Sukses

Pengamat: Calon Tunggal di Pilkada 2015 Bukti Parpol Ingkar Janji

Parpol seharusnya tidak perlu takut kalah dalam Pilkada.

Liputan6.com, Jakarta Setidaknya ada 12 daerah yang baru memiliki bakal pasang calon tunggal untuk pilkada serentak pada 9 Desember 2015. Bahkan 1 daerah tercatat sama sekali tidak ada calon yang mendaftar.

Fenomena itu terjadi diduga lantaran tingginya elektabilitas salah satu calon di daerah tertentu. Sehingga membuat calon lain pesimis maju sebagai kompetitor.

Peneliti senior Populi Center ‎Nico Harjanto mengatakan, munculnya fenomena bakal pasang calon tunggal pada pilkada serentak 2015 membuktikan, pendidikan politik di Indonesia tidak baik. ‎Partai politik (parpol) yang tidak mengajukan kadernya sebagai calon dinilai telah mengingkari janji elektoralnya.

"‎Itu artinya parpol di daerah tersebut tidak siap berkompetisi untuk menang atau kalah. Padahal janji mereka secara elektoral siap menang, siap kalah," ujar Nico dalam diskusi 'Siap atau Tidak Pilkada Tetap Serentak' di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (1/8/2015).

Parpol, lanjut dia, harus punya peran penting dalam menyukseskan pesta demokrasi di daerah. Parpol juga harus mampu menampung aspirasi rakyat dalam menentukan calon kepala daerah mereka.

"Makanya kita harus mendorong parpol supaya mencalonkan kadernya (di daerah yang hanya mempunyai satu calon). Karena kompetisi harus tetap berjalan supaya rakyat punya pilihan," lanjut dia.

Investasi Politik Jangka Panjang

Nico menilai, parpol seharusnya tidak perlu takut kalah dalam pilkada, meski harus melawan kompetitor yang sangat kuat sekalipun. Parpol yang berani berkompetisi justru akan diperhitungkan di kemudian hari.

"Saya kira parpol yang kalah tidak ‎akan serta merta mendapatkan hukuman elektoral. Karena mereka bisa menunjukkan kepada publik bahwa mereka bisa berkompetisi, punya mesin partai yang kuat, sehingga tetap mendapatkan dukungan yang cukup signifikan di daerah tersebut," ucap Nico.

Menurut dia, parpol seharusnya menyadari bahwa kekalahan dalam pilkada ‎serentak tidak serta merta merugikan dirinya. Karena kekalahan itu bisa menjadi pelajaran penting untuk modal pertarungan di pemilu selanjutnya.

"Intinya dalam proses pilkada harus didorong spirit kompetisi yang demokratis bahwa akan ada yang menang dan yang kalah. Kekalahan pada pilkada ini belum tentu kekalahan pada pemilu berikutnya. Karena setelah ini akan ada pilkada 2017, 2018, pileg dan pilpres," papar dia.

Ia mencontohkan kasus di Surabaya, Jawa Timur. Bahwa Tri Rismaharini sebagai Walikota Surabaya mempunyai elektabilitas yang sangat tinggi di daerahnya. Hal itu pula yang diduga membuat sejumlah kompetitor 'ciut' untuk melawannya.

Parpol yang mempunyai kader bagus hendaknya berani mengajukannya di Pilkada 2015. Meski pada akhirnya kalah, setidaknya akan dicatat sejarah bahwa pernah ada pesaing Risma di Pilkada 2015. Jika track record kader yang diajukan parpol tersebut juga baik di mata masyarakat, tidak menutup kemungkinan di tahun 2020 akan menjadi pengganti Risma.

"‎Paling tidak di Pilkada 2020 masyarakat sudah mengenal figurnya (calon yang kalah di 2015). Jadi jangan dipahami kompetisi hanya berakhir di tahun 2015 ini. Bisa diartikan, kompetisi ini sebagai investasi politik jangka panjang," pungkas Nico. (Osc/Mvi)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.