Sukses

Pakistan Kewalahan Tangani Ribuan Jenazah Korban Gelombang Panas

Unit pendingin di kamar mayat bahkan telah berhenti bekerja. Akibat aliran listrik putus karena lonjakan saat gelombang panas di Pakistan.

Liputan6.com, Karachi - Korban tewas akibat gelombang panas di Provinsi Sindh Pakistan dilaporkan telah mencapai 1.000 orang. Media lokal memberitakan, bahwa setidaknya 950 orang tewas di Karachi, sekitar 14 ribu lainnya dirawat karena serangan panas dan dehidrasi.

Suhu merosot turun ke 38 derajat Celcius pada hari Kamis 25 Juni 2015, dari sebelumnya yang mencapai 45 derajat Celcius.

"Tetapi korban tewas bisa mencapai 1.500 orang," kata juru bicara untuk badan amal terkemuka seperti dikutip dari BBC, Jumat (26/6/2015).

Anwar Kazmi, seorang pejabat senior dari Edhi Welfare Organization mengatakan bahwa unit pendingin di kamar mayat telah berhenti bekerja akibat terputusnya aliran listrik.

Sementara para petugas kesehatan kewalahan dengan banyaknya jumlah jasad korban gelombang panas. "Terpaksa kami menyimpan jenazahnya di dalam kantong mayat dan diletakkan di lantai," kata Kazmi.

Meski pada Rabu 24 Juni kemarin dinyatakan sebagai hari libur oleh pemerintahan di Sindh agar warga terhindar serangan panas, tapi tenaga medis mengatakan mereka masih berjuang dengan pasien yang dirawat. Sebab jumlahnya masih bertambah.

Sejumlah orang saat menunggu giliran untuk mengambil air saat cuaca panas yang ekstrem di Karachi, Pakistan, (23/6/2015). Gelombang panas yang telah menewaskan lebih dari 400 jiwa di kota selatan Pakistan. (REUTERS/Akhtar Soomro)

Dokter Qaiser Sajjad Medical Association Pakistan di Karachi mengatakan, kurangnya pemahaman tentang gejala stroke panas menjadi penyebab tingginya angka kematian.

"Alasan utama adalah kurangnya kesadaran masyarakat. Tidak ada yang tahu bagaimana mengatasi situasi seperti ini," ucap Qaiser.

Terlebih lagi, kondisi warga semakin buruk akibat menjalankan ibadah puasa Ramadan di tengah sengatan gelombang panas yang melemahkan tubuh.

Melihat kondisi itu, beberapa ulama pun mengeluarkan pernyataan dan muncul di televisi untuk mengingatkan bahwa mereka tak diwajibkan berpuasa jika lemah, tua, atau tak sehat.

Tapi menurut laporan Reuters, beberapa toko menolak menjual es atau air pada siang hari. Sebab menurut peraturan di sana bisa membuat mereka terkena sanksi.

Banyak dari korban adalah orang-orang tua dari keluarga berpenghasilan rendah.

"Yang paling banyak meninggal adalah orang-orang di jalan-jalan -- pecandu heroin, pengemis, tunawisma. Kemudian orang tua, khususnya mereka yang tidak memiliki siapa pun untuk merawat mereka," kata Anwar Kazmi, juru bicara layanan tersebut dikutip dari Telegraph.

Ribuan orang yang dirawat dilaporkan berada dalam kondisi serius.

Kekurangan air dan listrik memperburuk dampak gelombang panas di Provinsi Sindh. Sekitar 20 juta orang yang biasanya memiliki cuaca sejuk dari angin laut, harus menghadapi suhu ekstrem hingga 45 derajat Celsius.

Pusat layanan serangan stroke panas telah didirikan oleh tentara. Mereka menawarkan air dan minuman pengganti cairan tubuh. Sedangkan para pejabat dikritik karena tidak melakukan langkah segera untuk mengatasi krisis.

Diperkirakan hujan akan turun dan membuat warga yang dilanda gelombang panas akan membaik.

Wartawan BBC di Pakistan, Shahzeb Jillani, mengatakan suhu tinggi sebenarnya bukan hal yang luar biasa di Pakistan. Namun kali ini diperparah dengan putusnya arus listrik, yang sepertinya tidak bisa mengatasi lonjakan penggunaan daya. Kebutuhan listrik untuk mesin pendingin ruangan bertepatan dengan peningkatan kebutuhan daya saat Ramadan, ketika umat Islam berpuasa pada siang hari.

Suhu tertinggi pernah terjadi di Karachi pada tahun 1979, saat itu mencapai 47 dereajat Celcius.

Gelombang panas di Pakistan sama persis dengan yang terjadi di India, bulan Mei lalu. Kala itu, hampir 1.700 orang meninggal akibat terpapar suhu udara yang mencapai 48 derajat celsius. (Tnt/Mut)

Baca Juga:

Gelombang Panas Arab Bikin Kartu Parkir Meleleh dan Gosong

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini