Sukses

Yusril Ihza Mahendra: Jaksa Berdiri 2 Kaki dalam Kasus Dahlan

Dahlan Iskan mengajukan praperadilan atas penetapan tersangkanya oleh Kejati DKI Jakarta.

Liputan6.com, Jakarta - Pengacara mantan Dirut PLN Dahlan Iskan, Yusril Ihza Mahendra menilai, jaksa berdiri 2 kaki dalam sidang praperadilan Dahlan Iskan terkait penetapan sebagai tersangka dugaan korupsi kasus proyek pembangunan 21 Gardu Induk PLN.

Sikap jaksa dinilainya sering tidak konsisten terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Karena sebelumnya, Dahlan mengajukan praperadilan dengan dasar putusan MK yang menyatakan bahwa penetapan tersangka merupakan objek praperadilan. Sedangkan Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta dalam hal ini sebagai Termohon, tidak mengakui putusan tersebut.

"Jaksa itu berdiri pada 2 kaki. Inconsistent. Kalau menyenangkan dia, dia pakai. Kalau enggak menyenangkan dia tolak, kan enggak benar juga jaksa begitu," ujar Yusril di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (28/7/2015).

Berdasarkan pengalamannya sebagai pakar hukum, dia pernah menguji Pasal 197 KUHAP tentang putusan batal demi hukum. Pasal tersebut bermaksud ketika putusan pengadilan tidak dicantumkan perintah supaya terdakwa ditahan, maka putusan itu batal demi hukum.

"MK menyatakan bahwa meskipun tidak mencantumkan kata kata perintah untuk ditahan, maka putusan itu tetap sah dan dapat dilaksanakan. Dan besoknya jaksa mengeluarkan surat edaran untuk menangkap orang-orang itu. Jaksa inconsistent," lanjut Yusril.

Putusan MK terkait penetapan tersangka masuk dalam objek praperadilan, menjadi perseteruan dalam sidang praperadilan Dahlan Iskan antara pihak Termohon dan Pemohon. Dalam berkas dupliknya, Kejati DKI Jakarta menggunakan referensi buku Hukum Acara Pengajuan Undang-Undang yang ditulis oleh Jimly Assidiqie.

Dalam buku halaman 163 itu ditulis bahwa DPR adalah legislator utama, sedangkan MK sama sekali tidak memiliki kewenangan untuk mengatur. Dengan demikian maka ketentuan KUHAP hanya boleh diubah atau diganti oleh DPR bersama-sama dengan Presiden.

Namun Yusril memiliki pendapat bahwa MK itu merupakan negatiive legislation. "Dia mengatakan pasal ini bertentangan dengan UUD 45 dan karena itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," jelas Yusril.

Ia menambahkan, MK tidak bisa kemudian merumuskan bunyi dari undang-undangnya. Melainkan dalam konteks menafsirkan tafsir dari pasal sebuah undang-undang bertentangan dengan UUD 45.

"Ini konteksnya seperti itu keputusan MK mengenai kewenangan melakukan praperadilan," pungkas Yusril. (Mvi/Mut)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.