Sukses

26-6-1284: Misteri di Balik Kisah 'Peniup Seruling dari Hamelin'

Kematian massal akibat wabah penyakit, migrasi, atau anak-anak yang dijadikan tumbal ritual pagan, apa arti di balik kisah itu?

Liputan6.com, Jakarta - Celaka menimpa Kota Hamelin di Jerman. Entah dari mana asalnya, ribuan tikus tiba-tiba menyerbu masuk ke rumah-rumah dan gudang, menggerogoti apapun yang bisa dimakan: gandum, persediaan pangan, kain, perabotan, bahkan kayu dan atap bangunan. Meninggalkan kotoran dan kerusakan di mana pun mereka berada.

Kala itu, pada 1284, 90 persen warga kota hidup dalam kemiskinan ekstrem, kelaparan, dan berjuang untuk memberi makan keluarganya. Hewan pengerat itu menjadi ancaman besar.

Dari kejauhan, tampak noktah-noktah hitam di paving jalanan di pusat kota. Ternyata, itu adalah tikus yang bergerombol dan bikin begidik siapa pun yang melihatnya.

Penduduk pun dilanda nestapa. Makanan kian langka, kalau pun ada telah bercampur dengan kotoran tikus. Kuman-kuman penyakit bertebaran, satu per satu orang jatuh sakit.

Segala upaya telah dilakukan. Namun, sekeras apapun usaha dikerahkan, tikus-tikus seakan justru bertambah banyak.

Suatu hari, muncullah seorang pria berpakaian warna warni, mengaku sebagai pengusir tikus. Maka kesepakatan pun dibuat, jika si pendatang berhasil mengusir hama, maka ia akan mendapat imbalan dalam jumlah besar.

Orang asing itu pun beraksi, ia memainkan seruling ajaib, suaranya yang merdu memikat para tikus yang segera keluar dari rumah dan liang, mengikuti sang peniup suling.

Dongeng 'Peniup Suling dari Hamelin' berdasarkan kisah nyata?


Terhipnotis dengan alunan suling, para tikus tak sadar telah berada di pinggir Sungai Weser, tercebur dalam airnya, dan kemudian tenggelam. Kecuali 1 ekor.

Setelah berhasil menunaikan tugasnya, si peniup seruling atau Pied Piper menagih janji pada walikota -- yang kemudian ingkar. Ia yang berang bukan main meninggalkan kota, dan bersumpah akan kembali untuk menuntut balas.

Hari itu, 26 Juni 1284, bertepatan dengan Hari Yohanes dan Paulus, Pied Piper kembali ke kota, dengan pakaian berburu berwarna hijau. Kala itu dikisahkan, orang-orang dewasa sedang berada di gereja.

Ia kembali memainkan serulingnya. Kali itu ia menghipnotis 130 anak di desa, yang mengikutinya dengan senang sambil melompat kegirangan, menuju pegunungan.

Kali terakhir anak-anak malang itu terlihat jalanan Bungelosenstrasse. Setelahnya, mereka tak pernah pulang. 

Dongeng 'Peniup Suling dari Hamelin' berdasarkan kisah nyata?

Kisah tersebut diyakini bukan sekedar dongeng atau legenda. Ada muatan fakta di dalamnya. Apalagi, Hamelin atau Hameln adalah kota yang nyata di Jerman, berada dekat Hanover.

Kisah peniup seruling membuat para turis berdatangan ke sana bahkan sejak 300 tahun lalu.

Namun, bukan mudah untuk mengonfirmasi kebenarannya. Seperti Liputan6.com kutip dari situs History Channel Australia & New Zealand, ada banyak teori tentang asal usul kisah tersebut.

Salah satu versi menyebut, kisah tersebut lahir dari sebuah tragedi dahsyat di desa itu, yang mungkin adalah wabah penyakit seperti 'Maut Hitam' (Black Death) atau pes -- yang menyebabkan kematian massal di kalangan anak-anak. Dalam konteks tersebut, figur Pied Piper bisa jadi adalah representasi kematian, yang sering digambarkan pada Abad Pertengahan, sedang meniup seruling.

Namun,  Maut Hitam, wabah yang disebabkan oleh enterobakteria Yersinia pestis yang disebarkan hewan pengerat, terutama tikus tak mewabah pada 1284, baru melanda Eropa pada akhir abad ke-14 (1347 – 1351). Ada lagi yang menyebut, para bocah menderita penyakit St Vitus' Dance.

Lainnya menduga, anak-anak itu menjadi tumbal dalam ritual Pagan di Gunung Koppen, yang letaknya beberapa kilometer dari kota.

Dongeng 'Peniup Suling dari Hamelin' berdasarkan kisah nyata?

Atau, kisah tersebut mungkin berakar dari fenomena migrasi yang dikenal sebagai Ostsiedlung, pergerakan rakyat Jerman pindah ke arah timur selama Abad Pertengahan. 'Anak-anak yang hilang' mungkin cara yang puitis untuk mengatakan bahwa Kota Hamelin mengalami eksodus massal penduduknya.

Ada juga yang menduga, sang peniup suling yang berpakaian flamboyan adalah petugas perekrut yang berkampanye, meyakinkan banyak orang untuk meninggalkan kota.

"Dia (perekrut) mengatakan, kau punya harapan baru di tempat yang baru. Jadi, ikut aku," kata akademisi Profesor Juergen Udolph, seperti dikutip dari BBC.

Sementara, seperti dikutip situs Today I Found Out, ada sebuah jendela kaca patri ditempatkan di Gereja Hamelin pada tahun 1300, untuk memperingati kejadian tersebut, namun telah hancur pada 1600-an.

Konon, di kaca itu melukiskan seorang pria dengan pakaian berwarna-warni dikelilingi oleh anak-anak berpakaian putih. Tidak ada tikus yang terlihat. Pied Piper sebagai penangkap tikus tak pernah disinggung hingga 1550-an.

Bukan itu saja yang terjadi pada 26 Juni. Pada 1718, Tsarevich Alexei Petrovich, putra Peter yang Agung tewas secara misterius setelah divonis mati oleh ayahnya sendiri atas tuduhan makar.

Sementara, pada 1963, Presiden Amerika Serikat John F Kennedy, menyampaikan pidatonya "Ich bin ein Berliner" -- untuk menunjukkan dukungan AS pada rakyat Jerman Barat yang demokratis, pasca pendirian Tembok Berlin oleh pihak Jerman Timur yang disokong Uni Soviet. (Ein/Rmn)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini