Sukses

Ahli Pidana: Grasi Tak Perlu Dibatasi Ruang dan Waktu

Menurut Firman Wijaya, grasi adalah sarana keadilan subtantif dalam rangka menuju kesejahteraan negara dan masyarakatnya.

Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materi Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (UU Grasi).

Uji materi itu diajukan oleh terpidana mati pembunuhan bos Asaba, Suud Rusli, yang mempermasalahkan pembatasan waktu pengajuan grasi sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 ayat (2) UU Grasi.

Menurut ahli pidana Firman Wijaya‎, Suud sebagai pemohon tidak berkapasitas sebagai terpidana ketika mengajukan grasi, melainkan sebagai warga negara.

"Pemohon yang mengajukan grasi adalah warga negara yang mempunyai hak meminta ampun kepada presiden sebagai pemimpin negara," ucap Firman di Ruang Sidang Utama, Gedung MK, Jakarta, Senin (2/11/2015).

Firman mengatakan meski tidak tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), grasi dapat menggugurkan hak warga negara untuk menjalankan pidana. Dengan dikabulkannya grasi, maka pidana yang dijatuhkan kepada seseorang dapat dihapus, berkurang, atau berubah jenisnya.


Atas dasar itu, ujar Firman, seyogyanya pengajuan grasi dan pemberian grasi tidak perlu dibatasi ruang dan waktunya. Sebab, grasi adalah sarana keadilan subtantif dalam rangka menuju kesejahteraan negara dan masyarakat.

"Keadilan subtantif di sini lebih ditekankan kepada keadilan bagi seorang presiden. Karena grasi adalah mutlak hak presiden dalam rangka mencapai tujuan negara yang sejahtera, adil, dan persatuan NKRI," ucap dia.

Kata Firman, contoh pemberian grasi terkait kesejahteraan telah dilakukan Presiden Joko Widodo terhadap Eva Bande selaku pejuang kelestarian lingkungan hidup yang menjadi terpidana akibat risiko perjuangannya. Sedangkan pemberian grasi terkait persatuan NKRI telah dilakukan Jokowi dengan memberikan grasi kepada elemen separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM).

"Akan menjadi pertanyaan besar bagaimana presiden selaku kepala negara dan kepala pemerintahan memajukan bangsa, mensejahterakan, mempersatukan, dan menegakkan keadilan subtantif jika hak pemberian grasinya dibatasi ruang dan waktu," kata Firman.

Terpidana Mati

Sebagai informasi, Suud Rusli mengajukan gugatan UU Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (UU Grasi) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Terpidana mati pembunuhan bos Asaba, Budyharto Angsana, itu mempermasalahkan Pasal 7 ayat 2 UU Grasi.

Pasal 7 ayat 2 UU Grasi itu mengatur tentang syarat batasan waktu pengajuan grasi bagi terpidana mati.‎ Disebutkan dalam pasal itu, untuk mengajukan grasi paling lama 1 tahun setelah putusan berkekuatan hukum tetap.

Suud menilai pasal itu telah merugikan hak konstitusionalnya sebagai warga negara.‎ Karena itu, dia meminta MK menghapus ketentuan Pasal 7 ayat 2 UU Grasi.

Suud adalah mantan anggota Marinir TNI AL yang terlibat dalam pembunuhan Budyharto Angsono dan pengawalnya, Edy Siyep, di kawasan Pluit, Jakarta Utara, pada 19 Juli 2003.

Suud tidak beraksi sendiri. Dia bekerja sama dengan anggota Marinir lainnya, yakni Syam Ahmad (tertembak mati pada 17 Agustus 2007). Keduanya kemudian divonis mati oleh pengadilan militer. (Nil/Sun)**

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

  • Presiden Jokowi hibur anak-anak dengan atraksi sulap di peringatan Hari Anak Nasional, di Pekanbaru, Riau.
    Joko Widodo merupakan Presiden ke-7 Indonesia yang memenangi Pemilihan Presiden bersama wakilnya Jusuf Kalla pada 2014

    Jokowi

  • Grasi

Video Terkini