Sukses

Aula Jenderal Besar A.H. Nasution Diresmikan

Peringatan 40 hari wafatnya A.H. Nasution diiringi peresmian Aula Jenderal Besar A.H. Nasution. Ruang pertemuan ini diresmikan untuk mengenang Sang Konseptor Pembaharu TNI.

Liputan6.com, Jakarta: Selang dua hari peringatan 40 hari wafatnya Jenderal A.H. Nasution, sebuah ruang pertemuan atas namanya telah didirikan, Selasa (17/10). Pejabat TNI yang meresmikan Aula Jenderal Besar TNI Abdul Haris Nasution yang berada di Jakarta ini adalah Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal TNI Endriartono Sutarto tampil bersama KSAD Jenderal TNI Tyasno Sudarto. Dalam acara itu sejumlah pejabat di jajaran Markas Besar TNI AD, Panglima Komando Strategis AD, sejumlah Panglima Komando Daerah Militer, Komandan Pusat Polisi Militer serta Kepala Staf Garnisun Jakarta Raya.

Sementara itu, dua hari sebelumnya, sejumlah pejabat dan mantan pejabat juga menghadiri peringatan 40 hari meninggalnya sesepuh TNI tersebut. Di antaranya adalah Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Rizal Ramli, Kyai Haji Ali Yafie, mantan Wakil Panglima TNI Jendral TNI Fachrul Razi dan mantan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin.

Kisah hidup seorang Abdul Haris adalah cerita tentang orang yang kerap berlaga di tengah gelanggang. Banyak sudah liku kehidupan yang dijalani konseptor modernisasi TNI ini. Sudah sejak lama, sejak dia berkarir sebagai pendidik, mendapat gelar kehormatan sebagai Jenderal Besar, sampai pada akhirnya dia menghembuskan napas terakhir pada Rabu (6/9) sekitar pukul 07.30 WIB. Di atas kasur Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat, dia wafat di usia yang cukup renta: 82 tahun.

Di dunia pendidikan, lelaki kelahiran Kotanopan, Tapanuli Selatan 3 Desember 1918 ini, pernah menjadi guru di Bengkulu dan Palembang selepas menyelesaikan pendidikan dasar di Yogyakarta tahun 1932. Bahkan, Pak Nas --demikian dia biasa disapa-- sempat pula mengenyam kursi sebagai pegawai Kotapraja Bandung di tahun 1942.

Zaman bergerak, dan begitu pula nasib Nasution. Saat memasuki akademi militer tahun 1943, bintang seolah terus bersinar di atas kepalanya. Karirnya terus melesat. Bermula dari Komandan Divisi III Siliwangi Tentara Keamanan Rakyat/Tentara Rakyat Indonesia Bandung pada tahun 1945-1946, sampai di Divisi I Bandung tahun 1946-1948. Selanjutnya, langkah ayah almarhumah Ade Irma Suryani ini, terus meroket. Dia diangkat menjadi Panglima Komando Jawa dan Kepala Staf Angkatan Darat, sampai tahun 1962. Di tahun yang sama, dia masih sempat menimba ilmu di Fakultas Ilmu Politik Universitas Padjajaran Bandung.

Kendati posisi puncak di TNI AD sudah digenggam, Pak Nas tak pernah merasa berada di puncak. lalu diam menjadi sesepuh. Dia terlibat ketat dalam penyelenggaraan negara: sebagai Menteri Keamanan Nasional dan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan dari tahun 1959 sampai 1966. Pria yang hobi bacaan sejarah ini, juga pernah menjabat sebagai Wakil Panglima Besar Komando Tertinggi pada tahun 1965.

Di dunia politik, posisi strategis Pak Nas pun menjadi incaran lawan. Dia menjadi sasaran pemberontak pada 30 September 1965, ketika para jenderal di posisi mapan dibantai Partai Komunis Indonesia. Kendati berhasil menyelamatkan diri, Pak Nas harus merelakan putrinya Ade Irma Suryani menjadi korban kebiadaban gerakan tersebut.

Gerakan 30 September adalah salah satu liku yang begitu pedih bagi Pak Nas. Tapi langkah Pak Nas tak pernah surut. Sampai pada akhirnya, dia menjabat sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, sejak 1966 sampai 1972. Belakangan, setelah menyelesaikan tugas negara Pak Nas rajin menulis. Pikiran-pikirannya masih mampu untuk menciptakan sederet buku. Misalnya, Kenangan Masa Muda, Pancasila Democracy Today and Tomorrow. Pokok-pokok Gerilya (dua jilid), Tentara Nasional Indonesia, Masa Orla, Catatan Politik Militer Republik Indonesia, Masa Pancaroba, Kekaryaan ABRI.

Bahkan, ada pula sepuluh judul jilid buku Memenuhi Panggilan Tugas, Sekitar Perang Kemerdekaan (11 jilid). Pak Nas boleh bangga, sebetulnya. Bukan apa-apa, salah satu dari judul buku yang dia buat, Pokok-pokok Gerilya, menjadi referensi pendidikan militer di pelbagai negara.

Saat Orde Baru, dia sempat terbuang dari lingkaran kekuasaan. Saking pasrahnya, Pak Nas sempat menyebut dirinya sebagai orang pinggiran. Kekejaman Orba memang kelewatan. Betapa tidak, hak-hak Pak Nas sebagai warga negara maupun manusia dicabut. Dia dicekal, gerak-geriknya diawasi dengan cermat: tidak boleh bepergian ke luar negeri, termasuk berobat.

Bahkan, dia sempat menerima larangan untuk datang di acara-acara yang dihadiri mantan Presiden Soeharto. Ada kisah pahit suatu kali. Ketika Pak Nas menghadiri undangan pernikahan anak mendiang DI Panjaitan, dia dihadang penjaga keamanan lantaran gedung tempat acara itu berlangsung telah datang Soeharto.

Yang menyedihkan, tak cuma Pak Nas yang menderita. Keluarga, termasuk istrinya Johana Sunarti, juga ikut merasakan. Suatu kali, sang istri, sebagai salah seoarang pendiri diundang menghadiri ulang tahun organisasi Persit. Tapi, entah kenapa, panitia menelpon dan mengatakan bahwa undangan akan diambil kembali. Dia dilarang datang.

Era B.J. Habibie sebagai presiden adalah era yang rada manusiawi. Setidaknya, dibanding saat zaman Soeharto, angin politik sudah tak lagi ganas menyerang Pak Nas. Dia pun bisa tampil lagi di depan publik. HIngga 40 hari sudah dia tampil di depan yang Kuasa, selama-lamanya.(BMI/Tim Liputan 6 SCTV)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini