Sukses

Ketua Umum GP Ansor: Negara Tak Perlu Minta Maaf pada PKI

Nusron berpendapat, negara tidak perlu minta maaf. Biarkan pelaku saling memaafkan secara alamiah dan hidup berdampingan.

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum Gerakan Pemuda (GP) Ansor Nusron Wahid menilai langkah terbaik untuk mengenang 50 tahun Peristiwa 1965 atau yang dikenang dengan peristiwa G 30/S PKI adalah dengan menjadikannya pembelajaran, saling memaafkan, dan rekonsiliasi.

"Pembelajaran dari peristiwa itu adalah agar jangan sampai ada pemberontakan pemerintahan yang sah, karena pasti akan menimbulkan konflik horizontal dan luka berkepanjangan," kata Nusron Wahid di Jakarta, Rabu (30/9/2015).

Dia berujar, memaafkan satu sama lain bukan berarti melupakan. Dia menegaskan, kekerasan untuk mencapai tujuan tertentu, apalagi politik, jangan sampai terulang. "Kita tidak bisa melihat kejadian masa lalu dengan kacamata dan perspektif sosiologis hari ini. Kita butuh kearifan zaman," ujar Nusron.

Menurut dia, membincangkan siapa yang salah dan benar, apalagi membawa masalah masa lalu ke Mahkamah International adalah tidak memiliki kearifan zaman. Karena itu dia mengajak, sekarang ini saatnya melihat masa depan dan menjadikan masa lalu sebagai proses pembelajaran perjalanan dan proses pematangan bangsa Indonesia.

"Saat ini toh mayoritas keluarga korban PKI yang dulu musuhan dengan NU banyak jadi aktivis NU. Malah lebih rajin ibadah daripada yang bapaknya NU," ungkap Nusron.

Karena itu dia berpendapat, negara tidak perlu minta maaf. Biarkan pelaku saling memaafkan secara alamiah dan hidup berdampingan. "PKI juga harus minta maaf atas perilaku makar dan kekerasan yang dilakukan. Ini tragedi kemanusiaan," tegas Nusron.

Dia menambahkan, jangan hanya menuntut negara meminta maaf, karena orang-orang sipil tersebut sama-sama menjadi korban kekerasan kemanusiaan. Jadi, jangan hanya menempatkan seakan-akan PKI menjadi korban. "Dia juga pelaku dan korban. Sama dengan yang lain, pelaku sekaligus korban. Itulah sejarah," ucap dia.

Lebih lanjut, Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) ini menyoroti bahwa saat ini potensi radikalisasi tidak datang dari PKI. Tetapi justru dari konflik antarmuslim di Timur Tengah, yakni Wahabi-Syiah dan Sunni alias pertarungan segitiga serta praktik korupsi yang merugikan negara.

"Justru ini yang harus diwaspadai. Juga penyakit korupsi yang akut. Komunisme itu bayang-bayang saja, tapi tetap waspada," tandas Nusron. (Ado/Ein)*

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini