Sukses


Ketua MPR: Calon Tunggal Pilkada Bukan Karena Minim Figur

Jika hanya terdapat calon tunggal maka gelaran pilkada di daerah mundur di gelombang kedua 2017.

Liputan6.com, Jakarta - Polemik hanya ada calon tunggal dalam gelaran pilkada serentak gelombang pertama di beberapa daerah, bukan karena minimnya figur pemimpin di daerah.

Ketua MPR Zulkifli Hasan menilai, keberadaan calon tunggal dalam Pilkada tersebut dikarenakan bakal calon kepala daerah yang terlalu kuat sehingga tidak memiliki lawan.

"Misalnya di Surabaya ada Risma, saya dukung dia (Risma) karena prestasinya bagus dan dicintai rakyat, wawasan kebangsaannya jempol dua, maka kita dukung," kata Zulkifli di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (29/7/2015).

Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) ini mengakui, meskipun telah memberikan dukungan kepada calon kepala daerah, jika hanya terdapat calon tunggal maka gelaran Pilkada di daerah yang bersangkutan harus mundur di gelombang kedua 2017.

Oleh karena itu, Zulkifli menekankan, situasi ini harus segera dibenahi apakah membuat undang-undang baru yang bisa mendengarkan aspirasi masyarakat terkait calon kepala daerahnya.

"Kalau Bupati sudah mayoritas masyarakat dukung maka bisa ada jalan keluar ditetapkan Kepala Daerah. Nggak ada lawan kan berarti mayoritas," tandas Zulkifli.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada mengatur sekurang-kurangnya harus ada 2 bakal calon pasangan yang mendaftar agar Pilkada bisa dilaksanakan.

Jika hanya ada calon tunggal, Pilkada akan ditunda 10 hari dan kembali membuka pendaftaran bagi bakal calon pasangan baru selama 3 hari.

Selanjutnya: Putusan MK Mempersulit?

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Putusan MK Mempersulit?

Putusan MK Mempersulit?

Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu memutuskan anggota DPR, DPD maupun DPRD yang mencalonkan diri menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah diharuskan membuat surat pengunduran diri dan mundur dari jabatannya saat resmi ditetapkan sebagai calon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Ketua MPR Zulkifli Hasan mengatakan, putusan MK tersebut dinilai mempersulit partai politik untuk mencari calon pemimpin daerah.

"Semakin sulit mencari pemimpin di daerah itu karena persyaratannya (anggota Dewan)  harus mundur dari jabatannya," ucap Zulkifli di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (29/7/2015).

Contohnya, imbuh dia, anggota DPRD yang merupakan adik dari Wakil Ketua MPR Mahyudin gagal mencalonkan diri dalam gelaran Pilkada lantaran harus melepas jabatan yang dimilikinya. Padahal yang bersangkutan berkompeten untuk diusung dalam Pilkada serentak 9 Desember mendatang.

"Tadi ada adiknya Pak Mahyudin di Kutai Timur tidak jadi maju. Padahal kita (PAN) sudah dukung, tapi karena harus mundur (dari DPRD) maka tidak jadi maju," tandas Ketua Umum PAN tersebut.

Mahkamah Konstitusi mewajibkan anggota Dewan yang telah ditetapkan sebagai calon kepala daerah untuk mundur dari jabatannya. Hal itu bertujuan untuk memberikan rasa keadilan bagi pemangku jabatan di instansi pemerintah lainnya yang diwajibkan untuk melakukan hal yang sama.

MK berpandangan bahwa Pasal 7 huruf s Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah bertentangan dengan UUD 1945. Pasal tersebut bersifat diskriminatif, menunjukkan adanya pembedaan syarat yang merugikan hak konstitusional warga negara. (Mvi/Ein)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.