Sukses

Bumi Lorosae, Kehidupanmu... Kini

Sejak 20 Mei 2002, negeri ini memang harus menentukan arah kebijakan pembangunan ekonomiya sendiri. Pertanian dan perkebunan yang selalu jadi primadona, menjadi kunci utama. Bukan perkara mudah, tentunya.

Liputan6.com, Jakarta: Awan putih berarak, menghampar seperti selimut terlipat kecil bergulung tak merata. Menghiasi bentangan biru di langit Bumi Loro’sae. Namun gunduk barisan bukit masih sempat menoreh sapuan biru bercampur kehijauan dan tanah cokelat mengering, berkeliling membentuk dinding. Dan di Bukit Fatucama, Patung Cristo Rei (Kristus Raja) berpadan alam, menyambut berdiri asri. Seolah ramah merengkuh angin yang langsung bertiup dari jantung Kota Dili dan siapa pun yang menghampiri Timor Leste.

Tepat sepuluh tahun silam, Patung Cristo Rei menjadi saksi yang diam seribu basa. Tatkala baru empat tahun berdiri sebagai lambang wisata religius, secara tak langsung pun bertutur, dia memotret sebuah kesepakatan bernama referendum—di bawah pengawasan Perserikatan Bangsa-Bangsa—yang menyuarakan kemerdekaan: Republik Demokratik Timor Leste.

Ya, momentum 30 Agustus 1999 sontak berubah dari satu Senin biasa menjadi sejarah nan monumental. Khususnya, bagi 79 persen dari 450 ribu pemilih dalam jajak pendapat yang tak ingin terus berada di bawah Bendera Merah Putih. Hari itu terproklamirkan, Timor Timur, provinsi ke-27 dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, melepaskan diri dan berdiri sebagai sebuah negara berdaulat dengan nama: Timor Leste.

Kedaulatan tadi tentu seiring tekad untuk mandiri secara ekonomi, mampu menghidupi diri sendiri berikut rakyat yang mengamini perubahan ini. Penghidupan yang lebih baik plus kemakmuran pascakemerdekaan adalah angan-angan yang selalu menjadi utopia.

Sejak 20 Mei 2002, negeri ini memang harus menentukan arah kebijakan pembangunan ekonominya sendiri. Pertanian dan perkebunan yang selalu menjadi primadona, menjadi kunci utama. Bukan perkara mudah, tentunya. Terlebih, di sana sini terkadang masih saja ada letupan konflik, yang berpotensi mengganggu stabilitas keamanan. Tumpukan pekerjaan rumah yang memang tak gampang.

Sebagai sebuah negara, Timor Leste terbilang mini, dengan luas areal mencapai 14.874 kilometer persegi yang dipecah dalam 13 kabupaten. Jumlah penduduk hasil sensus pada 2009 diperkirakan 1.134.000 orang, dengan kepadatan penduduk sekitar 76 orang per kilometernya. Hampir 91,5 persen mayoritas penduduk pemeluk Katolik Roma. Sisanya beragama Kristen Protestan dan umat muslim. Berdasarkan data mutakhir, pendapatan per kapita negara berbahasa nasional Tetum ini adalah US$ 468.

Pascamerdeka sumber daya minyak bumi dan gas menjadi andalan pemerintah Timor Leste untuk meningkatkan taraf hidup masyarakatnya. Meski pun hasil positif penelitian geologis belum memastikan kekayaan Laut Timor, tapi berdasarkan analisis seismik, di Celah Timor setidaknya terdapat sekitar 500 juta hingga lima miliar barel minyak bumi serta 50.000 miliar kaki kubik gas alam. Nah, berkah alam yang luar biasa besar itulah yang menjadi senjata utama Timor Leste untuk geliat perubahan kesejahteraan yang lebih baik bagi generasi berikutnya.

Jika saja benar, “harta karun” berupa minyak bumi dan gas alam itu harus dibagi untuk tiga negara (Indonesia, Australia, dan Timor Leste). Kenyataan ini berdasarkan aturan main Zona Ekonomi Eksklusif.

Sayangnya, dalam eksplorasi sejenis tak jarang ketidakadilan pembagian hasil bumi acap memicu persinggungan, pun dalam sistem kekuasaan politik Timor Leste. Bahkan, termasuk dengan "sang dewa penolong", Australia.

Saling tuding dua kubu kekuasaan politik seolah saling mengisi ketidaksempurnaan. Kubu Perdana Menteri Timor Leste Jose Alexandre Xanana Gusmao yang saat ini berkuasa menuding eks Perdana Menteri Mari Alkatiri gagal mengoptimalkan minyak bumi untuk kesejahteraan rakyat sewaktu mereka berkuasa. Sebaliknya, Fretelin mendakwa rezim Xanana superpasrah pada Australia ihwal “emas hitam” Celah Timor.
 
Buntutnya bisa ditebak. Negara yang hanya mengandalkan minyak dan gas Laut Timor untuk anggaran pendapatan dan belanja negara itu tetaplah miskin. Minyak yang selama ini menjadi harapan, hingga saat ini belum bisa menyejahterakan rakyat karena tak tersalur adil. Atau mungkin, habis untuk membayar cicilan utang dan gaji para kontraktor asing yang terlibat dalam rekonstruksi Timor Leste. Menurut Direktur Kebijakan Publik Oxfam James Ensor seperti dilansir BBC (19 Mei 2004): "Cadangan minyak dan gas yang luar biasa besar di Laut Timor adalah “jendela” bagi Timor Leste bagi kesejahteraan rakyat dan generasi berikutnya. Sayang, Australia tak beritikad baik dalam negosiasi dengan tetangga kita itu," ujar Ensor.

Saat ini, harga BBM membumbung tinggi di bekas provinsi yang pernah dimanjakan Indonesia itu. Premium menyentuh harga 0,86 sen dolar AS per liter atau sekitar Rp 8.600—hampir dua kali lipat dari harga premium di Indonesia. Dan uniknya, truk-truk tanki BBM justru mengisi pasokan di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Dili, milik Pertamina. Bahkan pom bensin terbesar di Ibu Kota Timor Leste itu malah berlogo Pertamina—meski ada juga SPBU milik Tiger Fuel asal Australia yang ikut meramaikan pasar BBM.

Peredaran rupiah pun sudah berganti dengan dolar Amerika Serikat. Boleh jadi, bagi pemerintah setempat, kehadiran dolar Negeri Paman Sam ini dinilai mampu menghilangkan "mimpi buruk" masyarakat Timor Leste. Sayang, justru mimpi buruk itu menjadi kenyataan pasti sehari-hari.

Warga Lorosae cukup tercekik dengan harga-harga yang tinggi, walau pada dasarnya daya beli masyarakat setempat tak lebih tinggi dari Indonesia. Beras asal Vietnam yang menjadi andalan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pangan dijual per karung isi 30 kilogram dengan bandrol sekitar 28 dolar AS alias nyaris mencapai Rp 300 ribu. Minyak goreng curah asal Indonesia dipatok 15 dolar AS per jeriken isi lima liter.

Bukan itu saja, harga produk ekonomi lainnya tetap menjulang ke langit kendati sudah terbantu pasokan produk Indonesia yang agak lebih murah. Memang, masih jadi perdebatan sengit soal legal atau ilegalkah produk tersebut. Beberapa disebut, barang-barang kebutuhan tadi tersedia melalui jalan darat perbatasan Indonesia-Timor Leste.

Mi instan asal produsen Indonesia juga masih menjadi idola masyarakat Timor Leste. Bahkan menurut Dady Tiger, warga Indonesia yang bekerja di Dili, baju asal Tanahabang masih banyak dipakai menutupi aurat masyarakat di sana. "Kalau di daerah Kampung Lor, pakaian baru kebanyakan dibawa pedagang-pedagang asal Makassar dari Pasar Tanahabang," ujar Dady yang dihubungi Liputan6.com melalui sambungan internasional.

***

Geliat perekonomian Timor Leste tidak bisa dilihat secara sederhana dari maraknya mobil asal Eropa atau Amerika yang berseliweran—terlepas itu pinjaman dari PBB atau hibah negara donor. Sebab infrastruktur jalan yang dilewati bisa menjadi parameter paling sahih. Perbaikan infrastruktur pascareferendum amat kurang. Jalan-jalan utama di Kota Dili masih peninggalan pemerintah Indonesia dan kini mulai rusak, tak sekadar bopeng. Sepanjang perjalanan darat dari Dili sampai perbatasan dengan NTT, lubang di tengah jalan raya menganga bak ranjau yang menanti ban yang bengong melintas. Dan di musim panas seperti sekarang ini, jalan utama sangat berdebu saat dilintasi kendaraan.

Saat malam, tak ada lampu penerangan jalan. Lampu itu hanya bisa dilihat di Palacio, Kantor Pemerintahan RDTL. Jadi amat wajar bila sejak pukul 18.00 waktu setempat aktivitas di Kota Dili terlihat sepi. Kebanyakan toko tutup. Taksi dan angkutan umum sudah tak lagi berlalu lalang. Hanya beberapa rumah makan bermenu asing yang masih melayani pelanggan.

Sejumlah bangunan rusak sisa kerusuhan, masih menghiasi Kota Dili. Entah dibiarkan sebagai tanda perjuangan atau memang tak hendak dibangun kembali. Tak perlu juga meminjam jemari orang lain untuk sekadar menghitung bangunan baru di wilayah tersebut. Satu di antaranya adalah Istana Kepresidenan yang dibangun dengan bantuan asing dan baru diresmikan pada 27 Agustus 2009. Peresmian itu sangat dinanti warga Kota Dili, apalagi saat perhelatan mereka diperbolehkan masuk dan melihat kemegahan istana. Dan “kegembiraan” lain bagi warga Kota Dili adalah kehadiran Timor Plaza, yang saat ini sedang dalam proses pembangunan.

Nama Bandar Udara Comoro kini tinggal kenangan. Sekarang sebutannya adalah Airpot Nicolo Lobato. Seolah juga bisa ditebak, kondisi bandara tak banyak berubah sejak ditinggalkan pemerintah Indonesia. Tak banyak pula maskapai yang memakai jasa landasan pacu bandara berskala internasional itu. Tiga yang pasti adalah Merpati Airlines (Indonesia), Silk Air (Singapura), dan Airnort (Australia).

Nah, Merpati inilah yang tetap menjadi primadona pejabat Timor Leste saat bepergian. Menurut seorang pegawai VIP Travel yang enggan disebutkan namanya, "Kebanyakan mereka menggunakan Merpati menuju Denpasar. Dari Bali, baru memakai maskapai lain sesuai tujuan," katanya.

Perjalanan sepuluh tahun pascareferendum memang bukan hal yang mudah dilewati Timor Leste. Bahagia, bangga, dan frustrasi sosial mungkin terjadi di sebagian masyarakat, tatkala alam kemerdekaan dinilai belum memberikan perubahan hidup. Namun semoga saja, kelak Patung Cristo Rei bisa memotret lagi momentum ketika warga setempat tak lagi bermimpi menikmati sedikit kemakmuran “emas hitam” Bumi Loro’sae. (EPN/ROM)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini