Sukses

6 Uji Materi 'Nyentrik' di MK Sepanjang 2015

Sejak Januari 2015 atau sejak Ketua MK diemban Arief, MK sudah menerima begitu banyak permohonan uji materi.

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) punya Ketua baru pada awal 2015. Namanya Arief Hidayat. Arief yang sebelumnya menjabat Wakil Ketua MK naik jabatan setelah terpilih melalui voting.

Arief yang menggantikan Hamdan Zoelva akan memimpin lembaga peradilan konstitusi itu untuk periode 2015-2017. ‎Dia menjadi Ketua MK kelima sejak berdiri dan diresmikan pada 2003 silam.

MK pertama kali dikomandoi oleh Jimly Assiddhiqie yang memimpin 2 kali dari 2003 sampai 2008.‎ Tongkat komando dilanjutkan ke Mahfud MD selama 2 periode, dari 2008-2013.

Periode selanjutnya, 2013-2015, MK diketuai oleh M Akil Mochtar. Namun, kepemimpinan eks Anggota Komisi III DPR itu hanya sebentar. Sebab, di tahun pertama memimpin, dia terlibat kasus suap sengketa Pilkada Lebak, Banten 2013 dan diciduk oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sisa periode kempimpinan Akil kemudian dialihkan ke Wakil Ketuanya yang dijabat Hamdan Zoelva. Pada Januari 2015, Hamdan resmi mengundurkan diri sebagai Ketua MK sekaligus sebagai Hakim MK. Posisi Ketua itu kemudian digenggam oleh Arief Hidayat.

Sejatinya, banyak perkara, terutama uji materi yang menarik di MK selama ini. Tak terkecuali di sepanjang 2015 ini.

Sejak Januari 2015 atau sejak Ketua MK diemban Arief, MK sudah menerima begitu banyak permohonan uji materi. Namun, setidaknya ada 6 perkara uji materi yang 'nyentrik' dalam catatan Liputan6.com yang menghiasi ‎kepemimpinan Arief ini.

Berikut uji materi 'nyentrik' di MK selama 2015:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 7 halaman

Alumni UI Ingin Nikah Beda Agama

‎Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Anbar Jayadi, serta Luthfi Sahputra merupakan alumni serta mahasiswa/i Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Keempatnya sepakat untuk menggugat ‎Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Poin yang disoal dalam UU Perkawinan tersebut adalah Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi, perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Sederhananya, mereka menginginkan MK melegalkan pernikahan beda agama di Indonesia.

Menurut mereka, pernikahan beda agama yang tercantum dalam Pasal 2 ayat (1) telah melanggar hak konstitusional mereka sebagai warga negara.‎ Terutama apabila ada di antara masyarakat yang ingin menikah, namun berbeda keyakinan dan agama dengan pasangannya.‎ Karena itu, para pemohon berpendapat, pernikahan beda agama seharusnya mendapat pengakuan negara.

Sayangnya, Arief cs membuat mereka gigit jari. Majelis Hakim Konstitusi menolak permohonan pernikahan beda agama yang diinginkan keempat alumni dan mahasiswa The Yellow Jackets tersebut.

Pada sidang 18 Juni 2015 lalu, Mahkamah berpendapat ‎permohonan para pemohon tidak beralasan menurut hukum. Dasar pertimbangannya, bahwa negara berperan memberikan pedoman untuk menjamin kepastian hukum kehidupan bersama dalam tali ikatan perkawinan.

Secara khusus, negara berperan memberikan perlindungan untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah yang merupakan wujud dan jaminan keberlangsungan hidup manusia.

3 dari 7 halaman

‎Gugatan Duo Bali Nine Sebelum Eksekusi

Pada akhir April 2015 lalu, terpidana mati asal Australia, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran dieksekusi mati di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Gembong narkoba yang tergabung dalam kelompok Bali Nine itu dieksekusi mati bersama 6 terpidana mati lainnya.

Namun, beberapa minggu sebelum dieksekusi, tepatnya pada minggu pertama April 2015, duo Bali Nine tersebut menggugat Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 5 tahun 2010 tentang Grasi‎ (UU Grasi) ke MK. Permohonan uji materi itu dilakukan lewat pengacaranya, Todung Mulya Lubis bersama 5 pemohon lain dari perorangan dan LSM.

Jauh hari setelahnya, MK menolak dan tidak dapat menerima permohonan uji materi Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) UU Grasi itu. Telah dilaksanakannya eksekusi mati terhadap gembong narkoba asal Australia yang tergabung dalam kelompok Bali Nine itu menjadi salah satu pertimbangan MK terkait kedudukan hukum atau legal standing permohonan. Dengan demikian, MK menggugurkan kedua pemohon itu dalam permohonan ini.

"Meninggalnya kedua Pemohon menurut Mahkamah mengakibatkan hilangnya subjek hukum dalam permohonan a quo. Karena Pemohon I dan Pemohon II tidak lagi memiliki kedudukan hukum, maka Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon I dan Pemohon II gugur," ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi, Anwar Usman saat membacakan amar putusan di ruang sidang utama Gedung MK, Jakarta, Kamis 10 Desember 2015.

Adapun 5 pemohon lainnya, yakni Rangga Sujud Widigda (Pemohon III), Anbar Jayadi (Pemohon IV), Luthfi Sahputra (Pemohon V), Haris Azhar (Pemohon VI), dan Imparsial (Pemohon VII). ‎Kelima pemohon itu menyatakan tetap mengajukan permohonan a quo dengan melakukan berbagai perubahan atau perbaikan permohonan.

Perubahan perbaikan tersebut, yang antara lain mengenai susunan atau urutan para Pemohon.‎ Dengan begitu, Pemohon III naik menjadi Pemohon I, Pemohon IV menjadi Pemohon II, Pemohon V menjadi Pemohon III, Pemohon VI menjadi Pemohon IV, dan Pemohon VII menjadi Pemohon V.

Meski demikian, MK tetap menyatakan menolak dan menyatakan tidak dapat menerima permohonan‎ uji materi. Pertimbangannya, karena dalil Pemohon I tidak beralasan menurut hukum, serta para Pemohon II sampai V tidak mempunya‎i kedudukan hukum.

4 dari 7 halaman

Muncikari RA ingin Konsumen dan Artis PSK Dijerat

Dunia selebritas dibuat heboh dengan ditangkapnya RA alias Robby Abbas yang dianggap Kepolisian sebagai mucikari Pekerja Seks Komersial (PSK) artis-artis di Indonesia. Robby kemudian dijadikan tersangka karena dinilai telah memperdagangkan artis AA untuk layanan seks dengan tarif puluhan juta.

‎Setelah gagal dalam praperadilan, Robby lantas menggugat Pasal 269 dan Pasal 506 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ke MK. Kedua pasal itu yang dijeratkan kepadanya dalam kasus protitusi artis ini.

Lewat pengacaranya, Pieter Ell, Robby menilai kedua pasal itu diskriminatif. Sebab, hanya menjerat muncikari. Sementara si konsumen atau penikmat dan artis yang bersangkutan lepas dari jeratan pidana. Karena itu, Pieter menganggap keberadaan kedua pasal tersebut inkonstitusional, sebab telah membuat hak-hak konstitusi kliennya terlanggar.

‎"Pasal itu sifatnya diskriminasi karena hanya menjerat muncikari, sedangkan artis, pekerja seks, dan pengguna tidak dijerat hukum. Kami minta penafsiran pasal itu. Semua yang terlibat dalam tindak pidana harus diperlakukan sama," ujar Pieter, Selasa 10 November 2015.

Untuk itu, lanjut Pieter, Robby dalam permohonannya ingin MK menyatakan Pasal 296 dan Pasal 506 KUHP bertentangan dengan UUD 1945.

‎Pasal 296 KUHP diketahui berbunyi, "Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan atau pidana denda paling banyak Rp 15 ribu."

Sementara Pasal 506 KUHP berbunyi "Barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencarian, diancam dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun."

Meski begitu, MK sampai saat ini belum mengeluarkan putusan terhadap uji materi. Apakah nantinya konsumen dan artis bisa dijerat pidana sebagaimana diinginkan Robby, atau MK tetap menyatakan norma dalam kedua pasal tersebut sudah sesuai konstitusi.
‎

5 dari 7 halaman

Polemik Calon Tunggal

Tahun 2015 menjadi saksi sejarah bagi pesta demokrasi di Indonesia. Tepat pada 9 Desember, Indonesia secara serentak menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada) di 269 daerah. Pilkada serentak itu menjadi yang pertama dilakukan oleh Indonesia‎.

Namun, selama proses menuju hari pemungutan suara tiba, banyak masalah mendera dan membuat pusing penyelenggara pemilu serta pemerintah. Hal yang paling membuat para stakeholder terkait bingung menentukan kebijakan adalah munculnya persoalan pasangan calon tunggal di beberapa daerah.

Ya, fenomena pasangan calon tunggal itu mengiringi perjalanan persiapan pilkada serentak. Sampai-‎sampai seorang Pakar Komunikasi Politik Universitas Indonesia, Effendi Gazali bersama kawannya, Yayan Sakti Suryandaru‎ menggugat UU Nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada. Mereka mempersoalkan keberadaan ‎Pasal 49 ayat (8) dan (9), Pasal 50 ayat (8) dan (9), Pasal 51 ayat (2), Pasal 52 ayat (2), serta Pasal 54 ayat (4), (5), dan (6)‎ UU Pilkada.

Pada akhrinya, dalam amar putusan MK memberi solusi bagi permasalahan pasangan calon tunggal tersebut yang turut dipersoalkan Effendi dan Yayan.‎ MK menyatakan, penyelenggaraan pilkada serentak 2015 bisa tetap berlangsung meski hanya terdapat satu pasangan calon saja.

"Mengadili, mengabulkan permohonan Pemohon sebagian," ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi, Arief Hidayat saat membacakan amar putusannya di ruang sidang utama Gedung MK, Jakarta, Selasa 29 September 2015.

Dalam pertimbangan Majelis Hakim, pilkada merupakan kedaulatan rakyat untuk memilih kepala daerah secara langsung dan demokratis. Artinya, pilkada harus menjamin terwujudnya kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat.

"UU Pilkada harus menjamin itu. Pemilihan sebagai kepala daerah dipilih secara demokratis. Dipilih berarti ada kontestasi. Penyelenggaraan harus menjamin tersedianya ruang bagi rakyat untuk dipilih dan memilih. Maka harus disertai pemilihan yang demokratis. Tidak boleh ditiadakan," ucap Arief.

‎Majelis hakim juga menimbang, bahwa dalam UU Pilkada mensyaratkan terselenggaranya pilkada dengan syarat minimal telah membuat kekosongan hukum dan tidak memberi solusi. Maka hal itu dapat berakibat pada tidak dapat diselenggarakannya pilkada, di mana kedaulatan rakyat jadi terlanggar.

Lalu bagaimana nasib pemungutan suara bagi daerah yang hanya punya 1 pasang calon saja?

MK juga memberi jalan keluar. Majelis Hakim berpendapat, pilkada yang hanya diikuti oleh pasangan calon tunggal, manifestasi kontestasinya lebih tepat apabila dipadankan dengan plebisit yang meminta rakyat sebagai pemilih untuk menentukan pilihannya dengan mekanisme 'setuju' atau 'tidak setuju' dengan pasangan calon tunggal tersebut. Bukan dengan pasangan calon kotak kosong sebagaimana dikonstruksikan oleh pemohon.

Apabila ternyata suara rakyat lebih banyak memilih 'setuju', maka pasangan calon dimaksud ditetapkan sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Sebaliknya, apabila ternyata suara rakyat lebih banyak memilih 'tidak setuju', maka pemilihan ditunda sampai pilkada serentak berikutnya.

"Penundaan demikian tidaklah bertentangan dengan konstitusi, sebab pada dasarnya rakyatlah yang telah memutuskan penundaan itu melalui pemberian suara 'tidak setuju' tersebut," ucap Anggota Majelis Hakim, Suhartoyo.

6 dari 7 halaman

Eks Pasukan Elite Marinir Uji Materi UU Grasi

Ada yang masih ingat dengan peristiwa pembunuhan Bos Asaba, Budyharto Angsana yang dilakukan oleh Suud Rusli? Ya, Suud yang sudah divonis hukuman mati itu ‎menguji ‎materi Pasal 7 ayat (2) UU No 5 Tahun 2010 ‎tentang Grasi (UU Grasi), 9 September 2015.

Pasal 7 ayat (2) UU Grasi itu mengatur tentang syarat batasan waktu pengajuan grasi bagi terpidana mati.‎ Disebutkan dalam pasal itu, untuk mengajukan permohonan grasi paling lama 1 tahun setelah putusan berkekuatan hukum tetap.

Suud menilai pasal itu telah merugikan hak konstitusionalnya sebagai warga negara.‎ Untuk itu, dia meminta MK menghapus ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU Grasi‎. Sehingga, pengajuan grasi bisa dilakukan tanpa adanya batasan waktu.

Meski demikian, MK sampai saat ini belum memberi putusan terhadap uji materi ini. Sidang sendiri sudah berjalan beberapa kali. MK juga sudah meminta keterangan sejumlah ahli, perwakilan DPR, serta pemerintah atas uji materi ini.

Suud Rusli adalah eks anggota pasukan elit Korps Marinir TNI AL. Dia terlibat dalam pembunuhan Bos Asaba, Budyharto Angsono dan pengawalnya, Edy Siyep. Peristiwa pembunuhan itu terjadi di kawasan Pluit, Jakarta Utara pada 19 Juli 2003 silam.

Suud tidak beraksi sendiri. Dia bekerja sama dengan rekannya sesama anggota pasukan elite Korps Marinir TNI AL, yakni Syam Ahmad Sanusi. Keduanya lalu diseret ke pengadilan militer. Oleh majelis pengadilan militer, keduanya dinyatakan terbukti bersalah melakukan pembunuhan dan dijatuhi hukuman mati.‎

Selagi menunggu eksekusi mati, Suud dan Syam melarikan diri dari Rumah Tahanan Militer (RTM) Cibinong pada 5 Mei 2005. Suud kemudian berhasil ditangkap‎ pada 31 Mei 2005 di Malang, Jawa Timur dengan 2 tembakan di kakinya.

Suud kembali berhasil melarikan diri dari RTM Cimanggis. Namun, aksi pelariannya berhasil terendus dan kembali ditangkap pada 23 November 2005.

Sementara Syam tertembak mati pada 17 Agustus 2007 oleh aparat keamanan dari kesatuan khusus TNI AL yang melakukan pengejaran dan penggerebekan di kawasan Pandeglang, Banten. Syam tewas dengan 5 luka tembakan usai dia menjadi buron selama 3 tahun.

Saat ini, Suud tengah menjalani kehidupan di Lapas Porong, Surabaya, Jawa Timur. Sembari menanti eksekusi mati dilakukan, Suud mencoba mengajukan permohonan pengampunan kepada Presiden. Karena ditolak lantaran waktu pengajuannya sudah lebih dari 1 tahun setelah berkekuatan hukum tetap, maka Suud menempuh jalur uji materi Pasal 7 ayat (2) UU Grasi ke MK ini.

7 dari 7 halaman

LSM 'Goyang' Legalitas Polri Terbitkan SIM

‎Pemohon yang terdiri dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat‎ (LSM) mengajukan uji materi ‎Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI (UU Polri) dan UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ)‎ pada Agustus 2015 lalu.

Mereka mempermasalahkan P‎asal 15 ayat (2) huruf b dan huruf c UU Polri serta Pasal 64 ayat (4) dan ayat (6), Pasal 67 ayat (3), Pasal 68 ayat (6), Pasal 69 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 72 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 75, Pasal 85 ayat (5), Pasal 87 ayat (2) dan Pasal 88‎ UU LLAJ.

‎Dalam permohonan ini mereka mempersoalkan kewenangan Polri dalam registrasi kendaraan serta penerbitan Surat Izin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), dan Bukti Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) yang tertuang dalam‎ pasal-pasal di kedua undang-undang tersebut.

Sejumlah LSM yang menggugat di antaranya Koalisi untuk Reformasi Polri yang terdiri dari Indonesia Legal Roundtable (ILR) yang diwakili Erwin Natosmal Oemar, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang diwakili Julius Ibrani.

Namun, dalam amar putusannya, Majelis Hakim Konstitusi menyatakan, kewenangan registrasi kendaraan dan penerbitan dokumen kendaraan oleh Polri tersebut sesuai konstitusi. MK menilai, dalil-dalil pemohon dalam permohonan ini tidak beralasan menurut hukum.

‎"Kewenangan itu adalah bagian dari persoalan keamanan dan ketertiban dalam arti luas," ujar Anggota Majelis Hakim Konstitusi, Manahan Sitompul saat membacakan amar putusan di Ruang Sidang Utama Gedung MK, Jakarta, Senin 16 November 2015.

Majelis menilai kemampuan instansi pemerintahan dalam menegakkan hukum, khususnya forensik, hanya bisa dilakukan Polri. Registerasi kendaraan dan penerbitan SIM, STNK, dan BPKB sejalan dengan pengungkapan tindak pidana yang menjadi tugas kepolisian.

"Sehingga, pemberian kewenangan itu kepada kepolisian adalah efektif dan efisiensi," ujar Manahan.

Selain itu, pemberian kewenangan untuk menyelenggarakan registerasi kendaraan serta penerbitan SIM, STNK, dan BPKB‎ merupakan bentuk pelayanan administrasi negara dan pemerintahan. Hal itu penting dan efektif untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

‎Menurut MK, jika kewenangan itu dilimpahkan ke lembaga lain, tidak ada jaminan kinerja lembaga tersebut akan lebih baik kinerjanya daripada Polri. Yang lebih penting, Polri perlu memperhatikan dan peningkatan kualitas pelayananan registerasi kendaraan serta penerbitan SIM, STNK, dan BPKB.

"Terutama, tidak melakukan perbuatan yang menyimpang dan melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku," ucap Manahan.‎

Adapun, dalam satu kesempatan persidangan‎, Majelis juga sempat menemukan adanya dugaan tanda tangan palsu yang dilakukan oleh para kuasa hukum pemohon dalam perbaikan permohonan. Bahkan Majelis meminta Polri untuk mengusut dugaan tanda tangan palsu itu.

"Tanda tangan para kuasa hukumnya saya melihatnya seperti ditandatangani oleh satu orang dalam perbaikan permohonan. Karena ini berbeda sekali dengan permohonan awal," ujar Anggota Majelis Hakim Konstitusi, Maria Farida Indrati dalam sidang di Gedung MK, Kamis 1 Oktober 2015.

Ketua Majelis Hakim Konstitusi, Arief Hidayat‎ mengatakan, dugaan tanda tangan palsu itu bisa dikategorikan sebagai tindak pidana. Sebab, jika indikasi tersebut terbukti, maka dapat menciderai peradilan konstitusi yang diemban MK.

‎"Ini sangat bahaya. Saya mohon pihak terkait (kepolisian) bisa lihat disitu. Nanti coba dilihat," ujar Arief.‎

Kepala Korps Lalu Lintas (Kakorlantas) Polri Inspektur Jenderal Pol Condro Kirono langsung merespon temuan Majelis tersebut. Beberapa hari setelahnya, kepolisian menindaklanjuti dugaan tanda tangan palsu tersebut.

"Yang jelas temuan dari Majelis Hakim MK terhadap kemungkinan adanya tanda tangan yang dipalsukan oleh salah satu kuasa hukum sudah ditindaklanjuti oleh Polri," kata Condro usai sidang di Gedung MK, Selasa 13 Oktober 2015.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini