Sukses

Sisi Kelam Setelah 9/11: Salah Terjemahan, Berakhir di Guantanamo

Dalam bahasa Arab, Emad Hassan pikir Al-Qa'idah itu dusun tak jauh dari kampung halamannya di Yaman, bukan kelompok teroris Al-Qaeda.

Liputan6.com, Washington DC - "Apakah kamu punya hubungan dengan Al-Qaeda?" tanya seorang pria.

Pertanyaan inilah awal tragedi yang menimpa Emad Hassan.

Saat itu, musim semi 2002. Hassan duduk di sebuah kursi kecil di dalam tenda yang pengap. Tangannya terborgol, terikat ke belakang. Berdiri di hadapannya, seorang tentara muda Amerika Serikat bersama seorang penerjemah.

Si tentara menghujani pertanyaan-pertanyaan dalam Bahasa Inggris kepada Hassan. Sebuah bahasa yang asing di telinganya. Sementara si penerjemah menyampaikan kepadanya dalam bahasa Arab yang terpatah-patah.

Berminggu-minggu, Hassan, pemuda pendiam berkulit gelap dan rambut keriting yang saat itu berusia 22 tahun, ditahan oleh Amerika Serikat di Afghanistan.

Laki-laki yang lahir dan dibesarkan di Yaman itu pergi ke Faisalabad, Pakistan saat musim panas tahun 2001 untuk mempelajari Al-Qur'an di sebuah universitas kecil. Namun, di suatu malam beberapa bulan setelah ia bersekolah, tentara Pakistan menyerbu rumah yang ia tinggali bersama 14 mahasiswa asing.

Ia bersama seluruh kawannya dijebloskan ke sebuah penjara. Setelah dua bulan penyiksaan dan interogasi, pihak keamanan Pakistan menyerahkan dirinya ke militer AS.

Saat itulah hidupnya berubah drastis, ketika berada di hadapan seorang prajurit muda AS -- yang akhirnya Hassan tahu bahwa dirinya berada di tahanan militer AS di Kandahar.

Menurut pengacaranya, Hassan dalam keadaan bingung dan takut. Atas tekanan ini, Hassan mencoba menjawab apa yang menurutnya ia ketahui dengan mengatakan "Ya," bahwa ia punya 'hubungan' dengan Al-Qaeda.

Hassan menunggu pertanyaan selanjutnya, namun si prajurit dan penerjemahnya puas dengan jawaban singkat itu.

Introgasi selesai.

Namun, bagi Hassan, menurut pengacaranya, ada yang salah dalam penerjemahan.

Si prajurit mengira Hassan ada hubungannya dengan Al-Qaeda, kelompok teroris yang mematikan. Padahal, bagi Hassan ia pikir si prajurit menanyakan Al-Qa'idah, sebuah desa yang berjarak 115 mil dari kampung halamannya di Yaman.

Berminggu-minggu kemudian, penjaga keamanan mendatangi sel tempat Hassan meringkuk. Mereka melucuti pakaiannya dan memasangkan popok dewasa.

Lalu, mereka menutup mata Hassan, memasang penutup telinga di kepalanya dan menggiringnya ke sebuah pesawat. Saat mendarat, Hassan akhirnya mengerti, kakinya menginjak penjara AS di Teluk Guantanamo, Kuba.

Inilah awal sebuah 'komik' kesalahpahaman yang menjadi pengembaraan nyata sebuah sisi gelap Amerika Serikat melawan teror.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 7 halaman

"Yang Terburuk dari yang Paling Buruk"

Dalam sebuah novel satir berjudul From the Memoirs of a Non-Enemy Combatant, penulis Alex Gilvarry bercerita tentang tokoh Boy Hernandez, seorang desiner fashion yang salah identifikasi sebagai teroris.

Seperti Hassan, nasib Hernandez berakhir di Penjara Guantanamo. Namun, itu adalah sebuah cerita fiksi -- dengan humor gelap (diceritakan, Hernandez memiliki Public Relation Agency bernama Ben Laden). Novel ini bercerita bahwa tak ada yang lucu dalam kesalahan menangkap seseorang dan menempatkan mereka ke dalam penjara menyeramkan milik AS itu.

Setelah serangan 11 September, pemerintah AS memutuskan untuk menggunakan fasilitas milik angkatan laut AS di Teluk Guantanamo, Kuba untuk dijadikan tahanan bagi siapapun yang terlibat Al-Qaeda. Pelaku utama di balik serangan tersebut.

Penjara itu, menurut Menteri terian Pertahanan Donald Rumsfeld, adalah tempat 'yang terburuk dari yang paling buruk'.

Beberapa tahanan seperti Khalid Sheik Mohammed, salah satu pelaku utama 9/11 (serangan 11 September), dikenal sebagai teroris paling berbahaya. Namun, beberapa tahun terakhir, Rumsfeld mengklaim bahwa kebanyakan tahanan Gitmo --nama lain dari Penjara Guantamo -- yang merupakan tahanan paling berbahaya, terbukti banyak salahnya.

Meski begitu, ucapan Rumsfeld terpatri di pikiran publik Amerika dan para penjaga Gitmo.

"Terutama di bulan-bulan pertama setelah 9/11, saat semua orang marah," kata Brandon Neely, mantan penjaga Gitmo saat gelombang tahanan tiba pada 11 Januari 2002 seperti dikutip dari Newsweek 10 September 2015.

"Yang orang tahu, banyak orang tewas di Twin Towers. Kami punya teman di Afghanistan. Yang kami inginkan hanyalah membalas dendam," tambah Neely lagi.

Tahun berlalu, saat Joseph Hickman tiba di Gitmo untuk tugas barunya sebagai salah satu penjaga, doktrin Rumsfled masih berada di kepala para pegawai Gitmo.

"Mereka masih percaya, orang-orang ini adalah orang-orang terburuk di antara paling buruk yang bisa membunuhmu kapan saja," kata Hickman. Ia juga penulis buku Murder at Camp Delta. Buku ini ia tulis setelah menginvestigasi matinya tiga orang tahanan secara misterius di Penjara Gitmo.

Baik Neely dan Hickman, telah menjadi saksi hidup bagaimana prajurit AS telah memperlakukan para tahanan secara kejam. Mulai dari menyiksa hingga penghinaan fisik di depan publik. Namun, yang paling menggangu adalah memoir Mohamedou Ould Slahi, tahanan dari Mauritius yang berada di Gitmo sejak tahun 2002 -- si penulis Guantanamo Diary.

Buku ini diterbitkan bulan Januari 2015, setelah perjuangan legal yang lama dan melelahkan, berisi tentang brutalnya penjara tersebut. Dalam memoir ini, Slahi menulis para invstigator yang bertugas menggali informasi untuk menyelamatkan Amerika lebih peduli dengan menutupi kesalahan mereka, menyenangkan para bos daripada mengkonfirmasi informasi yang mereka dapatkan.

3 dari 7 halaman

Pentagon Menolak Mengomentari Kebenaran Buku

"Personel Departemen Pertahanan telah melakukan tugasnya dengan baik dan terhormat, bagi yang mengatakan mereka pernah terlibat memperlakukan kesalahan yang sistemik terhadap para tahanan adalah bohong dan tidak perlu pemeriksaan lebih lanjut," demikian pernyataan Komander Garry Ross, juru bicara Departemen Pertahanan AS.

Newsweek menyayangkan tak bisa berbincang langsung dengan Hassan, dan pemerintah AS hanya memberikan informasi terbatas tentang Guantanamo mencegah para juru warta berbicara dengan 779 tahanan yang mendekam dalam penjara itu.

"Ini adalah kebijakan kami untuk tidak berkomentar atas status tahanan atau detail mereka," kata juru bicara Gitmo Kolonel Lisa Garcia yang bertanggungjawab untuk aktifitas militer AS di Pusat dan Selatan Amerika dan Karibi kepada Newsweek.

Kebijakan ini sejalan dengan Pentagon dan Departemen Dalam Negeri. Namun, cerita Hassan -- yang didapati dari dokumen umum, transkrip pembicaraan Hassan dan mantan interogrator yang didapati dari tim hukumnya -- membuat kekhawatiran yang sama terhadap nasib para tahanan yang salah tangkap.

Bertahun-tahun, Gedung Putih mencoba menutup Gitmo, namun langkahnya selalu dijegal oleh para anggota Kongres yang takut para mantan tahanan akan melancarkan serangan balasan kepada AS dan sekutunya. Di awal September, 52 dari 116 tahanan yang masih ditahan di Gitmo dinyatakan bebas.

Dalam sebuah pengakuan diam-diam para petugas, mereka seharusnya tidak berhak ditahan. Namun, mereka tak kunjung juga dibebaskan. Menurut perwakilan Kementerian Dalam Negeri AS, mereka menunggu lampu hijau negara lain yang mau menampung mereka.

Tak satupun dari 52 tahanan ini ditahan, setelah melalui serangkaian persidangan. Beberapa di antaranya melakukan mogok makan bertahun-tahun yang membuat para petugas kesehatan memberi makan mereka secara paksa.

4 dari 7 halaman

Salah Tangkap dan Siksaan Tak Henti-henti

Markas AS di Teluk Guantanamo mirip dengan kampung tua di AS. Ada Pizza Hut dan bar Irlandia. Sebuah toko sewa film berdampingan dengan toko suvenir yang menjual pelembab bibir bertuliskan "I Love Gitmo".

Jalan beberapa langkah keluar dari kamp, teluk tersebut mirip dengan surga Karibia: tebing karang yang curam dan hewan iguana leyeh-leyeh di bawah sinar matahari.

Cahaya merah-ungu saat menjelang matahari tenggelam di laut biru dan gelombang melambai-lambai di pantai.

Namun, surga Karibia itu bertolak belakang dengan kehidupan Hassan saat ia menginjakkan kakinya di Gitmo. Menurut pengacaranya, para penjaga berganti-ganti memukulinya, memborgolnya berjam-jam, memaksa dia untuk telanjang dan merangkak di lantai logam yang dingin.

Hassan diberi nomor 680 dan terkadang ditahan di tahanan Blok Romeo, bagian dari Kamp Delta yang menakutkan. Di sana, para penjaga sering meminta tahanan untuk telajang selama berhari-hari dan terkadang mereka mendapatkan pelecahan seksual agar mengaku.

(Tim pengacara Hassan dari Reprive --sebuah lembaga hukum internasional, mengatakan Hassan enggan membicarakan pengalamannya di kamp ini, "terlalu menyedihkan", katanya)

Awal-awal di tahanan adalah hari-hari menyeramkan bagi Hassan. "Dari pukul 21.00 hingga 04.00 aku diinterograsi, tiap hari." kata Hassan kepada pengacaranya. Setiap selesai interograsi, ia merasa lelah luar biasa dan takut.

Tiap interograsi, Hassan selalu ditanya tentang Al-Qaeda. Pada suatu hari, penerjemahnya dapat memahami maksud Hassan, namun terlambat, para investigator terlanjur tak percaya.

Dalam dokumen Departemen Pertahanan yang berhasil 'dibocori' oleh Wikileaks, Hassan tidak pernah terbukti terlibat kegiatan terorisme. Dalam dokumen tersebut, pemerintah hanya berasumsi bahwa Hassan ada hubungannya dengan teror yang menyerang prajurit AS di Afghanistan.

Pemerintah AS mengklaim bahwa Hassan mengunjungi Al-Faruq, sebuah kamp pelatihan milik Al-Qaeda di Afghanistan. Mereka juga berasumsi Hassan melakukan perjalanan di sekitar area Tora Bora, tempat Osama bin Laden memerintahkan serangan 11 September.

Hassan juga diperkirakan pergi ke sebuah 'rumah aman' di perbatasan, di mana tentara pakistan menangkapnya dan menyerahkannya ke tentara AS.

Arsip Pemerintah AS menghubungkan penangkapannya dengan penyergapan lain yang dilakukan di Faisalabad malam itu, yang menyebabkan penangkapan Abu Zubaydah, salah satu pemimpin tingkat tinggi Al-Qaeda yang berperan sebagai perekrut.

Yang membuat dokumen itu tidak jelas, adalah penyergapan ini sebagai bagian dari operasi besar pimpinan otoritas Amerika.

"Itu adalah serangan terbesar dalam sejarah CIA," kata John Kiriakou, seorang mantan perwira CIA. (Ia kemudian dipenjara selama hampir dua tahun karena mengirimkan email kapada reporter tentang nama petugas di Gitmo)

14 Rumah digerebek dan 52 orang ditawan malam itu, kenang Kiriakou. Di setiap lokasi, pasukan keamanan Pakistan meringsek masuk dan menangkap orang-orang. Sebagai perwakilan, CIA dan FBI menunggu di luar. Petugas CIA kemudian membawa orang-orang ke rumah yang aman untuk diintrogasi, sementara agen FBI mengumpulkan bukti.

Rumah Hassan, kata Kiriakou, adalah tambahan di menit terakhir. Setiap rumah menjadi sasaran karena telah berhubungan secara dengan afiliasi Al-Qaeda. Dalam catatan, rumah Hassan memiliki hanya satu panggilan singkat.

Sehari sebelum serangan, pemerintah asing yang tidak disebutkan namanya memberikan CIA petunjuk; seorang informan mengatakan itu adalah 'rumah aman' Al-Qaeda.

Malam itu, Kiriakou dan seorang perwira polisi Pakistan melaju melewati rumah besar, yang terletak di lingkungan kelas menengah. Mereka ingin memastikan bahwa mereka tidak akan disergap hari berikutnya. "Saya dapat memberitahu Anda bahwa sesuatu yang buruk terjadi di dalam rumah itu," kata petugas Pakistan kepada Kiriakou. "Saat itu suhunya 105 derajat dan semua jendel tertutup. Mereka memiliki sesuatu yang disembunyikan. "

5 dari 7 halaman

Hadiah US$ 5 Ribu

Namun, Kiriakou pada dasarnya menyadari ada banyak kesalahan dalam penyerbuan itu. Alasannya: data intelejen yang payah. Salah satu 'rumah aman' yang mereka curigai ternyata adalah warung kebab dengan telepon berbayar (Para agen kemudian sadar kesalahannya sebelum mereka memulai serangan).

Kesalahan lainnya adalah rumah aman itu ternyata sekolah untuk anak perempuan. Para agen akhirnya menemukan bahwa sekolah tersebut membolehkan seorang asing menggunakan telepon, selama membayar 5 rupee.

Hassan dan pengacaranya mengatakan klaim pemerintah AS tentang koneksi Al-Qaeda itu adalah palsu dan salah.

Pasukan Pakistan yang mengambil Hassan dari rumahnya, menerima US $ 5.000 dari militer AS. Menurut analisis tahun 2006 oleh Pusat Kebijakan dan Penelitian di Seton Hall University Law School, kejadian 'salah tangkap' berbonus ribuan dolar adalah cerita yang khas.

Mereka menemukan fakta bahwa sebagian besar tahanan di Teluk Guantanamo ditangkap oleh kelompok-kelompok lokal, semata mengejar keuntungan dari kontraterorisme.

"Dapatkan kekayaan dan kekuasaan melebihi impian Anda. Uang ini cukup untuk mengurus keluarga, desa dan suku selama sisa hidup Anda," bunyi salah satu pamflet yang menyebarkan pencarian teroris.

Iklan tersebut mengakibatkan penangkapan 'besar-besaran' untuk menguntungan pemerintah Pakistan juga.

Mantan Presiden Pakistan Pervez Musharraf menulis pada memoarnya tahun 2008, yang berjudul Line of Fire: "Kami telah menangkap 689 kombatan musuh dan menyerahkan 369 ke Amerika Serikat. Kami telah mendapatkan uang jutaan dolar."

Mengenai kamp pelatihan teroris, Hassan mengatakan ia belum pernah ke Afghanistan sebelum pasukan Amerika membawanya ke sana. Pengacaranya mengklaim banyak informasi memberatkan pemerintah AS berasal dari sekelompok kecil informan di Guantanamo, yang mengatakan kepada interogator apa yang ingin mereka dengar.

6 dari 7 halaman

Kekerasan Sesama Tahanan

Banyak sesama tahanan 'menjual' tahanan lainnya hanya untuk hadiah kecil. Beberapa dilaporkan menerima PlayStation dan akses pornografi.

"Tidak peduli apa bukti itu," kata Mark Fallon, mantan wakil komandan dari Investigasi Kriminal Task Force, sebuah organisasi yang diciptakan pada tahun 2002 untuk menyelidiki tahanan yang ditangkap selama perang melawan teror.

"Anda bisa memiliki 10 saksi yang menyatakan bahwa tahanan itu tidak pernah berada di kamp pelatihan Al-Qaeda. (Tapi) jika salah satu tahanan mengatakan tampak seperti seseorang yang ada di sana, atau apakah ada kecurigaan bahwa orang itu mungkin telah terlibat, mereka tidak akan melepaskannya. "

Slahi, penulis Guantanamo Diary, menawarkan cerita yang sama. Dia mengatakan interogator di Gitmo memukuli, menganiaya dan melarangnya untuk tidur. Pada akhirnya, ia mengatakan ia menawarkan pengakuan palsu yang melibatkan orang-orang tidak bersalah untuk menghentikan kesakitannya.

Atas 'pengakuan ini' ia mendapatkan imbalan, termasuk televisi, boleh menulis kapan pun dia mau dan kebunnya sendiri di mana ia menanam daun mint untuk minum teh.

Hassan tidak pernah mengarang cerita tentang narapidana lain, untuk membuat hidupnya lebih mudah. "Emad terus membawa harapan untuk keluar dan kembali ke keluarganya lagi. Karena itu keyakinan mutlak bahwa ia belum melakukan kejahatan terhadap AS atau pihak lain," kata Sami Al-Hajj, seorang wartawan Al-Jazeera dan mantan narapidana Gitmo, dalam sebuah surat kepada Newsweek.

Makan Paksa 

Hampir dua tahun setelah Hassan tinggal, ia mulai memimpin aksi mogok makan. Aksinya ini dianggap sebagai bentuk pembangkangan di Guantanamo.

Introgasi berlanjut. Namun, selama awal-awal Hassan di Gitmo, dia tidak punya kesempatan untuk membela diri. Sampai pada awal 2005, ketika pengacara Douglas Cox dari firma hukum Allen & Overy, tiba di penjara menemui dirinya.

Bulan-bulan sebelumnya, Jaksa Agung menentang keputusan Presiden Bush dengan memperbolehkan para tahanan memiliki pengacara susuai dengan hukum UU AS. Cox mengatakan kepada Hassan bahwa ia dibayar keluarganya. Namun, Hassan menolak untuk percaya. Pengalamannya membuat ia curiga dengan orang Amerika.

Meski Hassan curiga, namun Cox sangat terpesona dengan Hassan, yang dinilai mempunya pemikiran yang positif. "Emad itu tajam... berdiskusi apapun dengan dia sungguh mudah," kata Cox kepada Newsweek.

"Buat dia, yang menjadi masalah terbesarnya adalah apakah baik untuknya menuntut kasus ini. Ia sempat ragu-ragu jika membawa kasus ini ke pengadilan, sebab tak mau kasusnya menjadi bumerang," tambah Cox.

Keduanya bertemu lagi pada 30 Agustus 2005. Saat itu Hassan sedang dalam aksi mogok makan.

"Aku minta Hassan untuk berhenti (aksi mogok makan)," kata Cox. "Kami takut tindakannnya akan membawa efek jangka panjang bagi kesehatannya," lanjut Cox.

Namun, Hassan menolak. Seminggu setelah pertemuannya, Cox menyadari bahwa para petugas mulai memaksa makan para tahanan. Para pelaku mendeskripsikan pemaksaan makan itu seperti "memasukkan sesekop makanan lewat tenggorokan". Namun bagi militer, perlakuan itu manusiawi bagi para tahanan yang menolak untuk makan.

Pada awalnya, Hassan dibawa ke rumah sakit. Lokasi pemaksaan makan dilakukan sekali atau dua kali per hari. Pada 2007, protokol berubah. Ia tidak lagi dibawa ke rumah sakit, melainkan di dalam selnya. Para petugas memintanya telungkup di lantai dengan tangan berada di belakang.

Mereka lalu masuk, membelenggu tangan dan kakinya, dan menempatkan dia di kursi. Kemudian dokter atau perawat memasukkan benda seperti selang yang telah dilumasi melalui lubang hidung, turun melewati tenggorokan Hassan dan ke perutnya.

Lalu, cairan tinggi vitamin pun dimasukkan ke dalam benda itu. Hasan dipaksa 'makan' lebih dari 5 ribu kali dengan cara itu. Mengakibatkannya menderita penyakit pankreas kronis, sementara salah satu lubang hidungnya membengkak dan menutup saluran pernafasan.

Ia juga dilaporkan sering muntah dan buang air besar berupa darah selama proses pemaksaan berlangsung. Berat badannya turun drastis hingga 90 pounds.

7 dari 7 halaman

Penjaga Baik vs Dokter Jahat

"Ada penjaga yang baik," kata Hassan kepada firma pengacara Reprieve pengganti Cox.

"Aku katakan kepadanya, mogok makan ku ini tak lain dari tuntutanku atas hak asasi manusiaku."

Menurut Hassan, petugas itu merespons dengan baik dan sopan.

"680 (Nomor baju Hassan), Kami sangat perhatian denganmu," kata si petugas.

"Kalau begitu, bilanglah ke atasanmu," lanjut Hassan lagi.

"Sudah, tapi mereka tidak mendengarkanku,"jawab petugas baik hati itu.

Namun, saat petugas melunak, mereka dihukum. "Sayangnya, jumlah petugas baik hati ini jumlahnya sedikit," kata Hassan.

Ross, juru bicara Pentagon, mengatakan "semua tuduhan pelecehan selama itu kredibel akan diselidiki secara menyeluruh, dan akan diberikan tindakan disiplin yang tepat." Namun, mantan penjaga Joseph Hickman ingat sebuah contoh di mana salah satu penjaga melaporkan ada petugas yang melakukan kekerasan kepada tahanan.

"Penjaga yang melaporkan menerima segala macam ancaman," kata Hickman, "tapi beberapa minggu setelahnya, yang dilaporkan melakukan kekerasan malah dipromosikan."

Seorang dokter, Hassan menyebutnya Dr. Jekyll, terkenal ditakuti para narapidana. "Jika Anda memandangnya dengan cara yang tak ia sukai, ia akan menghukum Anda selama 7 hari," kata Hassan kepada pengacaranya di Reprieve, mengacu pada hukuman termasuk pemukulan dan kurang tidur.

"Tidak ada yang melakukan hukuman seperti seperti dia. Dia percaya bahwa dengan bertindak lebih keras, lebih cepat pula ia akan dipromosikan."

Namun banyak yang keberatan dengan kebijakan penjara, termasuk seorang perawat Angkatan Laut yang baru-baru ini ditugaskan kembali setelah ancaman akan dipecat setelah ia menolak untuk melakukan makan paksa kepada tahanan.

"Ada seorang perawat yang baik,"kata Hassan pengacaranya. "Jika Anda sakit, dia akan membiarkan paksa makan berlalu, sehingga Anda tidak sakit." Seorang petugas medis, yang Hassan disebut sebagai Dr R, duduk di tempat tidur Hassan dan menangis melihat perlakuan perawat lain.

"Saya bergabung dengan militer, sehingga saya bisa pergi ke sekolah kedokteran," kata dokter kepada Hassan. "Namun, aku berakhir dengan menyiksa saudaraku sendiri."

Bukan Jati Diri AS

Januari 2015, Obama berkata akan memenuhi janjinya menutup Guatanamo. Beberapa tahanan akan dibebaskan dan direlokasi ke negara ke-3 yang mau menerima mereka.

Orang macam Khalid Sheikh Mohammed, salah satu petinggi Al-Qaeda akan diadili di pengadilan militer. Lusinan tahanan yang awalnya dikatakan sebagai orang berbahaya namun tidak ada bukti, akan dibebaskan.

Pentagon akhir-akhir ini mencari fasilitas yang bisa membawa mereka ke AS.

"Sangat tidak masuk akal menghabiskan US$3 juta per tahanan untuk tetap berada di tahanan di mana dunia mengutuk sebagai tempat teroris melakukan perekrutan. Ini bukan jati diri AS," kata Presiden AS Obama yang bersiteru dengan Kongres AS mengenai kebijakan ini.

Beberapa anggota senat takut mantan tahanan Guantamo akan mudah untuk direkrut, kalau mereka dilepaskan begitu saja. Mereka meminta transfer tahanan dilakukan secara terbatas.

Adapun Hassan, pada 12 Juni, 2015, penjaga Gitmo datang ke selnya di malam hari. Sekali lagi mereka menanggalkan pakaiannya dan memakaikan popok. Mereka menutup mata dan telinganya, dan sekali lagi mereka membawanya ke pesawat untuk perjalanan panjang.

Hanya saja kali ini, ketika pesawat mendarat, ia berada di Oman. Negara ini telah menyambutnya atas dasar kemanusiaan. Reprieve dan pemerintah AS tidak akan mengomentari keberadaannya di Oman, dan wartawan setempat mengatakan pemerintah di Muscat telah memperingatkan mereka untuk tidak mewawancarai mantan tahanan Gitmo.

Lebih dari satu dekade setelah ia tiba di Gitmo, Emad Hassan akhirnya bebas, dan kini tidak ada lagi kesalahan penerjemahan.

(Rie/Tnt)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini