Sukses

Rupiah Melemah, 'Badai PHK' di Depan Mata

Industri yang telah memberhentikan pekerjanya sebagian besar merupakan industri padat karya

Liputan6.com, Jakarta - Pelemahan nilai tukar rupiah membuat sebagian besar industri di tanah air ketar-ketir. Pasalnya, menengok krisis di 1998 lalu, pelemahan rupiah menyebabkan krisis moneter yang kemudian berimbas kepada ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan akibat pelemahan rupiah, ratusan ribu buruh telah terkena PHK dan berpotensi terkena PHK.

"Data dari Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) ada 50 ribuan buruh sudah ter-PHK. Kalau dengan potensi menjadi 100 ribu buruh. Tapi yang potensi ini sekarang sudah hampir pasti kena PHK," ujarnya saat berbincang dengan Liputan6.com.

Dia menjelaskan, para buruh yang berpotensi terkena PHK tersebut saat ini tengah dalam proses perundingan antara serikat pekerja (SP) dengan perusahaan soal pembayaran pesangon. "Mereka sudah siap-siap di-PHK. Sekarang dalam proses negosiasi serikat pekerja soal pesangonnya," lanjut dia.

Menurut Said, industri yang telah memberhentikan pekerjanya sebagian besar merupakan industri padat karya seperti garmen, sepatu, tekstil, makanan dan minuman. "Itu ada di Semarang, Demak, Tangerang, Jawa Timur seperti Mojokerto dan Pasuruan. Bahkan ada 13 perusahaan padat karya sudah tutup ketika dolar AS menembus Rp 13 ribu," katanya.

Sedangkan industri yang berpotensi mem-PHK pekerjanya yaitu industri di sektor otomotif dan elektronik.

Direktur Sustainable Development Indonesia, Drajad Wibowo menambahkan, ketersediaan lapangan kerja dan kemampuan industri untuk mempertahankan tenaga kerjanya berkaitan erat dengan pertumbuhan ekonomi dan nilai tukar rupiah. "Berdasarkan pertumbuhan 2014, elasitas penyerapan lapangan kerja sekitar 538 ribu per 1 persen pertumbuhan," ujarnya.

Namun dengan kondisi seperti saat ini di mana pertumbuhan ekonomi perlambatan yang disertai dengan anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, maka potensi penyerapan tenaga kerja tersebut berubah menjadi potensi PHK.

"Kalau kondisi seperti ini, di 2015 akan ada tambahan paling tidak 500 ribu penganggur baru, ini besar sekali," lanjut dia.

Menurut Drajad, hal ini bisa dilihat dari beberapa perusahaan menengah ke atas yang mulai mengalami kesulitan bahkan hingga menjual aset demi membayar hutang dalam bentuk valuta asing (valas). "Perusahaan mulai kelimpungan, banyak yang menjual aset, merumahkan karyawan," katanya.

Dia mencontohkan, saat ini perusahaan tambang di Kalimantan mulai melakukan pengurangan jumlah pekerjanya. Hal serupa juga terjadi di Jawa Tengah di mana ada pabrik yang mulai merumahkan karyawannya.

"Di Kalimantan ada ribuan pekerja tambang yang kehilangan pekerjaan. Kemudian di Jawa Tengah kemarin ada 500 pekerja di satu pabrik yang dirumahkan. Artinya ini persoalan sudah serius sehingga ini yang harus diatasi," jelas dia.

Gelombang PHK ini, lanjut Drajad akan terus berlanjut ke berbagai sektor dan semakin besar jika pemerintah tidak segera memperbaiki kondisi ekonomi di dalam negeri.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Sektor yang Tertekan Pelemahan Rupiah


Kamar Dagang dan Industri/Kadin Indonesia menilai nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berdampak pada sejumlah sektor industri di dalam negeri.

Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Tenaga Kerja, Benny Sutrisno mengatakan sektor industri yang terkena dampak paling parah dari pelemahan kurs rupiah yaitu otomotif. Lantaran industri ini masih banyak mengandalkan komponen impor. Sedangkan pasarnya paling besar berada di dalam negeri. "Ada beberapa sektor, seperti otomotif. Komponennya masih impor tapi dijualnya di dalam negeri," ujar Benny.

Selain otomotif, industri elektronik di dalam negeri juga menjadi sektor paling terkena dampak paling parah dari pelemahan kurs rupiah ini. "Selain itu, mungkin juga elektronik. Karena pasarnya juga di dalam negeri. Kalau otomotif, meski ada yang diekspor tapi mayoritas dalam negeri," lanjut dia.

Pelemahan rupiah juga mengganggu operasional industri penerbangan. Sekretaris Jenderal Indonesian National Air Carrier Assosiation (INACA), Tengku Burhanuddin mengatakan, anjloknya nilai tukar rupiah ini semakin memberatkan maskapai-maskapai yang beroperasi di Indonesia.

Pasalnya, maskapai-maskapai tersebut banyak membutuhkan dolar AS untuk membayar sewa pesawat, perawatan hingga membayar gaji awak kabin, seperti pilot.

"Dampaknya berat, karena komponen dolar AS itu besar. Karena untuk sewa pesawat, asuransi, ground handling, bayar pegawai, maintanance dan lain-lain. Sedangkan transaksi pembelian tiket dalam rupiah. Ini mempengaruhi maskapai," ujarnya.

Dia menjelaskan, meski harga avtur mengalami penurunan seiring dengan anjloknya harga minyak dunia, namun hal tersebut tidak dapat membantu meringankan beban yang harus ditanggung oleh maskapai akibat pelemahan rupiah ini.

Ketua Himpunan Pengusaha Peribumi Indonesia (HIPPI) Sarman Simanjorang menambahkan, pengusaha tahu tempe juga mulai gelisah karena bahan baku mereka yang berupa kedelai mayoritas masih impor.

"Pengusaha tahu tempe mengeluh karena bahan baku mereka tergantung kedelai, ini merupakan pukulan," kata Sarman.

Pukulan tersebut dikarenakan, saat rupiah terus melemah terhadap dolar AS mengakibatkan harga kedelai semakin melonjak. Harga kedelai yang tinggi inilah yang secara langsung mempengaruhi tingkat produksi para pengusaha tahu dan tempe.

Mahalnya harga kedelai tersebut diperparah dengan menurunnya daya beli masyarakat yang menurun akibat perlambatan ekonomi Indonesia yang pada kuartal II 2015 hanya 4,6 persen.

3 dari 3 halaman

Sektor yang Berjaya saat Rupiah Melemah


Namun tak semua sektor tertekan saat rupiah melemah. Ada juga sektor yang mampu bertahan bahkan bisa dibilang beruntung dengan pelemahan rupiah seperti industri furnitur dan obat-obatan herbal. Lantaran, industri tersebut menyerap bahan baku lokal namun memiliki pasar ekspor.

"Yang paling beruntung yang ekspor tapi bahan bakunya dari dalam negeri. Seperti furnitur bahan bakunya dari dalam negeri. Kemudian obat-obatan herbal seperti Sido Muncul. Yang diuntungkan dari pelemahan ini juga industri padat karya," kata Benny Sutrisno.

Selain itu, sektor kreatif juga beruntung karena bisa bertahan di saat rupiah melemah. Salah satu contohnya adalah perajin gerabah atau tanah liat di Plered, Purwakarta. Pesanan gerabah untuk diekspor ke luar negeri meningkat hingga 7 kali lipat.

Produksi gerabah Indonesia selalu diminati warga negara asing. Salah salah satu perajin gerabah di Purwakarta, Eman Sulaeman mengaku tak pusing saat nilai rupiah anjlok di pasaran karena bisnis kerajinan gerabah atau tanah liat yang ditekuninya belasan tahun lalu kini justru mengalami peningkatan omset hingga 30 persen.

Penguatan mata uang dolar Amerika justru membawa berkah bagi para perajin tanah liat ini karena pesanan ekspor ke luar negeri naik dari satu kontainer menjadi 7 kontainer setahun.

Saat dolar naik sebesar Rp 12 ribu, dalam setahun ia bisa mengirim hingga 7 kontainer. Namun bila kenaikan dolar berlangsung lama, harga bahan baku juga akan mengalami kenaikan terutama cat.

Muhammad Arwan, perajin akar dari dari Desa Paremono, Kecamatan Mungkid, Magelang, Jawa Tengah, juga mengaku usahanya tak terpengaruh pelemahan rupiah. Kebanyakan pembeli yang menjadi langganan kerajinan awan berasal dari luar negeri, seperti pembeli yang berasal dari Singapura.

Jenis usaha yang digeluti Arwan sama sekali tidak terkena dampak dari melemahnya rupiah terhadap dolar AS.

Justru sebaliknya, kerajinan akar ini mendatangkan dolar karena sebagian besar pembeli kerajinan akar berasal dari Amerika Serikat, negara-negara Eropa, dan Asia. (Gdn/Ein)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini