Sukses

'Teguran' di Negeri Suriah

Lebih dari 4 juta warga Suriah pergi meninggalkan tanah airnya, menghindari konflik di negaranya.

Liputan6.com, Jakarta - Pria berambut putih itu berlari menggendong putranya yang menangis ketakutan, juga segala harta bendanya yang disimpan di sebuah ransel dan tas kain.

Pria asal Suriah itu berusaha kabur dari kejaran polisi bersenjatakan pentungan, menuju perbatasan Hungaria-Serbia. Dia tak tahan dengan perlakuan yang terima di kamp Roszke, Hungaria.

Namun langkah pria yang mengenakan jaket cokelat itu terhalang. Juru kamera perempuan dari stasiun televisi Hungaria, N1TV, menjegalnya dengan menjulurkan kaki ke arah ayah bocah belia itu.

Pria setengah renta itu dan anaknya pun tersungkur ke tanah lapang. Bocah malang itu tertindih badan ayahnya. Pria itu langsung bangkit dan meneriaki si kameramen berambut pirang itu.

Stasiun televisi tempat perempuan itu bekerja langsung bertindak, setelah rekaman memalukan itu beredar di dunia maya.

"Hari ini, salah satu kolega kami di N1TV berperilaku yang tak bisa diterima di pusat penerimaan pengungsi di Roeszke. Kameramen tersebut telah diberhentikan dengan segera," demikian pernyataan N1TV.

Juru kamera perempuan dari stasiun televisi Hungaria, N1TV menendang pengungsi Suriah (Reuters)

Perilaku tersebut juga ramai-ramai dikutuk. Sejumlah orang menyampaikan kemarahannya di Twitter.

Pasangan pria dan anak bungsunya ini merupakan bagian dari 1.500 imigran yang mencari suaka asal Suriah. Mereka menunggu selama berjam-jam di titik pengumpulan pengungsi di dekat persimpangan Roszke.

Setelah melarikan diri, mereka memacu langkah mengikuti jalur rel kereta api menuju Kota Szeged. Polisi mengikuti langkah para pengungsi --yang berharap bisa sampai ke negara-negara di Eropa Barat yang mau menerima mereka.   

Hungaria memang sudah kewalahan mengendalikan arus pengungsi yang menjadikan wilayahnya sebagai lokasi transit. Sekitar 167 ribu migran memasuki negara tersebut selama 2015. Para imigran umumnya menyeberangi wilayah perbatasan dekat area Roszke.

Sebelumnya mereka bertahan di Stasiun Keleti, Budapest, Hungaria dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki hingga puluhan kilometer menuju perbatasan Austria menuju Jerman.

Pria, wanita, anak-anak dan orang tua membawa barangnya masing-masing menyusuri jalan tol yang panjang. Perjalanan dimulai Sabtu 4 September pagi hari. Matahari terik menemani mereka.

"Kami pilih jalan saja. Tak punya pilihan," kata seorang pengungsi pria kepada BBC, Sabtu malam 4 September 2015. Ia telah berjalan hampir 30 km. Berkali-kali harus berhenti beristirahat karena istri dan anaknya.

"Aku punya bayi, banyak perempuan hamil. Tidak ada air, tidak ada makanan. Tidak ada apa-apa. Lebih baik jalan kaki 200 kilometer ke Austria. Lalu kami lanjut ke Jerman," cerita seorang pengungsi, Adnan.

Itulah alasan mengapa Adnan dan ratusan imigran Suriah harus meninggalkan Budapest meski pun harus berjalan kaki.

Beberapa penduduk Hungria membagi-bagikan air dan makanan bagi para imigran yang memilih berjalan kaki. Beberapa bahkan memberi tumpangan kepada mereka.

Juru bicara Zoltan Kovacs mengatakan bahwa pemerintah Hungaria menyediakan 100 bus untuk membawa mereka ke perbatasan Austria. Pemerintah Hungaria juga telah berbuat sebisa mungkin dan tidak ada satu pun yang semestinya para imigran takuti.

Austria dan Jerman pun memberikan akses masuk para pengungsi Suriah yang telah memasuki perbatasan Austria. Keputusan itu diumumkan Kanselir Austria Werner Faymann usai berbicara dengan Kanselir Jerman Angela Merkel.

"Langkah ini diambil lantaran adanya situasi darurat di perbatasan Hungaria," demikian pernyataan dari kantor Faymann seperti dikutip Times, Sabtu 5 September 2015.

Faymann juga menyatakan, Hongaria diharapkan dapat mematuhi perjanjian Uni Eropa yang relevan dengan mereka yang mencari suaka. Permintaan suaka biasanya harus ditangani negara Uni Eropa yang pertama tercapai.

Kematian Bocah Aylan

Simak foto-foto terakhir Aylan Kurdi, bocah 3 tahun asal Suriah yang tewas di bibir pantai Turki.

Foto penemuan seorang bocah laki-laki oleh polisi Turki di pantai membuka membuat pilu masyarakat internasional. Bocah bernama Aylan ini tewas bersama saudara laki-lakinya, Galip yang masih 5 tahun. Termasuk ibunya, Rihan.

Anak-anak tak berdosa itu tewas dalam rombongan 12 warga Suriah yang mencoba masuk ke Yunani di perairan Turki, ketika kapal yang mereka tumpangi karam.

Sekelompok imigran ini meninggalkan Turki melalui Semenanjung Bodrum menuju Pulau Kos di Yunani pada Rabu 2 September 2015 dini hari. Namun 2 perahu yang mereka tumpangi karam tidak lama kemudian.

12 Jenazah, termasuk 5 anak-anak ditemukan aparat keamanan Turki. Dari sekitar 23 orang yang berangkat ke Yunani, diperkirakan hanya 9 yang selamat. Beberapa di antara mereka mengenakan pelampung dan berenang menuju pantai.

Ribuan imigran asal Suriah dinyatakan tewas sejak awal tahun ini, dalam upaya memasuki Eropa melalui laut.

Insiden yang dialami Aylan ini menyita perhatian Perdana Menteri (PM) Australia Tony Abbott. Dia menyatakan, negerinya siap berpartisipasi dalam krisis ledakan pengungsi dari negeri konflik Suriah, sebagai bagian dari misi kemanusiaan.

Dalam keterangan media pada Minggu 6 September 2015, Abbott mengakui foto Aylan menyentuh hatinya. Sehingga ia berencana menaikkan jumlah pengungsi dari Suriah.

Namun, seiring dengan persiapan menerima pengungsi tersebut, Australia tidak berarti menaikkan jumlah penerimaan para pencari suaka itu. Hanya saja jumlah dari Suriah yang menjadi prioritas. Total pencari suaka di Australia kini mencapai 13.750 orang.

"Tidak, saya bukan akan meminta lebih banyak pencari suaka di benua ini," kata PM Abbott di Canberra, seperti dikutip dari Sidney Morning Herald, Minggu 6 September 2015.

"Fokus Australia hanya untuk keluarga, perempuan dan anak-anak terutama dari kalangan minoritas yang tengah berada di kamp di negara tetangga Suriah dan Irak," tegas dia.

Kini, PM Abbott akhirnya mau menerima tambahan 12.000 pengungsi dari Suriah.

Imigran Suriah juga menyita perhatian pemerintah Inggris. Mereka akan menambah bantuan kemanusiaan 100 juta pound atau setara dengan Rp 2,1 triliun, untuk menangani krisis Suriah.

"Itu adalah tindakan terbesar yang pernah dijalankan Kerajaan Inggris untuk (membantu menangani) krisis kemanusiaan. Tidak ada negara Eropa manapun yang memberikan bantuan setingkat ini," kata Perdana Menteri David Cameron dalam jumpa pers di Madrid, Jumat 4 September 2015.

Pemerintah Amerika Serikat (AS) juga sebelumnya mengumumkan akan menerima pengungsi Suriah sekitar 5-8 ribu orang pada 2016.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri AS John Kirby menerangkan, sudah ada 15 ribu pungungsi dari negara yang kini tengah bergejolak, siap dikirim ke negara-negara lain termasuk ke AS, oleh PBB.

Pada Desember 2014, Washington telah menerima 9 ribu pengungsi rujukan dari PBB.

Negeri Paman Sam ini banyak menerima kritikan, setelah jumlah yang AS pilih begitu sedikit dari total 4 juta pengungsi Suriah, sejak negara tersebut bergejolak pada 2011.

Namun, Kirby berargumen, AS sebagai 'pemimpin' berhak menentukan berapa jumlah pengungsi yang akan mereka terima. Ia juga mengklaim memberi bantuan finansial untuk penempatan mereka di negaranya.

"Jadi, AS benar-benar berkomitmen membantu transisi di dalam negeri Suriah. Termasuk mencari lingkungan yang aman bagi rakyat Suriah seperti saat mereka mencari suaka di Turki," kata Kirby seperti dikutip dari Middleasteye, Selasa 25 Agustus 2015.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

'Teguran' Alam

Pemandangan kota Homs yang tertutup pasir, Suriah, Senin (7/8/2015).  Badai ini juga membuat serangan bom yang telah banyak membunuh warga Suriah terhenti. (REUTERS/Omar Sanadiki)

Badai pasir kuning tebal terus menyelimuti wilayah Timur Tengah, termasuk Suriah sejak beberapa hari terakhir. Kondisi cuaca ini memaksa serangan udara pemerintah terhadap pemberontak utara dari Provinsi Hama dihentikan sejak Senin 8 September lalu.

Ribuan orang, termasuk anak-anak harus dilarikan ke rumah sakit, karena mengalami gangguan pernapasan. Namun banyak rumah sakit kehabisan tabung oksigen dan tidak dapat merawat banyak pasien.

Badai pasir dahsyat juga menyelimuti wilayah Irak, Palestina, Turki, Mesir, Siprus, Lebanon, hingga Israel. Bahkan, sekolah-sekolah di Yordania dan Lebanon ditutup. Penerbangan di seluruh wilayah dibatalkan karena visibilitas terbatas.

Data Kementerian Kesehatan Lebanon menyebutkan, 2 wanita tewas dan sekitar 750 orang dilaporkan mengalami masalah pernapasan dirawat di rumah sakit. Pengungsi Suriah yang berlindung di kamp-kamp resmi di Lebanon juga terkena imbasnya.

Badai pasir seperti ini memang sering terjadi di Timur Tengah selama musim panas. Namun para pejabat mengatakan kali ini tak biasa karena tersebar luas di seluruh wilayah.

Lebih dari 4 juta warga Suriah kini telah pergi meninggalkan tanah airnya untuk menghindari konflik di negaranya. Perang sipil berkepanjangan membuat mereka memilih keluar dari negaranya demi keselamatan mereka.

Semoga kematian bocah-bocah tak berdosa dan badai pasir kuning ini menjadi 'teguran' alam untuk menyudahi konflik saudara di Suriah. (Rmn/Ron)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini