Sukses

KDRT dan Kekerasan Saat Pacaran Dominasi Kasus Pada Perempuan

Hampir semua polres di Sumbar tidak memiliki fasilitas yang memadai untuk menampung atau menerima pelaporan korban.

Liputan6.com, Padang – Hingga akhir November 2015, Lembaga Nurani Perempuan Women's Crisis Center (NP-WCC) Sumatera Barat (Sumbar) telah mengumpulkan dan menganalisis 200 kasus kekerasan terhadap perempuan.

Dari data tersebut, mayoritas kasus didominasi masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kekerasan yang dilakukan oleh pasangan yang bukan suami istri. Pasangan muda-mudi tanpa status pernikahan juga kerap mendapat perlakuan kasar dari pasangannya.

"Lebih dari 50 persen kasus yang kami dampingi merupakan kasus kekerasan dalam rumah tangga, lalu kasus kekerasan seksual yang dialami perempuan dan anak, dan terakhir kasus pelecehan seksual," ujar Koordinator Pendampingan Korban NP-WCC Meri Rahmi Yenti ditulis Kamis (26/11/2015).

Meri menyatakan tindakan persuasif harus dikedepankan dalam penanganan perempuan korban kekerasan. Anggota keluarga perempuan harus dilibatkan dalam proses pemulihan kondisi korban karena dianggap lebih mampu mendekati korban.

"Agar korban terbuka dan mau mengatakan apa yang dialaminya. Jangan mengajak laki-laki saja. Harus ada anggota keluarga perempuan yang turut serta, baik itu dalam tahap pelaporan dan pemulihannya," lanjut Meri.

Sayang, penanganan korban selama ini di Sumbar belum bisa dinilai baik. Meri menyebutkan, hampir semua polres di Sumbar tidak memiliki fasilitas yang memadai untuk menampung atau menerima pelaporan korban. Pelaporan terkait tindak kekerasan terhadap perempuan seringkali hanya diterima oleh aparat laki-laki. Hal itu menimbulkan perasaan tidak nyaman bagi korban untuk melaporkan kejahatan yang dialaminya.

"Hampir di semua polres yang ada di daerah Sumbar tidak layak bagi pelapor perempuan. Mereka cenderung malu mengungkapkan apa yang mereka alami karena tidak ada ruangan khusus didampingi Polwan dan tempat melapor yang ramai di kantor polisi tersebut," jelas Meri.

Situasi diperparah dengan pandangan masyarakat yang masih menganggap tindak kekerasan dalam rumah tangga sebagai hal yang wajar. Masyarakat, kata Meri, juga keliru menafsirkan tindak kekerasan sebagai aib keluarga yang tidak boleh diungkapkan. Padahal, hal itu merupakan pelanggaran hukum.

"Masih banyak yang menganggap, kekerasan di rumah tangga adalah aib yang tidak boleh diketahui orang lain. Ini pemikiran yang keliru, itu tindakan pidana dan kekerasaan yang bahkan bisa mengancam nyawa," tukas Meri. (Din/Mut)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini