Sukses

Pakar: Untunglah Ada Untung Tembak Tangan Teroris Jakarta

Kiki yakin 6 bom yang dibawa 2 teroris itu bisa menghancurkan dengan radius ratusan meter.

Liputan6.com, Jakarta - Pengamat Pusat Kajian Keamanan Nasional (Puskamnas) Hermawan Sulistyo menyatakan teror Jakarta bukanlah bom bunuh diri.

Dari data yang dikumpulkan selama meneliti semua teror bom di Indonesia 20 tahun terakhir, profesor yang akrab disapa Kiki ini yakin 6 bom yang dibawa 2 teroris itu bisa menghancurkan dengan radius ratusan meter.

"Bom bondet yang meledak di Starbucks saja memiliki radius 200 meter," ujar Kiki dalam diskusi 'Tragedi Bom Thamrin dan Database Teror Bom di Indonesia' di Widya Graha LIPI, Jakarta, Jumat (22/1/2016).

Menurut dia, tindakan AKBP Untung Sangaji menembak tangan teroris sudah benar.

"Jika tangannya tak ditembak, ia bisa menekan pemicu bom yang besar. Itu high explosive. Untunglah ada Untung," ujar peneliti senior LIPI ini.


Dari hasil analisanya, bom yang digunakan sangat mudah dibuat dan memiliki kemiripan dengan bom di Cirebon serta bom ikan yang biasa dipakai para nelayan.

"Bom yang meledak itu cuma low explosive, tapi menjadi mematikan karena dirancang dengan tambahan seperti paku dan baut," kata Kiki.

Ia menegaskan, kalau bom Thamrin bukanlah bom main-main. "Siapa bilang itu petasan, jika 2 bom yang dibawa teroris itu meledak, daya ledak dan kerusakannya hampir sama dengan bom Bali," kata Hermawan.

Senjata dari Filipina

Kiki menyatakan, daerah timur dan barat Indonesia adalah jalur perdagangan senjata teraman bagi para teroris.

"Daerah Riau, Batam, Padang dan pulau-pulau di Sulawesi memiliki ratusan jalur tikus untuk menyelundupkan senjata," ujar Kiki.

Dari database yang dimilikinya, semua senjata yang dipakai teroris di Indonesia rata-rata dari  Filipina. Ia mencontohkan, TNT yang digunakan dalam teror bom Bali adalah TNT dari Filipina.

"Jangankan Filipina, di daerah barat Indonesia saja, barang buatan Pindad juga mudah didapat di pasar gelap," kata dia.

Bukan hal gampang menutup jalur tikus itu. Terlebih, kini metode penyelundupannya pun beragam.

"Kita baru memiliki batas negara tak sampai seratus tahun. Mereka yang tinggal di perbatasan itu sudah lalu lalang di jalur itu sejak nenek moyang mereka," ujar Hermawan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini