Sukses

Baku Tembak di Kediaman Sang Presiden

Negeri Timor Lorosae yang baru berumur satu dekade, rupanya telah menyimpan deraan konflik politik dan senjata yang sedemikian keras. selain menghadapi masalah ekonomi yang cukup krusial, Timor Leste pun pernah menyimpan sejarah penembakan terhadap presidennya.

Liputan6.com, Jakarta: Negeri Timor Lorosae yang baru berumur satu dekade, rupanya telah menyimpan deraan konflik politik dan senjata yang sedemikian keras. selain menghadapi masalah ekonomi yang cukup krusial, Timor Leste pun pernah menyimpan sejarah penembakan terhadap presidennya.

Baku tembak itu terjadi menjelang pagi hari di kediaman Presiden Timor Leste, Jose Ramos-Horta, di Dili, Senin 11 Februari 2008. Kelompok penyerang yang dipimpin langsung oleh Mayor Alfredo Reinado berhasil masuk ke kediaman sang presiden.  Baku tembak  dengan pengawal presiden pun tak terelakkan. Pemberontak berhasil membenamkan timah panas ke tubuh sang presiden.  Seorang pengawal presiden terluka dalam serangan mengejutkan itu.

Tak tinggal diam, Falintil-Forsa Defenza Timor Leste (FDTL) yang menjaga kediaman Ramos Horta berhasil menembak mati Alfredo Reinado dan seorang anak buahnya yang bernama Leopoldo da Costa. Dalam insiden ini, dua unit mobil rusak.

Seorang tentara menuturkan, drama penembakan bermula ketika para penyerang melompat tiba-tiba dari dua mobil dan secara membabi buta menembakkan senjata api ke arah Presiden Horta yang sedang berolahraga.  Sang pengawal segera membalas dengan menembaki kepala Alfredo yang saat itu mengenakan rompi antipeluru.

Pada saat yang sama, serangan juga dilakukan terhadap iring-iringan kendaraan Perdana Menteri Timor Leste, Xanana Gusmao, yang hendak menuju ke kantornya. Serangan terhadap Xanana dipimpin oleh Gastao Salsinha, juru bicara dari kelompok Alfredo. Beruntung, Xanana lolos dari serangan tersebut. Sang perdana menteri dan keluarganya berhasil diselamatkan para pengawal.

Negara dalam Keadaan Bahaya

Dalam keadaan terluka parah akibat mengalami luka tembak, Horta dilarikan ke Pangkalan Militer Australia di Dili. Setelah menjalani operasi dan mendapatkan perawatan sementara, mantan Perdana Menteri Timor Leste itu diterbangkan ke Australia untuk menjalani perawatan lebih lanjut di Rumah Sakit Royal Darwin.

Selain bersarang di perut, timah panas juga melukai paru-paru kanannya.  Akibatnya, penerima Nobel Perdamaian pada 1996 itu koma selama sepuluh hari. Untuk menyokong hidupnya, tim medis harus menggunakan alat bantu. Di Darwin, Horta masih harus menjalani lima kali pembedahan untuk memperbaiki paru-paru kanannya dan mengangkat pecahan peluru.

Pada 21 Februari 2008 Horta mulai sadar dari koma, namun ia masih harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit. Baru sebulan kemudian, pemenang Pemilu 2007 itu diperbolehkan meninggalkan rumah sakit.

Sejumlah media di Australia memberitakan, setelah sadar, Horta mengungkapkan pelaku dan peristiwa penembakan dirinya. Disebutkan, Horta mengenali Marcelo Caetano sebagai penembak dirinya. Horta menuturkan ia sempat berlari untuk menghindar saat ditembak dari jarak kurang dari sepuluh meter. Walaupun terluka parah, Horta beruntung penembaknya tidak berhasil menembaknya di dada sebelah kiri.

Sang presiden kembali ke Dili pada 17 April 2008 untuk menjalankan tugas-tugasnya sebagai kepala negara yang ditinggalkannya selama dua setengah bulan.

Pascapenembakan, keamanan di ibu kota Dili diperketat. PM Gusmao mengumumkan negara dalam keadaan bahaya selama 48 jam dan memberlakukan jam malam. Didampingi Presiden Timor Leste sementara, Vicente Guterres, di istana pemerintahan,  ia menghimbau kepada masyarakat agar tetap tenang.

Di pihak lain, Falintil-FDTL juga melarang masyarakat berkumpul di jalan demi keamanan negara. Kepolisian Perserikatan Bangsa-Bangsa memberlakukan status siaga. Sementara itu, pasukan keamanan internasional menambah jumlah personelnya, antara lain dari Australia dan Selandia Baru. Lebih dari seribu tentara dan polisi berpatroli di ibu kota Dili setiap hari. Penjagaan superketat membuat situasi mencekam. Masyarakat berdiam di rumah. Hampir tak ada kendaraan yang melintas di jalan kecuali kendaraan militer dan polisi.

Setelah beberapa kali diperpanjang, status darurat sipil dicabut pada 23 April 2008. Namun, pencabutan tidak berlaku bagi kawasan Ermera yang ditengarai sebagai sarang persembunyian pemberontak.

Perburuan Pelaku Hingga ke Indonesia

Beberapa hari pascapenembakan, Kejaksaan Agung Timor Leste menerbitkan surat perintah penahanan untuk 18 orang yang diduga terlibat percobaan pembunuhan presiden dan perdana menteri.  Pada 1 Maret 2008, Amaro da Costa yang dituduh menembak sang presiden ditahan setelah menyerahkan diri ke polisi.  Mengaku terlibat insiden, Amaro da Costa yang merupakan pengikut Mayor Alfredo ini membawa dua senjata otomatis dan sejumlah amunisi.

Empat tersangka pelaku penembakan berhasil ditangkap Kepolisian Republik Indonesia di Belu, Nusa Tenggara Timur, dan Jakarta, pada 19 April 2008. Empat anak buah Alfredo Reinado warga negara Timor Leste tersebut adalah Ismail Sansao Monis Soares, Jose Gomes, Edigio Lay Carvalho dan Tilo Tilman.

Keempat tersangka yang masuk ke Indonesia secara ilegal itu kemudian diserahkan ke Kejagung Timor Leste. Serah terima berlangsung dengan pengawalan ketat Detasemen Khusus 88 Antiteror Mabes Polri di Bandar Udara Ngurah Rai, Denpasar, Bali.

Dalam memburu para pelaku penembakan, Horta sempat menuding sejumlah elemen di Indonesia terlibat membantu Alfredo. Seorang jurnalis asal Indonesia, bahkan dituding memfasilitasi perjalanan Alfredo ke Jakarta dengan memalsukan dokumen dan membayar biaya hotelnya. Tudingan Horta segera dibantah oleh Polri dan pihak-pihak yang bersangkutan. Pernyataan sang presiden dinilai dapat memperburuk hubungan kedua negara.

Kematian Alfredo, Pengadilan Para Pelaku

Dengan pengawalan ketat, pemakaman Mayor Alfredo Reinado dihadiri ratusan orang dan berlangsung dengan damai di Dili, 14 Februari 2008. Menggantikan Alfredo, Gastao Salsinha mendeklarasikan diri sebagai pemimpin pemberontak.
Dibungkus dengan bendera Republik Demokratik Timor Leste (RDTL), jenazah Alfredo dan Leopoldo da Costa dimakamkan berdampingan. Dalam perjalanan dari rumah duka menuju kuburan, ratusan pendukung Alfredo meneriakkan “Viva Alfredo”. Sehari sebelumnya, penyerahan jenazah Alfredo oleh pihak rumah sakit ke pihak keluarga mendapat pengawalan ketat militer dan kepolisian.

Setahun kemudian, Timor Leste merujuk 25 bekas personel militer dan tiga warga sipil untuk diadili karena upaya pembunuhan terhadap presiden dan perdana menteri.

Pelaku utama penembak presiden, Marcelo Caetano, diancam hukuman 20 tahun penjara karena melakukan penyerangan dengan menggunakan senjata laras panjang HK-33. Sedangkan Angelita Pires, mantan pacar pemimpin pemberontak Alfredo Reinado, dituntut tiga tahun penjara karena terlibat konspirasi penyerangan.

Kematian Alfredo membantu mengakhiri pemberontakan ratusan tentara yang tidak puas dengan pemerintah [Baca: Tragedi Pertumpahan Darah di Timor Lorosae]. Pascapenembakan, Salsinha dan 11 orang pengikutnya ditengarai melarikan diri dan bersembunyi di kawasan Ermera, 40 kilometer selatan Dili. Salsinha kemudian bersembunyi di pegunungan di bagian barat Timor Leste. Medan yang berat membuat ia sulit untuk ditangkap.

Setelah melakukan pembicaraan yang menegangkan selama empat hari dengan pihak pemerintah, di kota di Pegunungan Gleno, 75 kilometer di sebelah barat Dili, pada 29 April 2008 Salsinha akhirnya menyerahkan diri.
Salsinha minta maaf  kepada rakyat Timor Leste yang menderita selama krisis dan kepada mereka yang sampai sekarang masih tinggal di pengungsian. Salsinha dan anak buahnya mengaku siap menghadapi pengadilan. Penyerahan diri itu mengakhiri perburuan besar-besaran oleh militer Timor Leste dan pasukan penjaga perdamaian terhadap kelompok pemberontak. (ROM)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.