Sukses

Ekonomi Indonesia Melemah, PPP Tuding KPK Penyebabnya

"Saya merasakan pejabat ketakutan karena kebijakan dapat dinilai sebagai tindak pidana korupsi oleh lembaga ad hoc itu (KPK)," tambah Djan.

Liputan6.com, Jakarta - Pertumbuhan ekonomi saat ini sedang mengalami kemerosotan, hanya sekitar 4,7%. Nilai tukar rupiah pun menyentuh angka Rp 13.800 per dolar AS. Pemerintah berulang kali memberikan alasan pelemahan dikarenakan faktor eksternal.

Ketua Umum PPP versi Muktamar Jakarta Djan Faridz mengatakan, alasan lemahnya kondisi ekonomi saat ini dikarenakan penyerapan anggaran yang rendah. Penyerapan rendah karena kepala daerah tidak berani mencairkan akibat takut dipidanakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Selalu kita menyalahkan yuan dan dolar yang melemah. Kalau saya melihat APBN dan APBD penyerapan rendah, uang tidak mengalir. Ini disebabkan ada ketakutan pejabat negara menyiapkan proyek-proyek yang akan dilakukan," kata Djan, di Kantor DPP PPP, Jakarta, Minggu (16/8/2015).

‎"Saya merasakan pejabat ketakutan karena kebijakan dapat dinilai sebagai tindak pidana korupsi oleh lembaga ad hoc itu (KPK)," tambah Djan.

Seharusnya, lanjut Djan, KPK yang berstatus sebagai lembaga ad hoc lebih mengutamakan pencegahan korupsi, bukan penindakan. Penindakan merupakan wewenang dari kepolisian dan Kejaksaan Agung.

"Parpol lewat DPR ingin melakukan penguatan lembaga, melalui Kejaksaan Agung dan kepolisian untuk pemberantasan korupsi. Mereka ada di seluruh Tanah Air lebih merata dan tentunya akan lebih baik dalam memberantas korupsi," tutur dia.

"Lembaga ad hoc kita perkuat untuk mengawasi.  Biar kepolisian dan kejaksaan menindak. Bukan mereka (KPK) yang turun ke rakyat sehingga kebijakan jadi rancu," tambah Djan.

Mantan Menteri Perumahan Rakyat itu menjelaskan, ketakutan kepala daerah akan KPK membuat tidak ada perputaran uang. Akibatnya, rakyat pula yang menderita.

Salah satu contoh yang disampaikan Djan terkait dengan kebijakan dipidanakan KPK adalah kasus kuota haji yang mengganjal mantan Menteri Agama Suryadharma Ali.

"‎Habis sisa kuota dimanfaatkan menteri dan ada dasar hukumnya, malah dianggap tindak pidana korupsi. Padahal kalau sisa kuota tidak dimanfaatkan pemerintah akan rugi besar. Padahal kuota sudah dibayar service charge tiket dan lain-lain. Uang negara hilang kalau tidak dimanfaatkan," tandas Djan. (Ron/Ado)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini