Sukses

1,5 Juta Hektare Hutan Diserahkan ke Masyarakat Adat Sumbagsel

Hutan-hutan yang dikelola industri terbukti menjadi pemasok hotspot terbesar.

Liputan6.com, Bengkulu - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bakal menyerahkan pengelolaan hutan kepada masyarakat adat di Sumatera Bagian Selatan. Luasan lahan yang bakal dikelola melalui program areal kelola kawasan perhutanan sosial itu seluas 1,5 juta hektare.

Direktur Penyiapan Perhutanan Sosial Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan KLHK Wiratno mengatakan pengelolaan hutan ini merupakan bagian dari program nasional yang dicanangkan oleh KLHK dengan total lahan yang bakal diserahkan seluas 12,7 juta hektare.

"Penyerahan hak pengelolaan ini dalam rangka memaksimalkan fungsi ekologi, ekonomi dan sosial. Pola agroforestry ini merupakan jalan tengah untuk menekan laju pengelolaan hutan yang saat ini belum maksimal," ujar Wiratno dalam workshop konsultasi publik peta areal kelola kawasan perhutanan di Bengkulu, Rabu (4/10/2015).

Dari alokasi 1,5 juta hektare itu Provinsi Riau mendapat alokasi lahan terbesar seluas 862.331 hektare, Jambi seluas 304.000 hektare, Sumatra Selatan seluas 257.828 hektare, dan Bengkulu seluas 119.661 hektare.

Penyerahan pengelolaan kepada masyarakat adat lebih dari setengah atau 50 persen merupakan usulan yang diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Jaringan JKPP dan KPSHK. Usulan itu melalui proses verifikasi yang melibatkan multipihak untuk memastikan bahwa tidak ada korporasi yang bermain di balik penyerahan hak pengelolaan ini.

Verifikasi juga untuk memastikan bahwa memang hutan yang diserahkan merupakan wilayah yang selama ini dikuasai negara dan memiliki masyarakat adat sebagai penjaga kawasan. Tujuannya memaksimalkan pengelolaan kawasan dengan status zona pemanfaatan khusus.

"Masyarakat harus mampu mengelola hutan, saat ini HGU dan Hutan Tanaman Industri atau HTI merupakan penyumbang hotspot terbanyak sebagai penyuplay bencana kabut asap, untuk meredamnya, kita akan serahkan pengelolaannya menjadi hutan desa," lanjut Wiratno.

Baca Juga

Terpisah, Direktur Eksekutif Yayasan Konservasi Sumatra (YKS) Heksa Primaputra menyatakan, selama ini, pemanfaatan hutan terbatas yang diklaim sebagai hutan lindung selalu memicu konflik agraria. Kebijakan pengelolaan Hutan Sosial ini diharapkan bisa meminimalisir konflik dan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat adat yang memang sudah mendiami kawasan selama puluhan tahun.

"Penghidupan masyarakat adat yang berada di kawasan terbatas sangat bergantung kepada hutan. kebijakan ini juga untuk memastikan perlindungan terhadap lahan, ketersediaan air bersih dan kenyamanan udara," kata Heksa. (Hmb/Ado)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini