Sukses

Pemerintah Larang Lahan Bekas Kebakaran Hutan Dijadikan Kebun

Hal ini bentuk sanksi tegas pemerintah dari cara kotor perusahaan untuk menekan ongkos land clearing atau pembersihan lahan.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah melarang pengalihfungsian lahan hasil kebakaran di Sumatera dan Kalimantan yang secara sengaja dilakukan beberapa perusahaan‎ dijadikan kebun. Hal ini bentuk sanksi tegas pemerintah dari cara kotor perusahaan untuk menekan ongkos land clearing atau pembersihan lahan.

"‎Kebun yang sudah terbakar, lahan yang terbakar itu tidak boleh dijadikan kebun. Jadi ini kan kita sudah tahu lah pembakaran lahan ini sebenarnya motifnya ekonomi," kata Kepala Staf Presiden Teten Masduki di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Rabu (16/9/2015).

Teten mengatakan, pemerintah akan membuat regulasi untuk mengatur lahan terbakar tidak boleh jadi kebun. Aturan akan dibuat oleh Menteri Kehutanan dan Lingkungan ‎Hidup Siti Nurbaya.

Selain sanksi tersebut, lanjut dia, dari hasil rapat koordinasi yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan, ditentukan pula sanksi pencabutan izin usaha. Tidak hanya itu, jajaran direksi perusahaan itu akan masuk daftar hitam pemerintah.

"‎Sudah ada beberapa, mungkin 3 atau 4 perusahaan yang sudah ditangani Kapolri siap dilakukan proses hukum itu," pungkas Teten.

Sementara itu Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti mengungkap identitas 10 perusahaan yang paling bertanggung jawab atas pembakaran hutan di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Bahkan 10 korporasi tersebut terancam mendapatkan catatan hitam atau blacklist karena menyebabkan bencana kabut asap.

"Ada 10 perusahaan yang kami selidiki. Identitasnya yakni PT PMH, PT RPB, PT RPS, PT LIH, PT MBA, PT GAP, PT ASP, PT KAL, PT RJP, dan PT SKM," ujar Badrodin di sela menyambut kedatangan Presiden Jokowi di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur pada Selasa malam 15 September 2015.

Beberapa perusahaan tersebut merupakan milik asing yang berada di wilayah Sumatera Selatan, Riau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah.

"Milik asing, tapi bisa saja pemegang sahamnya orang Indonesia," kata Badrodin. (Ndy/Mvi)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini