Sukses

[OPINI] Hillary Atau Trump? Pilihan Mudah bagi Indonesia

Dari semua kandidat calon Presiden AS baik dari Partai Demokrat maupun Republik, Hillary Clinton-lah yang paling mengerti Asia dan Indonesia

Liputan6.com, Jakarta - Walaupun proses nominasi masih relatif panjang, pada tahap ini 2 kandidat yang nampaknya akan lolos bertarung di final Pilpres Amerika Serikat adalah Hillary Clinton mewakili Partai Demorat dan Donald Trump mewakili Partai Republik.  

Pada saat ini, Hillary Clinton telah mengantongi 1.614 dari 2.383 delegasi yang dibutuhkan untuk memenangkan nominasi Partai Demokrat -- sementara Bernie Sanders baru mendapat 856 delegasi. Di lain pihak, Donald Trump telah merebut 678 dari 1.237 delegasi Partai Republik yang dibutuhkan. Sementara Ted Cruz masih mencoba mengejar dengan 423 delegasi.

Dari sejumlah Pilpres AS yang selama ini saya amati, pilpres 2016 adalah yang paling divisif, paling terpolarisasi, paling penuh kejutan, dan paling mencemaskan.

Saya tidak terlalu memusingkan dampak Pemilu AS bagi kondisi dalam negeri Amerika -- pendidikan, kesehatan, pajak, kepemilikan senjata, dan lain-lain. Yang saya khawatirkan adalah dampaknya bagi dunia.

Pemerintah Indonesia, sebagaimana lazimnya, sebaiknya bersikap netral menyikapi Pemilu AS. Namun, karena saya sudah pensiun dini dari pemerintah, kalau ada yang menanyakan siapa kandidat Presiden AS yang terbaik bagi Indonesia, jawaban saya sangat jelas: Hillary Clinton.

Mengapa? Karena dari semua kandidat baik dari Partai Demokrat dan Partai Republik, Hillary-lah yang paling mengerti Asia dan Indonesia.  


Sewaktu menjabat menjadi menteri luar negeri, Hillary merintis kebijakan "pivot" yang mengubah orientasi politik luar negeri AS ke arah Asia. Dan salah satu negara pertama yang dikunjunginya sebagai Menlu AS adalah Indonesia, di mana ia dengan lantang menyatakan, "As I travel around the world over the next years, I will be saying to people, if you want to know whether Islam, democracy, modernity, and women's rights can co-exist, go to Indonesia."

Setiap kali bertemu Hillary, saya selalu mengucapkan terima kasih atas pidatonya tersebut, yang sering saya kutip dalam pidato saya kepada rakyat Amerika.  

Masih segar di ingatan saya bagaimana Menlu Hillary Clinton di State Department pada 2010, duduk berjam-jam dengan sabar mendengarkan laporan sejumlah komite kerja sama bilateral Indonesia-AS. Tidak pernah ada Menlu AS yang melakukan hal itu sebelumnya.  

Waktu itu, saya juga sempat degdegan ketika Menlu Hillary sewaktu jumpa pers, mendapat pertanyaan sulit-sulit wartawan AS mengenai Papua. Namun, Menlu Hillary menjawabnya dengan apik dan  menunjukkan kepekaan terhadap sensitifitas Indonesia.

Di bawah diplomasi Hillary, Amerika mengubah kebijakan AS yang sebelumnya cenderung kaku terhadap Asia Tenggara, menjadi lebih luwes dan proaktif.

Pemerintah AS, setelah sekian lama menolak, akhirnya menandatangani ASEAN Treaty of Amity and Cooperation (TAC), ikut bergabung dengan KTT Asia Timur (East Asia Summit), menandatangani Comprehensive Partnership dengan Indonesia, mengubah pola hubungan Myanmar, dan menempatkan ASEAN dalam posisi kunci dalam manuver "pivot" AS di Asia Pasifik.  

Hillary juga menjadi satu-satunya Menlu AS yang di masa jabatannya mengunjungi seluruh (11) negara di Asia Tenggara.

Ia juga baik bagi Indonesia, karena sebelum dan sepanjang kampanye, ia secara konsisten membela kebhinekaan, pluralisme, toleransi -- hal-hal yang menjadi semakin penting dalam dunia kita yang semakin dirundung konflik horizontal, pelanggaran HAM, dan Islamophobia.

Namun, jalan Hillary ke Gedung Putih belum tentu mulus. Kasus penggunaan e-mail pribadi untuk urusan rahasia negara sewaktu menjadi menlu, sekarang sedang ditangani FBI dan masih belum jelas langkah apa yang akan diambil aparat hukum AS ke depan.

Berbeda dari Hillary yang mempunyai track record international jelas, pandangan Donald Trump mengenai dunia penuh misteri dan minim konsep.  

Donald Trump memang mempunyai proyek bisnis di Indonesia. Namun kalau dia menjadi presiden, ia sama sekali tidak boleh menyentuh kepentingan bisnisnya. Dengan kata lain, Trump Organization Llc minat bisnis di Indonesia tidak otomatis berarti Presiden Trump kelak akan pro Indonesia.

Saya pernah bertemu Donald Trump di klub kebanggaannya Mar-a-Lago di Palm Beach, Florida tahun 2013. Trump menjadi host dari suatu acara di mana saya dan istri menjadi tamu. Kesan pertama saya waktu itu, Donald Trump sangat ramah dan charming, sebagaimana biasanya konglomerat sekelas dia.

Namun saya sempat berpikir, "Orang ini mungkin pengusaha hebat, tapi dia sama sekali tidak tahu apa itu kemiskinan." Padahal, kalau menjadi Presiden AS, dapat dipastikan masalah kemiskinan dan kesenjangan global akan menjadi agenda utamanya.

Sampai sekarang, tidak ada yang tahu siapa penasihat politik luar negeri Donald Trump. Ada bisik-bisik yang menyatakan bahwa penasihat Trump adalah keluarganya sendiri. Trump sendiri menyatakan, konsultan hubungan internasional yang dia andalkan adalah dirinya sendiri -- yang justru membuat orang jadi lebih gelisah.  

Teman saya di AS menyatakan, jangan pedulikan retorika ngawur dalam pilpres karena ini adalah "silly season" di AS. Semua kandidat akan bicara bombastis hanya untuk mencari perhatian dan merebut hati pemilih.

Mungkin dia benar. Tapi yang saya khawatirkan, retorika ini membangunkan sesuatu naluri buruk dalam batin Amerika, yakni naluri "the ugly American", yang identik dengan arogansi, ignorance, dan nasionalisme sempit.  

Dalam beberapa dekade terakhir, naluri ini memang semakin tergusur dalam budaya politik AS yang semakin "politically correct". Namun dalam pilpres 2016, fenomena ini mendapat ruang baru. Indikatornya, semakin gencar Trump membuat pernyataan yang tidak senonoh mengenai Muslim, Hispanic, wanita dan lain-lain, popularitas dan elektabilitasnya semakin tinggi.  

Dari polling yang saya lihat di CNN, ternyata banyak pemilih Republik yang memilih Trump di beberapa negara bagian AS juga setuju untuk melarang Muslim masuk ke AS.  

Kalau Trump menjadi Presiden pada February 2017, dapat dipastikan akan terjadi perubahan gaya dan substansi dalam politik luar negeri AS.  

Kecenderungan bullying dan jingoisme (yang dalam era Obama semakin surut) akan kembali mencuat. Demikian pula sikap memaksakan pendapat, serta mengganjar negara lain yang berbeda pendapat.  

Ketika ditanyakan bagaimana kalau Pemerintah Meksiko tidak bersedia membiayai dinding perbatasan yang diusulkannya untuk mencegah imigran gelap, Trump dengan ringan menyatakan, ia akan memaksa Meksiko untuk bertekuk lutut -- padahal Meksiko adalah negara sahabat AS. Tidak heran semangat anti-Trump semakin tumbuh di Meksiko.  

Bila Hillary terlatih untuk menjaga kepala dingin, Trump dengan obsesinya untuk membuat Amerika "win, win, win", berpotensi gegabah dalam menangani situasi konflik. Trump, misalnya, banyak mengkritik Presiden Obama yang dipandang lemah dan kalah menghadapi ISIS.  

Namun kalau Trump nanti asal hantam kiri kanan di Timur Tengah, dengan situasi geopolitik yang sangat kompleks, situasi keamanan di wilayah panas tersebut bisa semakin tak terkendali.  

Jikalau cara-cara seperti ini terus berlanjut, gejala anti-Amerika akan semakin meninggi, bukan saja di kalangan negara-negara non-Barat, namun juga di kalangan sekutunya sendiri.  

Tidaklah mengherankan kalau The Economists Intelligence Unit (EIU) baru-baru ini mengeluarkan laporan yang menyatakan, terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS akan menjadi salah satu dari 10 ancaman terbesar dunia baik bagi ekonomi, politik, dan keamanan.  

Pemilu 2016 ini karenanya benar-benar pertarungan nyawa mengenai jati diri AS di abad-21, apakah akan mengedepankan naluri "ugly American" atau "good American" yang selama ini sama-sama eksis. Pertarungan ini hanya bisa diselesaikan oleh rakyat Amerika sendiri.  

Namun tanpa menunggu hasil Pilpres AS November nanti, kita sudah dapat mengambil kesimpulan yang jelas: dunia akan lebih teduh dengan Hillary, dan akan (jauh) lebih gaduh dengan Trump.  Selamat memilih, Amerika! God be with you.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini