Sukses

Revisi Undang-undang Bikin KPK 'Macan Ompong'?

Anggota Pansel Capim KPK Yenti Ganarsih menilai, banyak faktor yang membuat KPK menjadi lemah. Salah satunya adalah revisi UU KPK.

Liputan6.com, Jakarta - Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau UU KPK oleh DPR, dinilai hanya untuk melemahkan KPK. Banyak pihak juga menilai, belum saatnya DPR merevisi UU KPK sekarang ini.

Direktur Eksekutif Lingkar Madani (LIMA) Indonesia Ray Rangkuti menilai, jika revisi UU KPK dilakukan, sama saja dengan melucuti kekuatan KPK. Apalagi, salah satu pasal yang direvisi disebut-sebut terkait kewenangan KPK dalam penyadapan dan penuntutan.

Karena itu, Ray menilai, jika kekuatan KPK dilucuti, lembaga antikorupsi itu tidak lagi berguna. Sama seperti DPR jika hak angketnya dihilangkan.‎

"‎Sama seperti DPR kehilangan hak angket, seperti lembaga yang tidak berguna. Manggil tidak bisa, menyelidiki tidak bisa," kata Ray dalam diskusi di kawasan Tebet, Pancoran, Jakarta Selatan, Jumat 26 Juni 2015.

Menurut Ray, itu sebabnya banyak pihak yang menolak revisi UU KPK. Terutama soal kewenangan penuntutan. Sebab, hal yang sama tentu akan ditolak semua anggota DPR jika hak angket mereka dihilangkan.

"Kalau penuntutan dihilangkan, sama seperti DPR dipreteli hak angketnya. Mau tidak DPR dibuang hak itu dari mereka? Jadinya kayak tukang ribut saja, tidak ada yang diperjuangkan," kritik dia.

DPR resmi memasukkan UU KPK ke dalam prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015. Dengan begitu, UU KPK menjadi salah satu prioritas undang-undang yang akan direvisi DPR.
‎
3 Faktor

Hal senada juga disampaikan Anggota Pansel Capim KPK Yenti Ganarsih. Menurut dia‎, banyak faktor yang membuat KPK menjadi lemah. Salah satunya adalah revisi UU KPK.

Sebab, kata Yenti, eksistensi KPK berada di tangan Pemerintah dan DPR. Pelemahan atau penguatan pun juga tergantung bagaimana keberpihakan Pemerintah dan DPR dalam pemberantasan korupsi.‎

"Yang membuat lemah KPK atau badan-badan seperti KPK di seluruh dunia itu, kalau political will dari eksekutif (Pemerintah) dan legislatif (DPR) itu melemah. Kalau sudah begitu, sudah pasti (KPK) tidak ada apa-apanya," kata Yenti dalam kesempatan yang sama.

Yenti menjelaskan, ada juga faktor lain yang membuat KPK menjadi tak berdaya. Misalnya intervensi politik, yang memiliki peranan besar dalam pelemahan KPK. Mengingat, sebagai lembaga antikorupsi, KPK sudah seharusnya bekerja secara independen.

Faktor lain yang juga tak kalah penting dalam membuat KPK seperti 'macan ompong', kata Yenti, yakni datang dari internal sendiri. KPK jadi tak bisa 'menggigit' lagi, jika‎ komisionernya lebih memilih diam atau lebih senang dalam status quo.

"Kemudian, komisionernya, bahwa dia lebih senang pada status quo," ucap Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti ini.

Hal tersebut, lanjut Yenti, bertolak belakang dengan fakta korupsi‎ semakin marak dan masif. Karena itu, upaya memberantas korupsi tidak cukup dengan waktu setahun atau dua tahun. Butuh waktu yang lama untuk memberangus korupsi dari bumi RI.

Untuk itu, Yenti menambahkan, penindakan dan pencegahan korupsi yang dilakukan KPK juga harus berjalan beriringan agar seimbang. Pencegahan tanpa penindakan, atau sebaliknya hanya akan membuat korupsi terus dan tetap terjadi. (Rmn/Nda)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini