Sukses

Merawat Asa Damai di Aceh

10 tahun Aceh merajut asa damai, masih ada riak-riak kecil membentang di perjalanan menuju Aceh damai.

Liputan6.com, Aceh - Puluhan tahun Aceh terperangkap dalam situasi perang, sejak Gerakan Aceh Merdeka mendeklarasikan pada akhir 1976. Perang di Serambi Mekah itu menyebabkan 29.000 nyawa melayang.

Kini, perang telah berakhir sejak 10 tahun silam. 15 Agustus 2005 Pemerintah Indonesia dan tokoh GAM menandatangani perjanjian damai bersejarah di Helsinki, Finlandia, sebagai tanda mengakhiri konflik bersenjata 29 tahun di Aceh.

Pada perjanjian perdamaian yang proses perundingannya difasilitasi bekas Presiden Finlandia Martti Ahtisari setelah bencana gempa dan tsunami melanda Aceh, GAM setuju tidak lagi menuntut kemerdekaan bagi provinsi kaya minyak dan gas di ujung barat Indonesia.

Sebagai konsekuensi GAM tidak lagi menuntut kemerdekaan, Indonesia memberikan otonomi khusus (otsus) untuk Aceh. Sejak 2008, Aceh telah mendapat dana otsus lebih Rp 42 triliun.

Namun 10 tahun Aceh merajut asa damai, masih ada riak-riak kecil membentang di perjalanan menuju Aceh damai.

Fasilitator perundingan perdamaian Aceh, Juha Christensen, dan Kepala Misi Pemantauan Aceh (AMM), Pieter Feith, menilai reintegrasi bekas kombatan masih belum berhasil. Hal ini ditandai dengan masih adanya kelompok sipil bersenjata yang menodai kedamaian masyaratak di ujung barat Sumatera ini.

Juha mengharapkan pemerintahan Aceh dapat terus meningkatkan pertumbuhan ekonomi di wilayah itu. Riak-riak kecil tersebut pun dapat diatasi dengan meningkatnya ekonomi dan kesejahteraan rakyat.

"Secara keseluruhan perdamaian Aceh telah berhasil, namun kita harapkan pemerintah terus dapat meningkatkan pertumbuhan ekonominya, harus banyak investor, biar masyarakat punya lapangan kerja," ujar Juha.

Peredaran Senjata

Dia juga berharap aparat hukum di Aceh dapat bertindak secara tegas pada pelaku kriminal. "Pemilikan senjata api tanpa izin merupakan tindakan kriminal, itu sudah sangat jelas dalam MoU," kata Juha.

Terkait keberadaan bendera Aceh yang menyerupai bendera Gerakan Aceh Merdeka juga melanggar perjanjian MoU.

"Bendera Aceh tidak boleh menyerupai bendera GAM, itu harus diubah," tambah Juha.

Mantan Ketua Tim Aceh Monitoring Mission (AMM) Pieter Feith mengatakan, setelah penandatangan kesepakatan damai, pihak GAM sudah menyerahkan senjata-senjata yang mereka gunakan ke AMM. Senjata tersebut kemudian dipotong menjadi beberapa bagian sehingga tidak dapat digunakan lagi.

"Banyaknya senjata yang masih beredar bukan berarti kita gagal, tapi mungkin itu senjata masuk baru," kata Peter kepada wartawan saat menggelar konferensi pers di ruang Rektor Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.

Saat itu, GAM menyerahkan sebanyak 840 senjata dan kemudian dipotong-potong menjadi beberapa bagian.

Anggota TNI maupun polisi non-organik di Aceh juga ditarik kembali. Jumlah pasukan TNI/polisi yang ditarik yaitu sebanyak 31.681.  

Kini, menjelang 10 tahun perdamaian, senjata-senjata ternyata masih beredar di Aceh. Menurut Peter, di wilayah Aceh masih ada jalur-jalur yang dapat digunakan untuk memasok senjata ilegal.

Gubernur Aceh Zaini Abdullah mengharapkan masyarakat Aceh dapat bersama-sama dengan pemerintah mengisi perdamaian di Aceh tanpa adanya suatu kelompok yang menganggap dirinya berkuasa atas Aceh dan perdamaian yang telah berlangsung.

"Jangan ada kelompok yang mengklaim berhak atas perdamaian ini, damai Aceh milik warga Aceh, semua berhak atas damai ini, jangan ada kata-kata saya, kami yang telah memperjuangkan perdamaian," ujar Zaini Abdullah dalam pidatonya memperingati 10 tahun damai Aceh, Sabtu (10/8/2015).

Damai Aceh merupakan harapan baru bagi warga Aceh, harapan menyongsong masa depan lebih baik dengan penuh kedamaian. Begitu juga bagi Husna (58), warga Aceh yang kini menikmati perdamaian.

"Dulu yang ada was-was dan ketakutan setiap hari, tidak bisa kemana-mana, nyari rezeki pun susah," kata ibu tengah menjajal mie caluk khas Aceh di seputaran Masjid Raya Baiturrahman itu.

Bagi Husna, damai adalah segalanya. Dia berharap situasi ini dapat terus berlangsung.

"Di kampung dulu, kalau malam harus ngungsi ke rumah tetangga yang rumahnya beton, takut ada kontak tembak. Malam udah seperti kota mati, sekarang Alhamdulillah mau pulang jam berapa aja di kampung sudah aman," tutur Husna. (Bob/Ali)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini