Sukses

Menanti Ujung Kasus Pencatutan Nama Jokowi

Polemik politikus pencatut nama presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla mulai memasuki babak baru. Polri dan KPK mulai terlibat.

Liputan6.com, Jakarta - Kepulangan Presiden Jokowi yang mendadak ke Tanah Air di tengah kunjungan kerjanya ke Amerika Serikat (AS) ternyata bukan hanya disebabkan persoalan bencana asap yang saat itu terjadi di beberapa wilayah di Sumatera dan Kalimantan.

Tapi karena persoalan polemik kontrak karya Freeport. Jokowi diceritakan sempat kaget karena pada saat usai menemui Presiden Amerika Serikat Barack Obama di Gedung Putih, ada salah seorang pejabat AS yang menyinggung soal perpanjangan kontrak Freeport di Indonesia.

"Jokowi kaget, ketika pejabat itu mengatakan kalimat yang seolah-olah kontrak perpanjangan Freeport itu sudah disepakati dan tinggal proses penandatanganan," ujar sumber Liputan6.com.

Mendengar hal itu, Jokowi langsung marah namun, mantan wali kota Solo itu lebih memilih diam dan memutuskan untuk mempercepat kunjungan kerjanya di Amerika dan segera pulang ke Indonesia.

"Ya Presiden pasti marah, karena merasa tidak dilaporkan soal Freeport itu, apalagi nadanya seakan-akan kontrak Freeport di perpanjang lagi," tutur sumber yang dikenal sebagai salahsatu mantan pejabat di lembaga negara itu.

Selama perjalanan pulang dari Amerika menuju Indonesia, Jokowi memilih untuk tidak bicara pada siapapun karena masih merasa 'dilangkahi' oleh anak buahnya.

"Jokowi marah, apalagi Freeport ini rencananya akan diakhiri masa kontraknya di Papua, Indonesia," jelas sumber.

Namun, kabar tersebut buru-buru dibantah, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Luhut Binsar Pandjaitan yang namanya banyak disebut-sebut dalam rekaman yang diduga berisi percakapan antara Ketua DPR Setya Novanto dengan Bos Freeport.

"Selama di Amerika saya tidak pernah membicarakan Freeport. Saya murni hanya membicarakan soal kunjungan Presiden (Jokowi)," ucap Luhut di kantornya, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (19/11/2015).

Secara pribadi, Luhut juga menegaskan, dia tidak mempunyai kepentingan apa-apa soal perpanjangan kontrak Freeport. Sebagai perwakilan dari Pemerintahan Jokowi-JK, dia menyatakan tidak akan mengadakan negosiasi kontrak sebelum 2019, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2014.

"Mengenai saya sendiri, saya tidak pernah terlibat dengan urusan-urusan itu. Saya sudah selesai dengan diri saya.‎ Saya juga tidak setuju itu dilakukan negosiasi atau diberikan saham kepada siapa pun sebelum kontrak itu habis," tukas Luhut.

Selama ini pemerintah fokus meminta 4 hal kepada PT Freeport Indonesia sebelum kontraknya habis. Syarat itu diduga akan mempengaruhi kebijakan pemerintah, apakah selanjutnya tetap akan memperpanjang kontrak Freeport atau berhenti sampai 2021.

"Presiden hanya minta 4 yaitu mengenai royalti, mengenai local content, smelter, dan divestasi. Itu yang harus dilakukan," papar ‎Luhut.

Namun permintaan Pemerintah Indonesia ternyata belum bisa dilaksanakan PT Freeport. Bahkan divestasi dan smelter yang seharusnya sudah dipenuhi beberapa waktu lalu, hingga kini belum terwujud. Melihat kondisi ini, bukan tidak mungkin kontrak Freeport hanya sampai 2021.

"Divestasi dan smelter ini harus sudah dilakukan Freeport beberapa ‎waktu lalu. Jadi sebenarnya mereka sudah tidak memenuhi itu," pungkas Luhut.

Kedua Wakil Ketua MKD, Hardi Soesilo (kiri), Junimart Girsang (Tengah) bersama Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said usai melakukan pertemuan, di Komplek Parlemen, Jakarta, Senin (16/11/2015). (Liputan6/JohanTallo)


DPR vs Istana

Namun ‘bola panas’ terlanjur ditendang Menteri ESDM Sudirman Said ke Senayan. Mantan dirut PT Pindad ini melempar isu ada politikus Senayan pencatut nama Presiden di tengah polemik perpanjangan kontrak Freeport. Bahkan, Sudirman menyebutkan, si politikus itu sampai meminta saham Freeport dan proyek energi lainnya.

Parlemen pun langsung gaduh. Sejumlah anggota DPR langsung mendesak agar Sudirman berani mengungkap siapa nama politikus itu. Bahkan Komisi VII DPR sampai mengancam Sudirman dengan pembentukan Pansus Freeport agar masalah ini terang benderang.

Selang dua hari setelah, melempar pernyataan itu, Sudirman yang mengaku sudah mendapat izin dari wapres JK, langsung menyambangi Majelis Kehormatan Dewan (MKD) di gedung DPR untuk melaporkan si oknum politikus itu.

Tidak tanggung-tanggung, Sudirman langsung menyerahkan dua bukti secara bertahap. Pertama transkrip percakapan kemudian disusul pada hari berikutnya bukti rekaman wawancara yang disimpan dalam flashdisk.

Wakil Ketua MKD Junimart Girsang mengatakan, untuk kepentingan penegakan etika anggota DPR, MKD akan segera melakukan verifikasi dari transkrip pembicaraan antara SN dan bos Freeport secara utuh.

"Kita juga akan menvalidasi keaslian tentang suara-suara dalam rekaman tersebut, Kemudian dalam waktu secepat mungkin bukti rekaman akan kami serahkan ke Mabes Polri," papar Junimart.

Tujuanya, kata Junimart, agar pihak Kepolisian juga bisa membantu MKD melakukan penjernihan terhadap alat bukti rekaman tersebut.

"Agar tahu apakah betul itu suara si X dan si Z," jelas Junimart.

Politisi PDI Perjuangan ini juga berharap, sebelum masa persidangan tahun ini, pihaknya sudah bisa memanggil pihak pengadu yaitu, Menteri ESDM untuk meminta keterangan secara langsung. Dia juga menginginkan, pelaksanaan sidang dapat terbuka untuk umum.

"Dalam tata aturan sidang bisa terbuka untuk umum jika disetujui dalam rapat kuorum anggota MKD. Saya mengatakan sepanjang itu tidak menjadi dugaan perkara asusila maka dibuka saja, karena rakyat berhak tahu apa yang kita kerjakan," tutur Junimart.

Tapi Junimart, menuturkan pihaknya tidak bisa menentukan kapan waktu pasti penyelesaian kasus ini, karena rencananya MKD ingin memanggil sejumlah pihak diluar Menteri Sudirman.

"Ada lebih dari empat orang diluar dari pengadu sendiri. Kalau bisa minggu depan kenapa tidak. Kita juga tidak mau dikejar-kejar terus dan ingin cepat clear," tandas Junimart.

Tujuanya, kata dia, agar MKD tidak diobok-obok terus dan ini juga terkait dengan kepercayaan publik pada MKD DPR. "Karena sebagian orang sudah tidak percaya lagi dengan MKD. Ini moment untuk menunjukkan integritas MKD," tandas Junimart.

MKD juga akan meminta bantuan Polri agar dapat menjernihkan suara dalam rekaman yang diterima MKD. Penjernihan diperlukan mahkamah untuk keperluan sidang nanti.

Sehingga, mahkamah dapat melakukan pemanggilan terhadap pihak-pihak atau siapa saja yang ada di dalam rekaman tersebut. "Supaya kita sudah bisa bersidang untuk panggil para pihak," ujar Junimart.

Plt Ketua KPK Taufiequrrahman Ruki mengikuti rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (19/11). Rapat membahas tentang masukan dari KPK mengenai revisi KUHP. (Liputan6.com/Johan Tallo)



KPK Ingin Ikutan

Mendengar Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi KPK Taufiequrrachman Ruki menyebut pejabat negara yang meminta sesuatu pada pihak swasta termasuk sebagai perilaku korup.

"Jadi meminta sesuatu itu adalah termasuk perilaku korup. Tapi bedakan perilaku yang koruptif dengan tindak pidana korupsi," kata Ruki.

Menurut Ruki, lembaga penegak hukum yang pantas mengusut kasus ini adalah kepolisian. Namun, tidak menutup kemungkinan KPK akan mengambil alih kasus bila terjadi tindak pidana korupsi.

"Oleh karena itu, KPK sedang melakukan pendalaman. ‎Kalau polisi tidak mampu dan menyerahkan kepada KPK, kami siap," ujar Ruki.

Namun Ruki mengatakan, pihaknya akan lebih dulu mengkaji kronologi peristiwa ini, mulai dari penyadapannya, pertemuannya, sampai dengan iming-iming yang ada dalam rekaman tersebut.

Ruki juga menjelaskan, KPK mau bertindak hati-hati dalam ‎kasus ini. Ia tidak mau apabila lembaga antirasuah itu mulai mengusut, tapi kurang bukti untuk memidanakan, sehingga tersangka pun dibebaskan.

"‎Kalau KPK masuk, begitu ditangani saya tidak mau bebas. Karena mempertaruhkan reputasi. Jadi percuma kalau ujungnya bebas," tegas Ruki.

Ketua DPR Setya Novanto saat gladi bersih pembukaan Konferensi Parlemen Asia Afrika, Jakarta, Rabu (22/4/2015). (Liputan6.com/Andrian M Tunay)


Jokowi – Setnov Percaya MKD

Menanggapi hal itu, Ketua DPR Setya Novanto mengatakan, tidak akan melaporkan balik Menteri ESDM Sudirman Said ke kepolisian, walaupun politikus Golkar ini meyakini dirinya tidak pernah sekalipun mencatut nama Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla.
   
Dirinya justru lebih memilih menyelesaikan persoalan ini MKD. Karena, sebelumnya Sudirman Said juga mengadukan Setnov pada MKD soal pencatutan nama Presiden terkait perpanjangan kontrak karya Freeport.

"Namanya juga blackmail (surat kaleng), ya semua saya serahkan ke MKD. Buat saya mudah-mudahan yang melakukan blackmail itu ke saya diampuni," ujar Setya Novanto di Bogor, Jawa Barat, Kamis (19/11/2015).

Setnov juga mengaku tidak sekalipun menyebut atau memanfaatkan nama Presiden Joko Widodo untuk turut campur dalam perpanjangan kontrak Freeport. Adapun transkrip yang beredar, Setya menyebut itu hanya surat kaleng. "Itu hanya blackmail," kata dia.

Setnov mengaku pasrah terhadap penilaian publik pada dirinya setelah beredarnya transkrip percakapan itu. "Saya menyerahkan kepada publik untuk menilai masalah ini," tandas Setnov.

Lalu apa kata Jokowi? Presiden Jokowi tetap memberikan perhatian terhadap kasus pencatutan namanya terkait perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia. Namun, Jokowi tetap akan menghormati apa pun keputusan yang diambil Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR yang sedang memproses laporan Menteri ESDM Sudirman Said itu.

Jokowi percaya pada integritas MKD DPR dalam mengambil keputusan terbaik soal pelaporan politikus inisial SN yang dikaitkan dengan Ketua DPR Setya Novanto pada Senin 16 November 2015.

"Biarkan MKD bekerja, saya menghormati apa pun keputusan mereka," ucap Jokowi usai meresmikan sejumlah proyek infrastruktur di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Kamis (19/11/2015).

Pernyataan Jokowi ini mengulangi keterangan yang disampaikan kemarin di Istana Negara, Jakarta. Jokowi mengaku belum akan menentukan sikap apa pun dalam waktu dekat ini. Tujuannya untuk menghormati MKD yang baru menerima laporan Menteri ESDM itu.

"Kan sudah saya sampaikan, kita harus menghormati proses di MKD. Harus menghormati. Sekali lagi, saya menghormati MKD," tandas Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Rabu 18 November 2015.‎ (Dms/Ali)

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini