah yang mengalami penurunan tanah paling signifikan. “Kalau di Jakarta itu penurunan tanah paling besar di bagian utara dan barat,” kata Hasanuddin.

Besaran percepatan penurunan tanah diakui sejumlah ahli tak bisa digeneralisasi. Kondisi penurunan tanah berbeda pada setiap wilayah yang tersebar di DKI Jakarta. Kecepatan penurunan tanah pun terjadi berbeda-beda. Tak sama di setiap tempat.

Gedung-gedung tinggi di Kawasan sekitar Abdul Muis, Jakarta,  Jumat (22/1). Pembelian lahan ini untuk dijadikan Ruang Terbuka Hijau (RTH) untuk menekan polusi udara di Jakarta. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Meski melakukan riset berbeda, Jan dan Hasanuddin mengidentifikasi empat faktor penyebab penurunan tanah. Faktor tersebut adalah eksploitasi air tanah berlebihan, pembangunan gedung-gedung tinggi, pemampatan tanah karena gempa, dan konsolidasi sedimen tanah.

Tapi rupanya, Ibu Kota tak hanya menghadapi penurunan tanah sebagai ancaman buat penduduknya. Di sisi lain, permukaan air laut juga naik seiring mencairnya es di Greenland dan Antartika. Beberapa tahun terakhir, sejumlah ilmuwan di belahan dunia dikejutkan dengan fenomena kenaikan air laut yang dianggap paling cepat dalam 3.000 tahun terakhir.

Penurunan permukaan tanah Jakarta berbarengan dengan kenaikan permukaan laut. (Liputan6.com/Rio Pangkerego)

World Economics Forum melansir, kenaikan air laut ini diprediksi bertambah 90 hingga 120 sentimeter hingga tahun 2100. Sejak 1992 hingga 2012, wilayah Antartika kehilangan 1.320 gigaton es dan Greenland kehilangan 2.940 gigaton es. Es tersebut mencair dan menyebar ke laut sehingga menimbulkan kenaikan air laut. Kenaikan ini diprediksi bisa membuat sejumlah kota di belahan dunia tenggelam, tak terkecuali Jakarta.

Dua kondisi ini membuat Jakarta harus berbenah. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sadar, mereka harus segera membuat langkah. Penyusutan air tanah yang membikin tanah menurun harus segera diatasi. Di sisi lain, ketinggian air laut yang mengancam daratan Ibu Kota, harus dicarikan solusi.

Salah seorang warga Kampung Akuarium di Penjaringan, Jakarta Utara. Warga kampung ini hidup bersisian dengan air laut yang terus bergerak naik. (Liputan6.com/Gempur M. Surya)

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta Tuti Kusumastuti memahami, solusi mesti cepat dicari supaya wilayah utara di Jakarta tak tinggal cerita. Selain mulai memberlakukan pengetatan penggunaan air tanah, Jakarta kini sedang mencanangkan pembangunan tanggul laut yang kini terintegrasi dalam program National Capital Integrated Coastal Development (NCICD).

“Ini harus segera diambil tindakan,” ujar Tuti.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Tanah yang Turun

Masalah penurunan tanah dan kenaikan air laut yang sedang mengancam Jakarta dan dikhawatirkan sejumlah ahli, bukan sekadar isapan jempol. Tim Liputan6.com menelusuri di mana saja daerah yang mengalami land subsidence bersamaan dengan kenaikan muka air laut. Tim menelusuri ke wilayah Jakarta Utara. Salah satu daerah yang cukup ekstrem mengalami penurunan tanah terjadi di Penjaringan, Jakarta Utara.

Menara Syahbandar di Sunda Kelapa, Jakarta Utara, tampak miring ke satu arah. (Liputan6.com/Mochamad Khadafy)

Di lokasi ini, tim mendapati bangunan Menara Syahbandar yang berdiri sejak 1893 miring ke arah selatan. Kemiringan ini terjadi lantaran struktur tanah yang menopang bangunan ini mengalami penurunan. Kemiringan ini juga diperparah dengan beratnya beban yang dialami tanah di sekitar menara. Sebab, truk bermuatan besar kerap melintas di Jalan Pasar Ikan Raya, yang berada tepat di depan menara.

Tak hanya di Menara Syahbandar, penurunan muka tanah juga terjadi di Gudang Pompa, Penjaringan, Jakarta Utara. Di lokasi ini, ketinggian tanah berada 1,5 meter di bawah permukaan air laut. Wilayah ini pun kerap diterjang rob lantaran permukaan air laut naik ke daratan.

Menara Syahbandar di Sunda Kelapa, Jakarta Utara, miring ke selatan sebesar 5 derajat. Menara yang dibangun sejak 1839 ini diduga miring akibat tanah landasannya mengalami ambles pada satu sisi. (Liputan6.com/Mochamad Khadafy)

Hasan salah seorang warga Gudang Pompa, mengatakan, rob kerap menerjang saat air laut pasang. Lelaki paruh baya yang memakai kacamata ini bercerita, dia sudah tinggal di wilayah tersebut sejak 1970-an. Di masa itu, Hasan ingat betul luas daratan di wilayahnya masih menjorok sekitar 50 meter dari daratan Gudang Pompa, hari ini. Hasan menuturkan, lokasi rumah warga di masa itu pun ada yang dibangun di atas dataran yang kini sudah tenggelam diterjang air laut.

Hasan menyadari daerah tempat tinggalnya, kini sudah banyak berubah. Jalan yang berada di depan rumahnya pun sudah naik beberapa meter. Peninggian jalan dilakukan seiring dengan naiknya air laut. Lelaki berkulit legam itu menilai, air laut terus naik. Tapi, dia tak menyadari tanah yang diinjaknya kian menurun setiap tahun. “Air yang naik. Tanah enggak turun,” kata Hasan.

Selain di Penjaringan, Jakarta Utara, penurunan tanah juga tampak jelas di wilayah barat Jakarta. Sepanjang Jalan Peternakan, Cengkareng, Jakarta Barat, tim Liputan6.com menemukan sejumlah bangunan rusak lantaran fondasi ambles ke dalam tanah. Sebuah fondasi bangunan di jalan tersebut bahkan tampak patah dan lepas dari bangunan di atasnya. Balok batu berukuran 2x1 sentimeter tampak copot dari semen yang menempel ke bangunan di atasnya. Bahkan, sebuah pagar nyaris ambruk karena tanah penopangnya turun.

Tim pun kemudian menelusuri kawasan lain di Jakarta Barat yang juga mengalami penurunan tanah. Lokasi yang didatangi adalah Kampung Apung yang berada di RW 001, Kelurahan Kapuk, Cengkareng, Jakarta Barat. Sebelum masuk ke permukiman, tim mendapati sebuah lahan seluas lebih kurang 6 hektare yang merupakan kawasan pemakaman, terendam air dan tertutupi eceng gondok.

Sekitar 100 meter dari makam, terdapat pemukiman warga. Di sana, tim mendapati banyak rumah menggunakan drum dan penopang dari kayu, untuk membuat rumah mereka berdiri di atas permukaan air. Di kampung ini, tanah sudah tak terlihat lantaran dataran sudah tertutup air. Permukaan tanah sudah turun nyaris 160 sentimeter lebih hingga tanah pun terendam air hampir 2 meter. 

Mutmainah, salah seorang warga Kampung Apung, menuturkan, kondisi seperti ini sudah terjadi hampir dua dekade lebih. Dia sudah tinggal di kampung tersebut sejak 1980-an. Ia mengaku, genangan air yang menenggelamkan kampungnya sudah membawa banyak derita. Salah satunya, anaknya yang baru berusia empat tahun harus tewas lantaran terjatuh ke dalam air yang berada di bawah rumahnya, sekitar enam tahun silam.

“Anak saya meninggal di sini, karena kecebur. (Air di bawah) Ini dalam, sekitar 2 meter. Anak saya kecebur enggak ketahuan,” kata Mutmainah.

3 dari 3 halaman

Tanggul Penghalang Banjir

Fenomena penurunan tanah yang terjadi di Jakarta tak begitu saja muncul. Hasanuddin Z Abidin, mengatakan, land subsidence sudah terjadi sejak 1974. Bahkan, Hasanuddin menyebut, pemerintah kolonial Hindia Belanda sudah memantau adanya penurunan permukaan tanah sejak 1925. Namun, fenomena tersebut tak menjadi bahan perhatian pemerintah Indonesia.

Sekitar 19 tahun sejak Hasanuddin melakukan pengukuran pada 1997, masalah penurunan tanah ini menjadi satu hal yang dianggap krusial. KK Geodesi ITB mencatat, penurunan tanah terjadi sekitar 1 - 12 sentimeter per tahun. Sementara catatan dari 1925 hingga 2015, permukaan tanah Jakarta seperti di Pluit, turun hingga 4 meter.

Jan Sopaheluwakan menerangkan, tanah Jakarta memang acap kali mengalami proses pemadatan sendiri. Hal itu karena daratan Jakarta merupakan bekas rawa. Proses pemadatan ini dengan sendirinya membuat permukaan tanah Jakarta menurun. Namun di sisi lain, pembangunan Jakarta yang memakan banyak lahan juga dinilai menjadi salah satu faktor yang menyumbang penurunan cukup besar.

Rovicky Dwi Putrohadi, ahli Geologi dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia menerangkan, pembebanan terhadap lahan di Jakarta turut menyumbang penurunan tanah. “Tanah sendiri kalau dibiarkan akan menurun. Tapi ketika memberi beban di atasnya, itu jadi faktor utama penurunan,” sebut Rovicky.

Menara Syahbandar, Jakarta. (Galih W. Satria/Bintang.com)

Selain karena kondisi tanah dan beban pemanfaatan lahan, penurunan tanah di Jakarta juga tak bisa dilepaskan dari penggunaan air tanah. Edi Prasetyo Utomo, ahli hidrologi LIPI, menerangkan, eksploitasi air di Jakarta sudah berlebihan. Ia menerangkan, kebutuhan air bersih di Jakarta mencapai 1 juta meter kubik per hari.

Angka ini didapatkan dengan rumusan kebutuhan 100 liter per jiwa per hari dan dikalikan dengan jumlah penduduk Ibu Kota yang lebih kurang berjumlah 10 juta jiwa. Edi menegaskan, angka 1 juta meter kubik per hari ini pun, masih di luar kebutuhan industri di DKI Jakarta.

Edi menaksir, jumlah air tanah yang digunakan sektor industri lebih besar dibanding konsumsi rumah tangga. Hal ini, kata dia, terekam jelas dari penurunan muka air tanah yang terjadi pada zona kedalaman 40-120 meter dan 120-200 meter di bawah permukaan tanah. Di dua zona tersebut, terjadi penurunan muka air tanah hingga kedalaman minus 40 meter dari posisi semula. “Kondisi ini merupakan indikasi penggunaan atau penyedotan air tanah melebihi pasokan air,” tutur Edi.

Kondisi tanah yang turun dicemaskan dengan air lautan yang mulai merangkak naik lantaran melelehnya es di Antartika dan Greenland. Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Edvin Aldrian menyebut, hal itu memang perlu diperhatikan. Meski tak signifikan, kenaikan permukaan air laut dapat menjadi ancaman yang serius saat tanah Jakarta turun. “Sekitar 18 milimeter per tahun. Kalau maksimal delapan meter,” kata Edvin.

Hasanuddin pun menyebut, perlu segera dicarikan solusi buat masalah penurunan tanah dan peningkatan tinggi air laut. “Ini harus segera dimitigasi,” ucap Hasanuddin. Mitigasi perlu dilakukan dengan penyetopan penggunaan air tanah, mengadakan sumur resapan air untuk menambah cadangan air tanah, penyediaan air permukaan, serta pembatasan perizinan gedung-gedung tinggi.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyadari masalah penurunan tanah dan kenaikan air laut bisa membawa dampak negatif terhadap Jakarta. Salah satunya rob karena air laut pasang.

Kepala Bappeda DKI Jakarta Tuti Kusumawati menerangkan, pihaknya sudah mencanangkan sejumlah langkah, salah satunya dengan pembangunan tanggul yang membentang sepanjang 95 kilometer. Tanggul ini masuk dalam program NCICD yang kini diinisiasi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Tanggul laut ini akan membentang dari arah barat hingga timur Jakarta.

“Tanggul laut diperlukan karena di Jakarta utara ada penurunan muka tanah dan muka air laut pasang akibat pemanasan global,” kata Tuti.

Tanggul tersebut segera dibangun di tiga muara sungai, yakni muara Sungai Kamal di aliran barat, Muara Kali Adem di aliran tengah, dan Muara Kali Blencong di aliran timur. Tuti menegaskan, tanggul perlu dibangun karena menjadi kebutuhan yang mendesak. Sebab, Pemprov DKI tak menginginkan wilayah daratan yang menurun kian habis diterjang air laut.

“Ini di 2016 dibangun,” ujar Tuti.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.