Sukses

Sisi Melankolis Dunga

Pelatih Timnas Brasil, Carlos Dunga, ternyata juga bisa menjadi sosok yang rapuh. Hal ini terlihat saat ia diwawancarai oleh sebuah program televisi. Dunga mengakui kalau pekerjaan melatih Tim Samba sangatlah menekan dirinya.

Dunga juga manusia. Pelesetan judul lagu salah satu band rock ternama Indonesia ini layak dialamatkan pada pelatih Timnas Brasil, Carlos Dunga. Pria 45 tahun yang dikenal sebagai sosok tangguh dan tanpa kompromi ini, kedapatan memperlihatkan sisi humanisnya saat diwancarai oleh program televisi Painel RBS.

Pada wawancara tersebut, ia mengungkapkan beratnya tekanan menjadi pelatih Seleccao. Pria yang kerap dikritik oleh berbagai kalangan penikmat sepakbola Brasil ini, kemudian menggunakan analogi dengan membandingkan kesulitan orang tuanya, dengan situasi yang dihadapinya saat ini.

“Tak ada orang yang lebih banyak menerima tekanan dibandingkan ibuku. Ayahku menderita Alzheimer selama delapan tahun, dan dia (ibuku) selalu ada di sampingnya, tak sekalipun ia terlihat melemah. Oleh sebab itu, saya tak akan menjadi seseorang yang lemah,” ungkap Dunga kepada Painel RBS.

“Orang-orang dapat berkata apapun yang mereka inginkan, tak ada yang lebih buruk dari hal itu,” lanjut Dunga sambil menahan agar air matanya tidak meleleh.

Dunga, yang tak pernah berada di level papan atas sebagai pelatih sebelum menangani Tim Samba, menerima kritik tajam sejak hari pertama ia memegang jabatan pelatih timnas pada 2006 silam. Kritik pedas tersebut biasanya ditujukan pada gaya permainan Brasil yang dianggap banyak orang mengalami penurunan kualitas. Dan hal tersebut tidak berubah, meski ia membawa Brasil menjuarai Copa America 2007.

Tekanan bagi Dunga makin parah. Sebab di ajang kualifikasi Piala Dunia, Brasil hanya sanggup menghuni peringkat kedua di klasemen sementara zona CONMEBOL. Mereka kalah enam poin dari pemuncak klasemen, Paraguay. Apalagi, Brasil juga menelan hasil imbang di tiga pertandingan kandang terakhirnya.

“(Pertandingan) kualifikasi lebih berat dibanding Piala Dunia. Ketika kamu bermain tandang ke Peru, Ekuador, dan Chile, mereka semua bersatu untuk menghadapi Brasil. Dan saat kami bermain di Brasil, ada pelarangan, masalah-masalah, dan berbagai kontroversi. Hal itu menciptakan atmosfer yang membuat keadaan menjadi lebih sulit,” keluh mantan kapten timnas itu.

Ia meneruskan: “Pemain yang datang dari Eropa mengalami kesulitan untuk beradaptasi dengan perbedaan waktu, dan mereka juga harus melakukan perjalanan jauh. Ketika kami memiliki 15 hari untuk larihan, maka standarnya akan berbeda.”

Dunga kemudian menuturkan pendapatnya, bahwa meski para pemain Brasil telah mendapat popularitas di Eropa, mereka masih berharap kalau popularitas serupa juga didapat di tanah air.

“Mereka (pecinta sepakbola) mencintai kami di Eropa, namun itu tidaklah cukup. Kami ingin mendapat respek dan perhatian yang sama di negeri kami sendiri, sebab kami akan hidup di sini, kami ingin diperhitungkan di negeri sendiri,” tandasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.