Sukses

Menanti Pimpinan Baru KPK

Ada 7 aspek yang menjadi pertimbangan Pansel dalam meloloskan calon pimpinan KPK ke tahap berikutnya.

Liputan6.com, Jakarta - Pemimpin rendah hati ternyata didamba di lembaga antirasuah. Inilah impian salah satu calon pimpinan (Capim) Komisi Pemberantasan Korupsi Sujanarko bila kelak terpilih.

"Orang KPK harus belajar rendah hati. Pimpinan harusnya datang ke bawah, tepuk pundak, ngopi bareng. Itu yang kurang. Di KPK memang butuh orang yang cukup rendah hati, sehingga tidak jadi konflik berkelanjutan," tutur Sujanarko dalam wawancara tahap akhir capim KPK di Gedung Kementerian Sekretariat Negara, Jalan Veteran No 18, Jakarta Pusat, Rabu 26 Agustus 2015.

Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Sama Antar Komisi dan Instansi KPK itu menilai, komunikasi di lembaganya kurang berjalan dengan baik. Bahkan, ia merasa kesepian bekerja di KPK.

Sembilan orang anggota Pansel KPK mewawancarai calon pimpinan KPK, Giri Suprapdiono di Gedung Sekretariat Negara, Jakarta, Selasa (25/8/2015). Pada hari ini tujuh capim KPK mengikuti wawancara tahap akhir. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Sujanarko termasuk 19 orang yang menghadapi seleksi wawancara tahap akhir Panitia Seleksi (Pansel) Capim KPK sejak Senin 24 Agustus lalu. Mereka adalah Ade Maman Suherman (Ketua Lembaga Penjaminan Mutu dan Pengembangan Pembelajaran Universitas Jenderal Soedirman), Agus Rahardjo (Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintahan), Alexander Marwata (Hakim Ad Hoc Tipikor PN Jakarta Pusat), Brigjen Pol Basaria Panjaitan (Widyaiswara Madya Sespimti Polri).

Selanjutnya, Budi Santoso (Komisioner Ombudsman), Chesna Fizetty Anwar (Direktur Kepatuhan Standard Chartered Bank), Firmansyah TG Satya (Pendiri dan Direktur Intercapita Advisory, Consultant Strategic and Business, Investment Banking, Audit and Governance Risk Management), Giri Suprapdiono (Direktur Gratifikasi KPK), Mayjen TNI Purn Hendardji Soepandji (mantan Aspam KSAD).

Serta, Jimmly Asshiddiqie (Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu), Johan Budi SP (Pimpinan sementara KPK), Laode Muhammad Syarif (Rektor Universitas Hasanuddin), Mohammad Gudono (Ketua Komite Audit UGM dan Direktur Program Studi Magister Akuntansi FEB UGM), Nina Nurlina Pramono (Direktur Eksekutif Pertamina Foundation), Saut Situmorang (Staf Ahli Kepala Badan Intelijen Negara), Sri Harijati (Direktur Perdata Jam Datun Kejaksaan Agung).

Surya Tjandra (pengacara publik) dan Irjen Pol Yotje Mende (eks Kapolda Papua) termasuk yang mengikuti proses wawancara secara terbuka di ruang serba guna lantai dasar Gedung III Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Hukuman Mati Koruptor

Satu per satu para capim KPK dicecar pertanyaan sekitar 1 jam oleh 9 anggota tim panitia seleksi. Para kandidat umumnya ditanya soal langkah yang akan dilakukan nanti jika menjabat sebagai pimpinan KPK. Berbagai wacana pun muncul selama wawancara tahap akhir tersebut. Wacana koruptor layak dihukum mati, misalnya.

Satu di antara Capim KPK, Jimly Asshiddiqie mengatakan, koruptor tidak seharusnya dihukum mati. Menurut dia, hukuman mati di Indonesia seharusnya dikurangi karena berpotensi bertentangan dengan Dasar Negara Sila ke-2, yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.

Terkait pernyataan kerasnya yang sempat ia lontarkan kepada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar, ia menegaskan itu hanya efek kemarahan sesaat.

Calon pimpinan KPK Jimmly Asshiddiqie mendengarkan pertanyaan saat mengikuti wawancara tahap akhir di Gedung Sekretariat Negara, Jakarta, Selasa (25/8/2015). Dalam paparannya, mantan Ketua MK itu menolak koruptor dihukum mati. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

"Kalau ikut emosi kita setuju saja (hukuman mati). Bahkan, pas saya marah pada kasus Akil Mochtar 'hukum mati saja orang itu'. Tapi itu konteks orang marah," ujar Jimly saat diwawancara Pansel Capim KPK di Gedung Setneg, Jakarta, Selasa 25 Agustus 2015.

"Namun sesuai konteks Pancasila, sila ke-2 'Kemanusiaan yang Adil dan Beradab' maka seyogianya kebijakan hukum kita itu (hukuman mati) pelan-pelan harus dikurangi. Bukan malah ditambahi. Sehingga apakah untuk koruptor juga hukum mati. Saya rasa harusnya tidak," imbuh dia.

Pernyataan berbeda muncul dari Capim KPK lainnya, Johan Budi SP. Pelaksana Tugas (Plt) Wakil Ketua KPK itu justru sangat setuju dengan wacana hukuman mati terhadap koruptor. Sanksi berat tersebut diharapkan mampu memberi efek jera terhadap semua masyarakat.

"Ya, saya setuju koruptor dihukum mati. Tapi kita mesti lihat dulu tingkat kesalahannya," ujar Johan usai tes wawancara oleh Pansel Capim KPK, Selasa 25 Agustus 2015.

Calon pimpinan KPK Johan Budi saat tiba di Gedung Setneg untuk wawancara dengan pansel KPK, Jakarta, Selasa (25/8/2015). Menurut Johan, narapidana kasus-kasus pelanggaran berat tidak perlu diberi remisi. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Pansel Tak Puas

Namun soal pengetahuan calon pimpinan lembaga antikorupsi itu terkait tindak pidana pencucian uang (TPPU), anggota Pansel Capim KPK Yenti Ganarsih kurang puas. Dia meminta para kandidat untuk mendalami soal pencucian uang.

"Belum, belum ada yang memuaskan. Malah menghindari takut ditanya pencucian uang," kata Yenti, di Gedung Setneg, Jakarta, Rabu 26 Agustus 2015.

Menurut dia, TPPU sangat penting untuk ditanyakan dan dipahami. Sebab, TPPU biasa mengikuti tindak pidana korupsi.

"Makanya ini penting TPPU jangan orang dipenjara tapi bisnisnya jalannya terus. Rakyatnya menderita karena uangnya disembunyikan," tambah Yenti.

3 dari 3 halaman

Capim 'Berstabilo Merah'

Yenti pun menanggapi Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri Komjen Pol Budi Waseso yang menyebut ada Capim KPK yang diberi 'stabilo merah'. Laporan tersebut saat ini tengah didalami para srikandi Pansel KPK.

"Iya. Masih baru mau baca," ujar Yenti.

Meski akan mendalami, Yenti mempertanyakan rekam jejak yang disusun kepolisian itu. Menurut dia, laporan ini sudah termasuk kategori serius, karena bisa berkaitan dengan pidana.

"Pak Kabareskrim itu 'stabilo merah' apa maksudnya? Sedang diselidiki atau gimana?" tanya dia.

"Semua trackers itu warning. Cuma ini agak serius karena pidana, ya. ICW punya metode, PPATK punya metode, Bareskrim punya metode.‎ Apalagi trackers ini punya kewenangan untuk menaikkan. Kalau merah itu sudah ada pelapornya apa belum‎," kata Yenti.

Pakar pencucian uang dari Universitas Trisakti ini meminta, jangan sampai laporan tersebut membuat gaduh suasana. Di situasi seperti ini, Yenti menegaskan, pihaknya hanya akan meloloskan kandidat yang terbaik.

"‎Tanya Kabareskrim mau gaduh apa enggak? Iyalah," tandas Yenti.

Kabareskrim Komjen Budi Waseso menyambut baik rencana Pansel KPK yang meminta Bareskrim untuk melihat rekam jejak Capim KPK yang lulus tahap III, , Jakarta, Jumat (31/7/2015). (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Komjen Budi Waseso atau Buwas sebelumnya meminta agar Pansel menimbang secara matang, capim KPK yang diloloskan, karena ada yang 'distabilo merah'. Bila yang diberi tanda tetap lolos, penegakan hukum akan dilakukan dan bukan kriminalisasi.

"Saya sudah bilang dari awal, jika nanti kami menegakkan hukum terhadap mereka, ya jangan dianggap kriminalisasi, rekayasa, catat itu," ujar Buwas.

Buwas menegaskan, penelusuran yang dilakukan polisi harus menjadi rujukan utama. "Kami akan meminta pertanggungjawaban dari Pansel, apa pertimbangannya kok dia diloloskan?"

"Kami (Bareskrim) ini kerjanya resmi lho, enggak main-main, datanya otentik, tapi kok enggak dianggap. Kami mau jangan sekadar formalitas," sambung Buwas.

Pilih 8 Kandidat

Terlepas dari rekam jejak yang dibeberkan Bareskrim, proses wawancara akhir selama 3 hari terhadap 19 Capim KPK rampung dilakukan. Pansel KPK pun langsung menggelar rapat tertutup untuk menilai kandidat mana yang pantas untuk lolos 8 besar.

"Proses selanjutnya, kami langsung kerja melakukan konsolidasi karena kami bersembilan punya penilaian masing-masing," ucap Ketua Pansel KPK Destry Darmayanti di Gedung Setneg, Jakarta, Rabu 26 Agustus 2015.

Dia menambahkan, ada 7 aspek yang menjadi pertimbangan Pansel dalam meloloskan Capim KPK ke tahap berikutnya.

"Yaitu integritas, moral yang bersangkutan, kompetensi, leadership, independensi, dan pengalaman kerja yang bisa beri nilai tambah KPK, juga klarifikasi dari temuan yang dilakukan trackers," jelas Destry.

Selain aspek itu, unsur utama yang menentukan adalah kesehatan. Bila kandidat sudah memenuhi semua aspek tapi kesehatan dinyatakan kurang, maka tidak akan diloloskan.

Ketua Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Pansel KPK) Destry Damayanti dengan anggota pansel lainnya seusai mewawancarai calon pimpinan KPK di Gedung Sekretariat Negara, Jakarta, Senin (24/8/2015). (Liputan6.com/Herman Zakharia)

"Kita tunggu hasil tes kesehatan, diperkirakan pada 28 Agustus siang. Setelah dapat hasil tes, akan kita sandingkan dengan apa yang kami nilai atau evaluasi berdasarkan wawancara dan masukan trackers," imbuh Destry.

Setelah mendapat hasil tes kesehatan, selama 3 hari Pansel KPK akan kembali mendiskusikan kandidat yang layak. Kemudian, pada 31 Agustus akan diserahkan 8 nama yang dianggap layak jadi pimpinan KPK kepada Presiden Jokowi.

Anggota Pansel KPK Supra Wimbarti menegaskan lulus tes kesehatan penting karena menanti tugas berat sebagai pimpinan KPK.

"Sensitivitas pada stres, berhubungan dengan media bakal dilihat. Nanti pekerjaan KPK yang mencekam malah jadi bibit gangguan sakit jiwa. Kami enggak putuskan 8 itu sekarang, tunggu tes kesehatan," tandas Supra.

Kini, publik tentunya menanti hasil seleksi Capim KPK tersebut. Akankah nama-nama yang muncul memenuhi harapan mereka? Kita nantikan saja. (Ans/Rmn)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini