Sukses

Batas Waktu Penyelesaian Sengketa Pilkada Diperpanjang

Batas waktu 45 hari kalender, termasuk hari libur seperti yang diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada dinilai tak cukup.

Liputan6.com, Jakarta - DPR dan pemerintah sepakat menambah batasan waktu penyelesaian perselisihan hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Mahkamah Konstitusi (MK). Dari yang semula 45 hari kini menjadi 60 hari kerja.

Batas waktu 45 hari kalender, termasuk hari libur seperti yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dinilai tak cukup. MK mengaku tidak mampu menangani gugatan perselisihan sengketa hasil pilkada apabila lebih dari 50 persen gelaran pilkada serentak berujung di MK.

Selain itu, ada pula peraturan terkait lainnya juga bakal direvisi, yakni UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang MK yang juga berkaitan dengan masalah penyelesaian sengketa pilkada. Maka, sebagai tahap awal pembenahan agar pilkada serentak berjalan baik, UU MK akan dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2015 yang akan ditindaklanjuti sesuai mekanisme yang berlaku di DPR.  

"Dari pertemuan tersebut dinyatakan ada revisi terbatas terhadap UU tersebut (UU MK dan UU Pilkada). MK menyatakan tidak ada peraturan lain termasuk peraturan MK. Ini masuk UU prioritas 2015 akan diproses sesuai dengan mekanisme yang berlaku," kata Wakil Ketua DPR, Fadli Zon.

Hal ini disampaikannya dalam rapat konsultasi terkait Pilkada Serentak 2015 bersama pimpinan DPR, pimpinan fraksi, pimpinan Komisi II dan III DPR dengan Wakil Ketua MK, Mendagri, KPU dan Bawaslu di Gedung DPR, Senayan, Jakarta pada Senin 6 Juli 2015.

Sengaja Menunda Pilkada?

Sementara Ketua Komisi III DPR, Aziz Syamsuddin, menambahkan, batas 45 hari untuk penyelesaian sengketa pilkada di MK bakal jadi hambatan MK. Apalagi ada 269 pilkada saat Pilkada Serentak 2015 digelar nanti.

"Pasal 157 ini jadi hambatan MK bahwa 45 hari kalender dari 269 kabupaten/kota, kalau diasumsikan MK punya waktu 37 menit untuk selesaikan 1 perkara. Tentu ini akan terjadi apabila tidak direvisi," kata Aziz Syamsuddin.

Dia tak ingin penanganan sengketa hasil pilkada berujung ricuh. "Jangan sampai meja MK dinaiki lagi, saya tidak ingin seperti itu lagi. Ini jadi beban kita tersendiri. Ini harus dicegah," ucap Aziz.

Ketua Komisi II DPR, Rambe Kamarulzaman, mengakui terdapat kekeliruan dalam menyusun UU Pilkada yang merupakan hasil revisi dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pilkada.

Rambe menceritakan, Komisi II DPR bersama Mendagri Tjahjo Kumolo sepakat batas waktu penyelesaian sengketa hasil pilkada adalah 45 hari kalender bukan 45 hari kerja. "Kaitkan dengan itu, MK minta jumlah hari dalam UU Pilkada ditambah menjadi 60 hari kerja. Waktu itu Mendagri bersama kita yang sepakati, tapi fakta sekarang tidak sesuai," ujar Rambe.

"Menurut kami harus ada revisi UU MK," ujar dia.

Politisi Partai Golkar itu menegaskan, dalam revisi ini tak ada niat untuk menunda pelaksanaan pilkada serentak. Mengingat masih ada sejumlah parpol yang bersengketa jelang tahapan pendaftaran calon kepala daerah pada 26-27 Juli mendatang.

"Tidak ada menunda pilkada."

Selanjutnya: 30 Menit Per Kasus...

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

30 Menit Per Kasus

30 Menit Per Kasus

Di tempat yang sama, Wakil Ketua MK, Anwar Usman, mengatakan, berdasarkan simulasi yang dilakukan pihaknya, waktu penyelesaian sengketa pilkada 45 hari kalender sangat tak memungkinkan.

"Kami meminta agar ini direvisi dengan kembali memasukkan kewenangan atas kewajiban MK dalam UU," ujar Anwar.

Dia mengatakan, sebenarnya MK menurut UUD 1945 dan UU MK tidak punya kewenangan mengadili perselisihan hasil pilkada. Namun dalam putusan MK pada 2014, lanjut dia, MK menguatkan aturan tersebut dengan memutuskan tidak lagi berwenang mengadili perkara hasil sengketa pilkada. Namun, UU Pilkada menghendaki agar selama belum ada lembaga peradilan khusus pilkada, sengketa perolehan suara dalam pilkada harus diselesaikan lewat MK.

Persoalannya, ucap dia, UU Pilkada tersebut juga membebani MK yang diperintahkan untuk menyelesaikan sengketa hasil pilkada selambatnya 45 hari menurut kalender.

Sementara di MK hanya ada 9 hakim. Padahal gelombang awal pilkada serentak tahun ini tercatat ada 269 wilayah. Jika sejumlah terlaksana pilkada itu mengajukan sengketa, Hakim MK akan sulit memberikan keadilan dalam putusannya.

"Itu artinya, setiap kasus MK hanya disediakan waktu 30 menit untuk memutuskan sengketa," tutur dia.

Anwar menegaskan kepada DPR agar lembaga legislasi itu memberikan legalitas terang soal kewajiban MK dalam Pilkada 2015. Selanjutnya, kata dia, jika pun MK tetap diminta untuk menjadi pengadil sementara sengketa pilkada, DPR diminta merevisi jumlah 45 hari penyelesaian sengketa menjadi sekitar 60 hari.

"Jumlah 60 hari itu pun, kalau bisa hari kerja. Bukan hari kalender," kata Anwar.

Lalu apa kata Mendagri Tjahjo Kumolo?

Dia menyatakan, akan mempertimbangkan usulan MK. Menurut dia terdapat komitmen bersama antara pemerintah dan DPR melalui Komisi II DPR untuk melakukan beberapa revisi.

"Implikasi revisi ini pemerintah bersama dengan DPR agar pilkada serentak bisa lebih demokratis, efektif, dan efisien," kata Mendagri.

"Kemudian paling lambat Februari 2015 terkait siklus pemerintahan daerah, maka 2027 bisa serentak secara nasional," imbuh Tjahjo.

Sementara itu, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Firman Soebagyo sudah menerima draf dan Naskah Akademik (NA) dari MK soal revisi UU MK. Namun, draf tersebut baru diterima melalui surat elektronik (email) pekan lalu. Sehingga belum diserahkan secara langsung oleh pemerintah yang bisanya diserahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham).

"Saya sudah terima drafnya dari MK melalui email. Dan revisi UU ini perlu dilakukan agar MK dapat selesaikan gugatan sengketa hasil pilkada dengan baik," kata Firman Soebagyo.

Ketika ditanya, kapan revisi UU MK dibahas dan dimasukkan menjadi Prolegnas prioritas 2015, Firman belum dapat memberikan komentarnya. Dia mengaku sampai saat ini belum ada pembicaraan bersama pemerintah terhadap revisi inisiatif DPR ini. (Ndy/Ali)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini