Sukses

Rapor Pemberantasan Korupsi Setahun Jokowi-JK Versi Pukat UGM

Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gajah Mada Yogyakarta memberi nilai pemberantasan korupsi pada setahun pemerintahan Jokowi-JK.

Liputan6.com, Jakarta - Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gajah Mada Yogyakarta menilai pemberantasan korupsi pada setahun pemerintahan Jokowi tidak lebih baik dari zaman kepemimpinan Susilo Bambang Yudoyono (SBY).

Direktur Pukat UGM Zainal Arifin Mukhtar mengatakan pemberantasan korupsi di era SBY memiliki nilai yang lebih bila dibandingkan dengan Jokowi. Walaupun SBY baru terlihat berpihak pada tahun-tahun akhir kepemimpinannya (2007).

"Kita lihat SBY di tahun kedelapannya memimpin. Dalam kasus cicak versus buaya pertama SBY menunjukan keberpihakannya. Kami tentu berharap Jokowi bisa memperbaiki ini di tahun keduanya," tandas Zainal, Kamis 22 Oktober 2015.

Menurut dia, dalam memberantas korupsi di negeri ini, perlu adanya keseriusan dan keberpihakan. Begitu juga dalam penegakan HAM. Hal itulah yang tidak terlihat dalam setahun pemerintahan Jokowo-JK.

"Janji pertama dia mengatakan membangun politik, legislasi terbuka dan berpihak. Berpihak pada apa pemberantasan korupsi, pengakan hukum HAM lingkungan dll. Ini tolak ukur keberpihakan kita lihat nyaris bukan nyaris ya tidak ada sebenarnya. Pemihakan HAM minim bagaimana kasus munir," ujar Zainal.

Dia menyebut pemihakan ini penting pada kondisi saat ini. Sebab, pada masa pemerintahan Jokowi nyaris tidak ada penyataaan detail dalam pemberantasan korupsi. Jokowi selalu saja menggunakan politik dalam menyelesaikan kasus kasus hukum, HAM, dan korupsi.

"Perlu membangun pondasi hukum karena membangun pondasi hukum cukup sulit ukurannya. Kalau bangun pondasi ekonomi mudah dengan angka angka kalau hukum susah. Maka perlu adanya pemihakan. itu dijanjikan sendiri," kata Zainal.

Berdasar kajian Pukat UGM, ada 3 hal yang menjadi persoalan dalam pemberantasan korupsi selama setahun ini. Pertama, pelemahan KPK, baik melalui revisi UU KPK, RUU KUHAP, KUHAP dan kriminalitas pimpinan KPK.

Kedua, buruknya kinerja Kejaksaan Agung dan Kepolisian melalui pemilihan Jaksa Agung dari politikus, pemilihan dan BG sebagai wakapolri.

Ketiga, pemberian remisi oleh Kementrian Hukum dan HAM kepada narapidana korupsi. Jumlah narapidana korupsi di Indonesia mencapai 1.802 orang. Sebenyak 517 orang di antaranya mendapat remisi dengan PP Nomor 28 tahun 2006 dan 1.421 orang mendapat remisi tentang ketentuan PP Nomor 99 tahun 2012. (Bob/Mut)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini