Sukses

[OPINI] Fenomena LGBT, Ditolak atau Didukung?

LGBT hanya merupakan interupsi zaman yang suatu saat pasti akan kalah terpinggirkan.

Liputan6.com, Jakarta - Perilaku dan fenomena LGBT sudah lama terjadi di Indonesia maupun di belahan bumi lain. Namun LGBT menjadi isu dan topik diskusi yang melibatkan negara dan institusi internasional baru belakangan ini saja terjadi.

Bagi masyarakat Indonesia yang masih setia pada norma dan tradisi agama, sangat wajar kalau mereka menentang. Lebih dari itu, alasan mereka tidak saja norma agama, melainkan juga dikhawatirkan akan mempengaruhi pertumbuhan remaja yang masih dalam proses pencarian identitas diri, sehingga akan membawa mereka ke gaya hidup yang dianggap menyalahi adat dan kepantasan sosial.

Bagi pejuang pembela hak asasi manusia, LGBT itu hak seseorang yang mesti dihargai. Maka tak bisa dihindari munculnya pro-kontra baik mereka yang membahas dari sisi psikologis ilmiah, analisis teologi, maupun kebijakan publik yang mesti diambil pemerintah.

Kalaupun LGBT dipandang sebagai kelainan, kita mesti bersimpati dan berempati bagaimana membantu menyembuhkan. Jika LGBT sebagai pilihan sadar dan gaya hidup karena berbagai alasan yang melatarbelakangi, maka masing-masing pihak yang pro dan kontra mesti duduk dan bicara baik-baik bagaimana menemukan formula solusi win-win.

Saya yakin mayoritas masyarakat tidak setuju pada LGBT. Namun, dari dulu masyarakat juga sudah tahu adanya praktik LGBT, tapi tidak membuatnya heboh karena LGBT dilakukan secara terbatas, diam-diam, tidak show off dan melakukan kampanye, serta tidak memiliki jaringan dengan komunitas LGBT negara lain.

Dengan hadirnya media sosial berbasis internet, dunia memang terasa semakin plural dan warna-warni.

Mereka yang merasa sebagai kelompok minoritas yang terkucilkan, kesepian dan tertindas, sangat aktif dan efektif menggunakan fasilitas media sosial untuk memperkenalkan diri, mencari  teman seideologi, dan senasib.

Sebagai contoh gerakan ISIS yang berbasis di Suriah dan Irak, tetapi sangat aktif, inovatif, dan agresif mencari teman dan pendukung di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Ajakan ISIS ini  memperoleh sambutan dari mereka yang memiliki nasib dan paham serupa. Yang kecewa dan marah pada keadaan, dengan dalih agama untuk menegakkan syariah ilahi, meskipun siapa tahu dalam bawah sadarnya lebih didorong oleh keinginan mengubah nasib.

Fenomena ISIS ini begitu cepat mendunia berkat fasiltas media sosial. Peran media sosial seperti Twitter dan Facebook sangat besar dalam menyebarkan virus revolusi sosial politik di Tunisia dan Mesir, namun saat ini juga sangat mengemuka dalam provokasi ISIS.

Negara Harus Melindungi

Begitu pun gerakan LGBT, begitu cepat menjadi gosip nasional berkat media sosial dan kondisi masyarakat kita yang tengah memasuki tahapan puber demokrasi, serta gagap menghadapi gelombang modal asing serta budaya yang menyertai.

Jadi, tentang LGBT ini saya yakin hanya merupakan interupsi zaman yang suatu saat pasti akan kalah terpinggirkan. Sebab, mereka melawan kodrat manusia dan keyakinan, tradisi serta pendapat mainstream masyarakat Indonesia dan juga dunia. Namun, layaknya sebuah kelainan dan anomali sosial, selalu saja akan muncul dalam berbagai bentuk dan formatnya, salah satunya ialah LGBT.

Menghadapi fenomena LGBT, sikap orangtua dan keluarga sebaikya lebih bijak, peduli, dan mau belajar bagaimana mendidik dan mendampingi anak-anaknya agar tumbuh secara sehat baik fisik, mental, maupum spiritualnya.  

Sekarang ini banyak forum pelatihan parenting bagi pasangan orangtua dan suami-isteri yang disajikan oleh para ahli. Ini penting diikuti untuk menambah wawasan dan bertukar pengalaman dalam membesarkan anak-anak.

Karena kesibukannya, banyak orangtua yang mengalami kesulitan dan kebingungan menghadapi anak-anaknya, karena oleh anaknya mereka sekedar dianggap orang tua yang menyediakan fasilitas materi, tetapi bukan teman curhat yang mengasyikkan dan terpercaya.

Orangtua sekarang mesti belajar menjadi pendengar dan teman diskusi yang baik. Semakin tambah usia anak, semakin melebar pergaulannya, dan semakin sulit bagi orangtua untuk memahami dunia mereka. Kecuali orangtua yang juga menjadi teman berbagi rasa dan pikiran.

Adapun negara mesti memberi perlindungan pada warga negara yang oleh sebagian masyarakat  dianggap berperilaku menyimpang, atau mereka yang dianggap mengikuti ajaran sesat. Bagaimana pun, mereka adalah sesama manusia dan warga negara yang berhak mendapatkan perlindungan hukum dan rasa aman.

Sekarang ini masyarakat mudah sekali melontarkan hate speech lewat media sosial, yang hanya dalam hitungan menit bisa tersebar ke ratusan ribu followers. Orang mudah melakukan labelisasi yang berimplikasi pada terciptanya segregasi sosial.

Ketika seseorang atau kelompok sudah diberi label sesat dan menyimpang, seakan mereka sah untuk dimusuhi atau diusir karena telah melawan agama dan Tuhan. Dan mereka yang memusuhi kelompok kecil yang menyimpang ini seakan sudah berada di jalan  kebajikan, pada hal mereka hanya berhenti pada memusuhi,  tanpa berupaya melakukan dialog dan upaya menyelesaikan problem yang tengah dihadapi.

Terhadap isu LGBT ini, masing-masing pihak yang pro-kontra mesti memahami posisi dan argumen masing-masing. Andaikan pro LGBT tetap aktif agresif melakukan kampanye, mesti siap menghadapi respons balik y dari yang kontra mengingat Indonesia bukanlah Barat.

Tetapi yang pasti, tidak bijak kalau sampai terjadi pengusiran dan tindakan fisik terhadap LGBT sebagaimana yang menimpa kelompok minoritas yang dianggap sesat.
   

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini