Sukses

Rupiah Terpuruk, Apa Kabar Ringgit Malaysia?

Mata uang negeri jiran ini melemah ke level terendah dalam 17 tahun terakhir pada Kamis 20 Agustus 2015.

Liputan6.com, Jakarta - Langkah devaluasi yang dilakukan oleh otoritas moneter China terhadap mata uang Yuan telah menjadi pendorong utama volatilitas di pasar valuta asing selama dua pekan terakhir. Mata uang di wilayah Asia langsung terdampak negatif terhadap kebijakan tersebut. Sebagian besar melemah.

Dampak devaluasi Yuan tidak hanya berhenti di Asia saja. Episode terus berlanjut ke negara-negara di lain, termasuk Amerika Selatan. Beberapa negara di Amerika Selatan memang menjadi mitra dagang dari China, sehingga jika terjadi sesuatu hal ke China maka mitra dagang tersebut akan berdampak.

Mata uang Tenge Kazakhstan sebenarnya menjadi mata uang yang paling parah terkena dampak dari devaluasi Yuan. Mata uang negara di Asia Tengah ini sebenarnya sudah melemah sejak tahun lalu karena terseret pelemahan yang terjadi pada rubel Rusia.

Penulis Frontier, Gavin Serkin, menyatakan selain Tenge Kazakhstan, Ringgit Malaysia juga menjadi mata uang yang mengalami pelemahan cukup dalam setelah depresiasi Yuan dalam tiga hari berturut-turut.

Mata uang negeri jiran ini melemah ke level terendah dalam 17 tahun terakhir pada Kamis 20 Agustus 2015. Karena pelemahan tersebut, pemerintah Malaysia melakukan berbagai langkah penanggulangan dengan mengguyur pasar dengan dolar AS.

Akibatnya, cadangan devisa Malaysia merosot di bawah US$ 100 miliar. Merupakan level terendah untuk kali pertama sejak tahun 2010 lalu.

Sedangkan negara di Amerika Selatan yang mengalami penurunan mata uang cukup tinggi adalah Kolombia dan Meksiko. Untuk periode 7 Agustus hingga 21 Agustus Peso Kolombia dan Peso Meksiko memimpin kejatuhan mata uang di wilayah Amerika Selatan. Kedua negara ini memang mengekspor minyak mentah dalam jumlah yang banyak ke China.

Berdasarkan data dari Pension Partners, lembaga investasi internasional yang didirikan oleh Edward M. Dempsey, jika dihitung sejak 30 Mei 2014 di mana The Fed mulai memberikan sinyal untuk menaikkan suku bunga acuan, hingga 20 Agustus 2015 kemarin, mata uang rubel Rusia merupakan mata uang yang mengalami penurunan paling tajam terhadap dolar AS. Disusul kemudian adalah Peso Kolombia dan kemudian Real Brasil.

Pelemahan Rubel mencapai 49 persen. kejatuhan terdapat rubel dicetak pada 16 Desember 2014. Sedangkan untuk Peso Kolombia mengalami pelemahan 38 persen yang dicetak pada 20 Agustus 2015.

Indonesia sebenarnya cukup beruntung karena pelemahannya hanya sebesar 14 persen periode yang sama. Sedangkan untuk Malaysia telah melemah 22 persen.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Ini penyebab Ringgit Melemah Dalam


"Nilai tukar ringgit masih bisa melanjutkan terjun bebas kecuali 'seseorang' tidak lagi ada di sekitar kita," ungkap Mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad.

Sayangnya, Mahathir tidak mau menyebut siapa yang dia maksud dengan seseorang tersebut. Namun secara luas orang mengasumsikan bahwa negarawan tersebut merujuk kepada Perdana Menteri Datuk Seri Najib Razak.

Mengutip The Malaysian Insider, pada pekan lalu, Mahathir menyebutkan bahwa pelemahan nilai tukar yang terjadi pada ringgit saat ini lebih dalam jika dibandingkan dengan krisis keuangan yang melanda Asia pada 1997-1997 lalu.

Dibandingkan dengan bath Thailand sebagai contoh, nilai tukar antara ringgit dengan mata uang Thailand tersebut dahulu di angka RM 1 untuk 10 bath. Namun sekarang, RM 1 hanya di level 7 bath hingga 8 bath.

"Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Hal ini karena orang tidak percaya dengan ekonomi Malaysia. Mereka membuang ringgit karena nilainya akan menurun besok," jelasnya.

Kondisi politik memburuk membuat Malaysia harus membayar lebih terhadap jaminan risiko utang yang mendekati level tertinggi dalam empat tahun.

Credit default swap (CDS) atau jaminan risiko utang naik 74 basis poin menjadi 180 pada 2015. Ini kinerja terburuk di Asia, dan hampir 40 lebih tinggi dari produsen minyak Meksiko. Grup UBS, salah satu lembaga keuangan internasional juga memprediksikan Malaysia akan lebih menderita ke depan.

"Pergerakan CDS menunjukkan kalau pasar semakin gugup tentang kemampuan bank sentral untuk mengatur aksi jual investor asing dan cadangan devisanya. Situasi Malaysia mungkin sekarang lebih berbahaya," ujar Manik Narain, Analis UBS.

3 dari 3 halaman

Perbedaan Krisis 1998 dengan Saat Ini


Ada kesamaan kondisi perekonomian di negara-negara berkembang di 2015 ini dengan 1998 lalu. kondisi yang sama adalah penurunan mata uang bath Thailand memicu krisis di Asia dan akhirnya menerjang Rusia dan Amerika Latin. Saat ini, devaluasi China juga mengakibatkan aksi jual mata uang, saham dan juga obligasi.

Kabar baiknya, banyak yang berubah dengan kondisi di 1998 lalu dengan saat ini. Mengutip Wall Street Journal, Senin (31/8/2015), banyak negara berkembang telah mempunyai bemper terhadap kondisi krisis. Berkaca dengan apa yang terjadi pada 1998 lalu, kekuatan permodalan bank, cadangan devisa dan beberapa bemper lain telah disiapkan oleh negara-negara berkembang.

Menengok ke belakang, di masa lalu, banyak negara yang mematok nilai tukarnya terhadap dolar AS. Seperti Indonesia, mematok nilai tukarnya di kisaran 2.500 per dolar AS. Hal tersebut dilakukan untuk memberikan kepastian kepada para investor.

Namun langkah mematok nilai tukar tukar tersebut tidak berdampak positif pada kenyataanya. Saat The Fed mengeluarkan kebijakannya moneter, banyak dana-dana asing yang keluar dari negara berkembang. Bank Sentral pun harus menghabiskan cadangan devisanya untuk menahan pelemahan rupiah. Negara-negara yang mempunyai cadangan devisa tipis, tak terlelakkan, masuk ke jurang krisis.

Berbeda dengan kondisi saat ini. Tak banyak negara yang mematok nilai tukarnya terhadap dolar AS. Selain itu, beberapa negara juga telah menyiapkan bemper agar bisa bertahan terhadap krisis. Contohnya Indonesia yang telah memiliki cadangan devisa yang kuat.

Posisi cadangan devisa Indonesia akhir Juli 2015 tercatat sebesar US$ 107,6 miliar, meskipun lebih rendah dibandingkan dengan posisi akhir Juni 2015 sebesar US$108,0 miliar, namun cadangan devisa tersebut masih mampu membiayai 7 bulan impor atau 6,8 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. (Gdn/Ein)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini