Sukses

PPATK: UU TPPU Muncul Untuk Memerangi Kejahatan Terorganisir

Kepala PPATK M Yusuf mengatakan UU TPPU muncul untuk memerangi kejahatan terorganisir dan memutus rantainya.

Liputan6.com, Jakarta - Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) M Yusuf menyesalkan adanya gugatan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan ‎Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TTPU) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ia pun menceritakan kenapa aturan pencucian uang itu dibuat.

Saat hadir di ruang sidang utama, Gedung MK, sebagai pihak terkait, Yusuf menuturkan, sejarah awal mulanya undang-undang tersebut dibuat. Semuanya bermula dari kejahatan terorganisir ‎yang dilakukan mafia kelas kakap di Amerika Serikat, Alfons Capone.

Mafia yang terkenal dengan julukan Al Capone itu membangun organisasi kejahatannya secara terorganisir dengan memiliki karakterisitik struktural yang solid dan bersifat internasional.

"Kejahatannya memiliki sumber pendanaan yang sangat kuat dan jaringan kerja yang sangat luas melintasi batas-batas negara," kata Yusuf yang menyesalkan gugatan UU TPPU itu dilayangkan oleh Mantan Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, RJ Soehandoyo.

Karena itu, untuk mencegah kejahatan internasional yang dilakukan Al Capone dan kawan-kawannya, maka pemerintahan antarnegara melakukan pertemuan pada tahun 1988 yang kemudian melahirkan Konvensi Vienna.

Dalam konvensi tersebutu, negara-negara dunia bersatu dan membuat kesepakatan untuk mengejar pelaku kejahatan bukan hanya menangkap pelakunya saja, melainkan juga harus membekukan aset-aset pelaku yang merupakan hasil kejahatan para mafia tesebut.

"Seperti yang dilakukan Al Capone bersama-sama organisasi kejahatan lainnya yang beroperasi di berbagai belahan dunia‎," ucap dia.

Yusuf menjelaskan, konvensi Vienna menawarkan suatu paradigma baru yang dipandang sebagai satu langkah maju dengan strategi yang tidak hanya terfokus dalam menangkap dan menghukum para pelaku kejahatan saja, tetapi juga berorientasi mengejar dan merampas harta kekayaan atau aset yang dihasilkan dari tindak kejahatan para pelaku tersebut.

"Paradigma baru ini bertujuan untuk menghilangkan nafsu dan motivasi setiap orang untuk berbuat jahat dengan cara menghalanginya untuk menikmati hasil buah dari kejahatannya," kata Yusuf.

Ditambahkanya, hasil kejahatan itu seperti life blood of the crime atau aliran darah yang menghidupi kejahatan itu sendiri. Karena itu, undang-undang pencucian uang di masing-masing negara dibuat untuk memutus mata rantai kejahatan yang dihidupi oleh 'aliran darah kejahatan' tersebut.

"Upaya memotong mata rantai kejahatan ini lewat titik terlemahnya, yaitu merampas hasil-hasil kejahatan. Selain lebih mudah dilakukan, juga dipercaya bisa  menghilangkan motivasi pelakunya mengulangi kembali kejahatannya," imbuh Yusuf.

Patut diketahui, Soehandoyo mengajukan uji materi Pasal 69 UU Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU ke MK. Soehandoyo menilai berlakunya Pasal 69 UU TPPU telah merugikan hak konstitusionalnya.

Pasal 69 UU TPPU berbunyi, "untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana Pencucian Uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya."

Uji materi ini dilatari kasus yang dialami Soehandoyo di Polda Sulawesi Tengah. Di mana ia merasa, Pasal 69 telah membuat penyidik mengusut dugaan pencucian uang telah membuatnya dirugikan. Soehandoyo mengaku, pidana asal yang menimpa Soehandoyo berlatarbelakang tindak pidana perbankan.

Karena itu, Soehandoyo meminta agar Majelis Hakim Konstitusi menyatakan Pasal 69 UU TPPU itu bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. (Dms/Mut)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini