Sukses

Rehabilitasi Narkoba: Komunitas yang Sembuh Bersama

Para pecandu yang ingin sembuh berkumpul untuk terapi bersama.

Liputan6.com, Jakarta - Hawa sejuk dan suasana yang tenang menyambut tim Liputan6.com saat menyambangi Balai Besar Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional Lido di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, akhir November lalu. Tiga petugas keamanan berjaga di gerbang beton setinggi 10 meter mendata setiap pengunjung yang ingin masuk ke kompleks seluas 11,5 hektare itu. Kompleks berbatasan dengan Danau Lido itu menjadi rumah bagi 350 mantan pecandu yang ingin keluar dari kebiasaannya.

Sore itu tim Liputan6.com diperbolehkan mengamati kegiatan puluhan residen--sebutan bagi peserta rehabilitasi--yang sedang mengisi waktu di sekitar lapangan olahraga. Sebanyak 12 residen sibuk berlarian mengejar bola pada sepetek lapangan futsal yang dikelilingi pagar kawat. Belasan residen lain tampak menunggu giliran bermain di pinggir lapangan. Di lapangan basket, sejumlah residen adu tangkas memasukkan bola ke dalam keranjang. Sebagian besar residen lainnya sibuk mengobrol di teras bangunan dua lantai tempat mereka menginap. Terdapat tiga bangunan penginapan di sekeliling lapangan.

Kepala Balai Besar Rehabilitasi BNN Lido Komisaris Besar Jolan Tedjokusumah menjelaskan para residen diberi kebebasan untuk beraktivitas di sore hari. Termasuk para pasien yang baru masuk di balai rehabilitasi. "Lapangan itu digunakan residen yang menjalani detoksifikasi," katanya ketika ditemui di kantornya di Lido, Selasa (24/12/2015).

Menurut Jolan, detoksifikasi merupakan tahap paling awal ketika pasien ingin mengikuti rehabilitasi di Lido. Tahapan yang bertujuan memutus ketergantungan pasien terhadap narkoba ini biasanya berlangsung 2 pekan. Selama proses ini, BNN menyediakan dokter untuk membantu meringankan efek samping ketika pasien berhenti menggunakan obat terlarang. Biasanya, kata Jolan, pasien narkoba yang menjalani tahapan "putus zat" ini mengeluhkan sakit perut, pusing, atau demam.

Para pasien yang baru masuk balai rehabilitasi terlihat sangat aktif beraktivitas. Badan mereka pun tampak tegap dan berisi, jauh dari bayangan kita mengenai seorang pecandu narkoba yang umumnya kurus. Menurut Jolan, para residen yang masuk ke balai rehabilitasi umumnya pecandu sabu-sabu yang berkarakter hiperaktif. Karenanya, menurut dia, para residen punya energi berlebih meski belum lama putus dari kecanduan. Tahap detoksifikasi akan dilanjutkan dengan tahap stabilisasi selama dua pekan. Setelah itu, residen akan memulai penyembuhan bersama mantan pecandu lainnya.

Inti penyembuhan di Balai Rehabilitasi Lido disebut sebagai therapeutic community. Terapi yang diadopsi dari Amerika Serikat ini pada dasarnya merupakan metode penyembuhan yang dilakukan bersama-sama oleh para pecandu. Setiap pecandu akan saling membantu pecandu lainnya untuk berhenti dari ketergantungan obat. Selama empat bulan menjalani terapi komunitas, para pecandu dilatih berdisiplin, saling berbagi, memotivasi, dan menghargai.

Jolan mengatakan, BNN menyiapkan aktivitas harian yang harus dijalani residen. Kegiatan dimulai pukul 05.00 hingga pukul 22.00. Selama 17 jam setiap harinya, disibukkan dengan kegiatan ibadah, pertemuan, belajar, terapi kelompok, konseling, olahraga, dan bercurah pendapat. Satu jam sebelum tidur, para residen mengikuti evaluasi malam. "Terapi ini menginginkan agar tidak tidur seharian," katanya.

BNN, kata Jolan, membatasi proses rehabilitasi selama 6 bulan untuk setiap residen. Peserta rehabilitasi tidak dikenakan biaya selama menetap di Lido. Adapun biaya terapi yang ditanggung negara untuk setiap residen adalah sekitar Rp 10 juta per bulan. Biaya itu termasuk ongkos penginapan, makan, kebersihan, dan perawatan sarana. Balai Rehabilitasi Lido sendiri hanya menerima residen yang merupakan penyalah guna narkoba. Adapun bandar narkoba dan anggota jaringannya tidak diperbolehkan masuk balai rehabilitasi.

Dian, salah seorang konselor di Balai Rehabilitasi Lido, mengatakan terapi komunitas membuat residen lebih terbuka memandang masa lalu. Rasa penyesalan residen yang muncul selama terapi, ujarnya, akan menjadi pendorong penyembuhan. Motivasi yang muncul dari setiap residen akan menjadi penguat para mantan pecandu untuk tidak mengulangi perbuatan ilegal yang mereka lakukan. "Tingkat keberhasilan terapi komunitas mencapai 80 persen," kata pria yang telah menjadi konselor selama 12 tahun itu.

Alexander Siagian, merupakan salah seorang peserta rehabilitasi, merasakan perubahan tersebut. Pria berusia 38 tahun asal Medan, Sumatera Utara, itu sudah mengikuti rehabilitasi selama 3 bulan dan termasuk residen yang umumnya menginap di Lido yaitu pecandu sabu-sabu dan ganja. Menurut Alexander, terapi komunitas membuat dirinya bisa bercermin dan mengendalikan diri. Dia pun menyadari kesalahannya mengkonsumsi narkoba. "Di sini sangat luar biasa. Seandainya saya berada di penjara mungkin lebih binasa hidup saya," ujar pria yang kini rajin beribadah itu.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Respek Mantan Pecandu

"Man on the floor," ujar Kepala Balai Besar Rehabilitasi BNN Lido Kombes Jolan Tedjokusumah sembari berteriak ketika mengantarkan Liputan6.com ke penginapan penginapan residen perempuan. Teriakan tersebut bertujuan agar residen perempuan bersiap jika ada tamu laki-laki yang masuk ke penginapan mereka. Dua petugas BNN keluar dari kantor, yang terletak berseberangan dengan meja penerima tamu, menyambut kedatangan kami.

Tiga residen perempuan terlihat duduk di atas kursi plastik merah menghadap ke tembok lorong utama ruang penginapan. Mereka adalah residen perempuan yang sedang mengantre masuk ruang sidang. Residen mengikuti sidang lantaran dianggap melanggar aturan internal di penginapan. Kesalahan tersebut umumnya menyangkut disiplin seperti tidak rapi menyusun sendal, lalai merapikan tempat tidur, atau bertengkar dengan sesama residen. Menurut Jolan, residen memang diminta menghargai diri sendiri dan residen lain dengan saling mengingatkan jika ada pelanggaran.

Ruang sidang tersebut berukuran 2x3 meter dan terletak di tengah lorong penginapan. Di dalamnya terdapat tiga residen yang ditunjuk sebagai hakim. Residen yang menjalani persidangan masuk ke ruangan sambil menenteng kursi plastik merah yang wajib dibawa ke mana-mana selama masa menunggu persidangan. Persidangan dimulai ketika residen duduk di depan majelis hakim. Hakim kemudian membacakan daftar kesalahan residen. Kemudian salah seorang hakim akan mengingatkan residen yang duduk di kursi pesakitan agar tidak mengulangi kesalahan. "Lo bikin kesalahan ini karena enggak konsentrasi. Mikirin apa sih lo? Mending mikirin diri sendiri aja. Kayak yang di luar mikirin lo," kata salah seorang anggota majelis hakim.

Residen yang didakwa bersalah tetap diberi kesempatan untuk membela diri. Namun, keputusan hakim mutlak dan tidak bisa diganggu gugat. Terdakwa kemudian mengakhir persidangan sambil menenteng surat hukuman yang harus dijalani. Adapun kursi merah dikembalikan ke pojok ruang sidang.

Dian, salah seorang konselor di Balai Rehabilitasi Lido, mengatakan respek--selain disiplin--merupakan kunci utama dalam terapi komunitas. Musababnya, para pecandu narkoba umumnya merupakan orang yang disegani di komunitas mereka terdahulu. Karenanya, Balai Rehabilitasi Lido membiasakan sesama residen untuk saling menghormati. "Ada panggilan khusus. 'Bro' untuk residen laki-laki. 'Sis' untuk residen perempuan," katanya.

Respek terhadap sesama residen dapat dirasakan pada kegiatan sehari-hari. Setiap residen bisa bercanda dengan residen lain tanpa ada rasa tersinggung. Di penginapan laki-laki, misalnya, residen akan saling berebut stik ketika ingin bermain biliar. Tapi ketika stik sudah jatuh ke satu tangan, residen lain akan menghormati dan menunggu giliran bermain.

3 dari 3 halaman

Tantangan Balai Rehabilitasi

Rehabilitasi mantan pecandu merupakan salah satu program pemerintah. Menurut Kepala Bagian Hubungan Masyarakat BNN Komisaris Besar Slamet Pribadi lembaganya ditargetkan merehabilitasi 100 ribu pecandu setiap tahun. Tahun ini, BNN sudah merehabilitasi sekitar 50 ribu pecandu.

Menurut dia, program rehabilitasi nasional tersebut diluncurkan pada Februari 2015. Namun, terlambatnya pengucuran anggaran membuat program tersebut sedikit terhambat. Dia mencatat pengucuran anggaran pertama program rehabilitasi nasional baru dilakukan pada Mei lalu. "Baru enam bulan berjalan," katanya ketika ditemui di Kantor Pusat BNN, Jakarta, Jumat (4/12/2015).

Slamet mengatakan, program rehabilitasi dilakukan bersama-sama oleh BNN, Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, Kepolisian RI, dan Tentara Nasional Indonesia. Kementerian Sosial, misalnya, melaksanakan rehabilitasi pengguna narkoba yang terkait dengan permasalahan sosial seperti anak jalanan, tuna wisma, dan pekerja seks komersial. Demikian pula Kementerian Kesehatan yang juga melaksanakan program rehabilitasi di pelbagai rumah sakit.

Balai rehabilitasi sendiri dipastikan masih akan terus berdiri karena merupakan amanat Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Saat ini, BNN memiliki empat balai rehabilitasi yaitu di Lido, Jawa Barat; Tanah Merah, Kalimantan Timur; Badokka, Sulawesi Selatan; dan Loka Batam, Kepulauan Riau. Balai rehabilitasi di Lido merupakan yang terbesar.

Di Indonesia sendiri terdapat banyak tempat rehabilitasi narkoba yang diselenggarakan swasta. Beberapa di antaranya berada di Jakarta, Bogor, Medan, dan Denpasar. Metode penyembuhan yang dilakukan pun beragam mulai dari yang berstandar internasional seperti theurapeutic community dan narcotics anonymous. Ada pula metode penyembuhan alternatif yang dilakukan oleh pesantren dan gereja.

Menurut Slamet, saat ini BNN ingin meningkatkan implementasi rehabilitasi. Salah satunya adalah memperketat saringan bagi peserta rehabilitasi. Dia mewanti-wanti agar jangan sampai bandar narkoba masuk ke balai rehabilitasi dengan mengaku sebagai pengguna.

Kepala Balai Besar Rehabilitasi BNN Lido Komisaris Besar Jolan Tedjokusumah membenarkan kekhawatiran Slamet. Menurut dia, balai rehabilitasi terkadang masih disodori calon residen yang ternyata berstatus bandar. Menurut dia, hal ini seharusnya tidak terjadi karena balai rehabilitasi seharusnya hanya ditujukan untuk pecandu saja.

Jolan mengatakan, saat ini balai rehabilitasi yang dia pimpin sudah memiliki tim penilai terpadu. Tim yang terdiri atas dokter dan ahli hukum ini bertugas menilai kelayakan seorang calon residen. Tim berhak menolak calon residen yang ternyata berstatus bandar narkoba atau anggota jaringan. "Tapi kami tidak bisa menolak jika calon residen itu titipan penyidik," katanya.

 

http://www.vidio.com/watch/218656-rehabilitasi-narkoba-komunitas-yang-sembuh-bersama

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.