Sukses

22 Tahun Menjadi Budak di Indonesia, Myint Naing Akhirnya Pulang

Liputan6.com, Yangon - Myint Naing akhirnya bisa pulang dan memeluk kembali sang ibu, Khin Than setelah 22 tahun tak bersua. Pria 40 tahun itu menangis keras, tak sanggup berdiri, saat melihat wajah perempuan yang melahirkannya itu.

Myint meninggalkan rumah sejak 1993. Kala itu seorang broker tenaga kerja mengunjungi desanya di Myanmar selatan, menawarkan pekerjaan di Thailand untuk para pemuda.

Myint yang baru berusia 18 tahun menerima tawaran itu. Keluarganya sangat membutuhkan uang. Namun, bukannya ke Thailand, pria itu justru dibawa ke Tual, wilayah kaya ikan di Maluku, Indonesia.

Kapten kapal Thailand yang ia naiki dan para krunya berkata pada Myint dan teman-temannya, bahwa mereka telah menjadi budak. Tak usah berharap bakal pulang. Melarikan diri pun bisa jadi tiket menuju kematian.

Pria bertubuh kurus itu menjadi 1 dari ribuan budak yang dipekerjakan di bisnis hasil laut (seafood) Thailand. Sebanyak 200 ribu di antaranya dipekerjakan paksa di atas kapal dengan modus penipuan, penculikan, juga perdagangan manusia.

Sejumlah perusahaan tak bermoral yang memperbudak manusia adalah pemasok ikan ke Amerika Serikat, Eropa, juga Jepang. Memasok produk laut ke supermarket besar dan toko-toko di seluruh dunia. Dengan nilai ekonomi mencapai US$ 7 miliar.

Kehidupan di atas kapal sangat memprihatinkan. Barbar. Pada waktu-waktu sibuk, manusia-manusia yang diperbudak harus bekerja 24 jam sehari, dengan mengonsumsi air laut yang direbus campur nasi.

Para pekerja tak jarang jadi sasaran pukulan dan penyiksaan. Beberapa nekat melemparkan diri ke lautan lepas. Memilih mati daripada hidup sebagai budak.

Setelah 8 tahun bekerja, Myint mulai merindukan sang ibu. Rasa kangen tak tertahankan sehingga ia melakukan apa pun untuk bertemu dengan perempuan -- yang wajahnya makin kabur dalam ingatan.

Ia pun melempar tubuhnya ke lantai geladak, memegangi kaki kapten kapal, menangis, memohon kebebasan.

Seperti dikutip dari The Independent, sang kapten justru membentak, mengancam akan membunuhnya jika berani meninggalkan kapal. Lalu, Myint diseret ke dek, tangan, dan kakinya dirantai di tiang kapal.

Ia dibiarkan di sana 3 hari, 3 malam, menahan terik matahari dan dinginnya malam, tanpa air dan makanan.

Selama itu, maut membayangi pikirannya. Bagaimana ia akan mati? Myint bertanya-tanya, apakah majikannya akan melemparkannya ke laut, seperti mayat-mayat lain? Atau ditembak? Atau, jangan-jangan, mereka akan membenturkan kepalanya hingga pecah -- jenis siksaan yang sering ia saksikan.

Suatu hari, ia berhasil lari dan menumpang di rumah penduduk sekitar selama beberapa tahun. Suatu hari, ia mendengar tentang program Pemerintah Indonesia untuk membebaskan para pekerja yang diperbudak, yang dipicu laporan Associated Press tentang perbudakan terselubung yang terjadi di Nusantara.

Saat terbang menuju Yangon, Myint tampak gelsah. Negerinya, kampung halamannya, terasa sangat asing.

Kini, setelah bertemu keluarganya, ia mengucap janji. "Di masa depan, aku tak akan pergi ke mana pun. Aku akan tinggal dan bekerja di sini. Aku akan mati di Myanmar," katanya.

Meskipun sejumlah perjanjian internasional melarang perbudakan, perdagangan manusia terus berkembang di beberapa belahan dunia.

PBB memperkirakan bahwa saat ini terdapat sekitar 27-30 juta orang di seluruh dunia yang terperangkap dalam perdagangan manusia. (Ein/Yus)



* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini