Sukses

Di Garis Depan Demi Sang Ketua

Dalam kasus Setya Novanto, lanjut Yayah, laporan Menteri Sudirman Said bisa diterima lantaran menteri termasuk perorangan.

Liputan6.com, Jakarta - Setelah banyak desakan dari sana sini, termasuk dari Ketua MPR Zulkifli Hasan, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR akhirnya menggelar sidang terbuka kasus dugaan pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang diduga dilakukan Ketua DPR Setya Novanto.

Sidang ini dilangsungkan setelah sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said, melaporkan ke MKD tentang dugaan pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden terkait perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia.

Dalam sidang terbuka yang berlangsung, Selasa (24 November 2015), MKD menghadirkan menghadirkan ahli hukum bahasa, Yayah Bachria Mugnisjah.

Yayah dihadirkan untuk dimintai keterangan akademiknya soal frasa 'dapat' pada Bab 4 Pasal 5 Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).

Dalam pasal itu disebutkan, laporan dapat disampaikan oleh: a. Pimpinan DPR atas aduan anggota terhadap anggota; b. Anggota terhadap pimpinan DPR atau pimpinan AKD; dan/atau c. Masyarakat secara perseorangan atau kelompok terhadap anggota, pimpinan DPR, atau pimpinan Alat Kelengkapan Dewan (AKD).

Di ruang sidang, ruang MKD Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Yayah pun memaparkan penafsirannya  terhadap Bab 4 Pasal 5, yang sebelumnya sempat menjadi perdebatan antara sesama anggota MKD.

Menurut dosen di Universitas Nasional dan Sekolah Tinggi Intelijen Negara ini, tidak ada larangan MKD menolak laporan Sudirman Said. Sebab 3 poin dalam Pasal 5 tidak menjelaskan soal laporan menteri.

"Setiap orang dapat mengadu. Konteks masyarakat secara perseorangan sebagai anggota masyarakat. Dalam hal ini, sesuai dengan maknanya. Boleh atau dapat. Kata boleh, bagian kata makna. Boleh dalam kamus bermakna dapat bahkan sejalan dengan juga bersinonim diizinkan atau sejalan dengan tidak dilarang," kata Yayah yang fokus mengajar ilmu bahasa hukum.

Dengan demikian, ujar Yayah, Menteri ESDM boleh melapor dugaan pelanggaran etik Setya Novanto. "Jadi laporan Menteri Sudirman Said dapat dikatakan boleh. Diizinkan, tidak dilarang," tegas Yayah.



Ketua MKD, Surahman Hidayat (kiri) dan Wakil Ketua MKD, Junimart Girsang memimpin Rapat Dengar Pendapat (RDP) lanjutan kasus Setya Novanto, Jakarta, Selasa, (24/11/2015). RDP beragenda mendengarkan keterangan saksi ahli bahasa (Liputan6.com/Johan Tallo)

Dia menjelaskan, dalam Pasal 1 ayat (10) atau di bagian umum disebutkan, setiap orang berhak untuk melaporkan dugaan pelanggaran Kode Etik anggota DPR, tanpa terkecuali seorang menteri.

"Memang bunyinya ada setiap orang. Kan, setiap orang tidak memandang status pejabat," ucap Yayah lagi.

Dalam kasus Setya Novanto, lanjut Yayah, laporan Menteri Sudirman Said bisa diterima lantaran menteri termasuk perorangan, dan juga bagian dari masyarakat.

"Di bagian pengertian kan cukup jelas setiap orang. Kalau setiap orang kan, tidak dibatasi. Statusnya juga tidak persoalkan karena kan menurut saya, ini dia termasuk perseorangan. Cuma statusnya kebetulan dia menteri," tandas Yayah.

Sidang terbuka perdana ini dihadiri seluruh anggota MKD. Ketua MKD Surahman Hidayat mengatakan, rapat kali ini sifatnya hanya mendengarkan keterangan dari pakar hukum. "Forum ini kan hanya mendengarkan, kalau putusnya di dalam rapat internal," jelas Surahman.

Anggota MKD Dadang S Mochtar mengungkapkan, pihaknya mengamini penjelasan ahli hukum bahasa yang memperbolehkan menindaklanjuti laporan Sudirman Said. "Kan tadi sudah dibilang boleh, kan jelas," ujar Dadang.

Usai mendengarkan keterangan Yayah kurang dari 30 menit, rapat pleno MKD kembali ‎ditutup untuk umum. Rapat pleno ini digelar untuk memutuskan, apakah akan menindaklanjuti laporan Sudirman Said atau tidak tentang dugaan pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden oleh anggota DPR.

Sidang terbuka ini digelar setelah sebelumnya terjadi perdebatan antara anggota MKD, yang mempermasalahkan boleh tidaknya Sudirman Said melapor. Beberapa anggota MKD, ungkap Surahman, mempermasalahkan laporan Sudirman yang dianggap tidak memenuhi syarat, lantaran Sudirman dianggap tidak masuk bagian dalam masyarakat melainkan pejabat negara.

Tantangan Debat

Bagi Setya Novanto dan Fadli Zon, tidak ada yang salah mengenai pertemuan mereka dengan Donald Trump.

Sejak Sudirman Said melaporkan dugaan pencatutan nama itu ke MKD pada Senin, 16 November 2015. Muncul banyak pro dan kontra. Banyak pihak, termasuk anggota DPR, mendukung agar kasus ini diungkap. Namun banyak juga yang menentang.

Mereka yang menentang umumnya anggota DPR dari koalisi Merah Putih. Beberapa politikus yang terlihat gencar menentang pengungkapan lebih jauh kasus ini yakni Wakil Ketua DPR Fadli Zon dari Fraksi Gerindra dan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah dari Fraksi PKS.

Fahri Hamzah bahkan mempermasalahkan kedatangan Sudirman Said ke MKD DPR. Menurut dia, eksekutif tidak boleh datang seenaknya ke lembaga legislatif, sehingga tindakan Sudirman Said datang ke MKD, menurut dia, adalah illegal.

"Di dalam MKD (Sudirman Said) tidak punya legal standing. Saudara Sudirman Said dalam hal ini tidak mengerti undang-undang. Maksud baik harus disampaikan dengan cara yang benar. Jadi pejabat eksekutif tidak boleh menyerang anggota dewan," pungkas Fahri.

Tidak hanya mempermasalahkan aksi Sudirman Said, Fahri juga mengingatkan MKD agar tidak salah dalam bertindak. Sebab, kata dia, bila MKD salah langkah bisa digugat balik.

"Tidak bisa main langsung pecat, langsung hukum. Kita harus sabar berdemokrasi, menghargai bahwa pada diri anggota Dewan itu ada hak rakyat memilih mereka," ujar Fahri di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (24 November 2015).

Terkait rekaman dan transkrip percakapan antara Setya Novanto dan bos PT Freeport Indonesia  yang telah beredar, Fahri menegaskan, bukti-bukti itu belum jelas. Sebab, bisa saja nanti dalam proses penyelidikan ditemukan fakta-fakta yang tidak memperkuat bukti-bukti tersebut.

"Kalau Anda tanya saya tentang bukti, ya memang buktinya kacau," tegas Fahri.

Politikus yang paling bereaksi keras terhadap kasus Setya Novanto bisa dibilang adalah Fadli Zon. Dia tidak hanya mempermasalahkan rekaman yang diserahkan Sudirman ke MKD yang dianggapnya tidak lengkap, tapi juga menganggap bahwa dalam kasus ini sang menteri lah yang salah.

"Dari awal saya sudah mencium banyak keanehan dan kejanggalan dari apa yang disampaikan ke MKD oleh saudara Sudirman Said," kata Fadli Zon. "Jadi bukan tidak mungkin ada rekayasa di kasus ini," lanjut dia, Selasa (24 November 2015).

Fadli Zon menuding, Sudirman sengaja membuat manuver politik untuk membuat gaduh suasana.

"Yang justru salah itu SS, dia melanggar UU dengan perpanjang kontrak. Tapi lebih dari itu dari tanggal 8 Juni sampai sekarang tidak pernah ada follow up dari pembicaraan itu (Setya Novanto dan Freeport). Kalau boleh saya nilai itu obrolan pepesan kosong. Kalau serius pasti ada tindak lanjutnya. Jadi saya kira ini manuver politik dari SS yang buat kegaduhan,‎" ungkap Fadli.

Bahkan, Fadli menantang Sudirman Said untuk debat perihal masalah Freeport yang menurut dia, semakin tidak jelas arahnya di MKD.

"Sekarang objektif aja. Masalahnya di mana. Saya tantang SS untuk berdebat di TV atau di mana. Tapi dia enggak pernah berani. Kalau bisa nanti malam di ILC," tandas Fadli Zon.

Melibatkan KPK

Sementara Wakil Ketua Fraksi Partai Nasdem Johnny G Plate menilai, kasus pencatutan nama ini sebagai ujian untuk melihat integritas MKD sebagai lembaga etik DPR.

"MKD nggak boleh bekerja di luar aturan yang dia miliki. MKD sedang diuji. MKD harus mampu menjaga integritasnya," kata Johnny di Gedung DPR, Senayan, Selasa (24 November 2015).

Dia juga meminta agar jika ada data dan bukti kurang, MKD bisa memintanya kembali kepada Kementerian ESDM. "Sebab, MKD adalah tempat pembuktian atas dugaan yang dibentuk opini publik. Saya minta hal ini dituntaskan," papar Johnny.

Dia mengimbau semua pihak untuk mengawal MKD agar bekerja sesuai UU yang berlaku, serta terbuka dalam memberikan informasi. "Kerja MKD harus terbebas dari tekanan politik dan tekanan politisasi," pungkas Johnny.

Sementara mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas menyarankan, selain sidang dilakukan secara terbuka, majelis hakim MKD juga perlu melibatkan unsur independen, tidak hanya anggota dewan, dalam sidang.

"Bukan hanya DPR, tapi ada unsur dari luar seperti KPK, ada komisi etik. 3 Dari KPK dan 2 dari luar (independen). Untuk tahapan tertentu (sidang Setnov) sebaiknya terbuka," kat‎a Busyro di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (24 November 2015).

Bila saran tersebut diterima, ujar Busyro, dapat mendongkrak reputasi MKD untuk menjalankan sidang yang transparan pada publik. Selain itu, sidang terbuka juga akan menghilangkan dugaan MKD punya kepentingan-kepentingan. (Sun/Ron)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini