Sukses

Sekolah yang Memprihatinkan di Pelosok Gunungkidul

Kepala sekolah MI Wonosobo Heri Mustofa mengatakan, jika sekolahnya hanya mendapatkan bantuan BOS dari pusat.

Liputan6.com, Gunungkidul - Sekolah yang nyaman akan menjadi tempat yang baik untuk menimba ilmu bagi generasi bangsa. Namun apa jadinya jika sekolah tersebut jauh dari nyaman dan minim fasilitas. Sekolah Madrasah Ibtidaiyah (MI) Wonosobo, Gunungkidul misalnya.

Di sekolah yang terletak di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ini, foto Presiden dan Wakil Presiden pun tidak terlihat di dinding kelas. Tidak adanya foto dalam kelas itu karena keterbatasan dana. Foto Presiden dan Wakil Presiden hanya ada di ruang kepala sekolah. Itu pun tanpa bingkai.

"Memang kondisi sekolah kami seperti ini," kata Susanto, salah seorang guru wali kelas VI kepada Liputan 6.com, Senin (3/8/2015).

Tidak hanya itu, ruangan kelas terlihat usang dengan lantai yang mulai pecah. Hanya kelas 5 dan 6 yang sudah mulai diperbaiki dengan lantai keramik. Lemari yang biasanya digunakan untuk menyimpan peralatan sekolah seperti buku juga terbuka tanpa ada buku di dalamnya. Buku hanya ditaruh di meja guru.

Tembok kelas juga kusam dan mulai retak. Terlihat tambalan di dinding kelas. Sekolah yang memiliki 69 siswa ini saling berbagi buku pelajaran. Tidak hanya itu, terlihat lubang di sekitar lantai. sehingga meja diletakkan tidak menempel di dinding karena kondisi lantai yang berlubang. Lubang-lubang juga terlihat pada dinding pembatas kelas.

"Lantai di kelas II sudah rusak, bahkan dari kelas tersebut dapat melihat kelas yang lain karena dinding yang kami gunakan sudah berlubang besar," jelas Susanto.

Kepala sekolah MI Wonosobo Heri Mustofa mengatakan, jika sekolahnya hanya mendapatkan bantuan BOS dari pusat. Pihak sekolah juga tidak memungut biaya kepada wali murid. Menurut Heri, walaupun tidak ada biaya namun prestasi sekolahnya tidak kalah dengan sekolah di sekitarnya.

"Meski kondisi kami memprihatinkan, tetapi prestasi tidak kalah dengan sekolah negeri yang ada di sekitar. Bahkan jumlah murid tergolong banyak dibandingkan 20 sekolah negeri di Kecamatan Tanjungsari," urai Heri.

Menurut Heri, jika tidak ada perbaikan ruangan kelas 1 sampai kelas 4 tahun ini maka kegiatan belajar mengajar akan dilakukan di tenda. Sebab, kondisi dinding dan atap yang sudah lapuk sehingga cukup membahayakan anak didik.  

Heri mengungkapkan, sekolah yang dibangun tahun 1987 ini baru membuat dua kelas. Sekolah milik Yayasan Muhammadiyah ini kekurangan dana, sehingga tidak bisa memperbaiki kelas yang akan runtuh.  

"Dahulu awalnya tidak di sini. Sekolah ini didirikan tahun 1984 dan pindah ke lokasi ini tahun 1987. Sejak tahun itu, baru dua kelas yang dibangun,"ucap Heri.

Heri mengaku terbatasnya bantuan dana inilah yang membuat operasional sekolah sangat tidak maksimal. Para guru pun hanya dibayar sekitar Rp 100 ribu hingga Rp 300 ribu. Itu pun pembayarannya sering terlambat.

"Dari 10 guru kami hanya 1 yang PNS. Lainnya honorer termasuk saya. Kami tidak memungut biaya. Guru di sekolah kami juga memiliki dedikasi yang tinggi meski hanya digaji Rp 100 ribu hingga Rp 300 ribu per bulannya," kata dia.

Heri mengaku sekolah ini dapat bertahan karena dukungan masyarakat sekitar. Anehnya walaupun fasilitas minim, jumlah murid di sekolah ini terhitung cukup banyak. Ia hanya berharap agar ada bantuan untuk sekolahnya.

"Dari 20 sekolah di Tanjungsari, kami satu-satunya yang swasta, tetapi murid dan prestasinya tidak kalah dengan yang negeri," tandas Heri. (Sun/Ans)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini