Sukses

Di Sekitar Bangunan ini Tragedi 27 Juli Meletus dan Korban Jatuh

Walau sudah berubah total, Megawati mengatakan tidak pernah melupakan insiden yang menyebabkan kantor partainya hancur.

Liputan6.com, Jakarta - Tak ada yang menduga hening pagi, Sabtu 27 Juli 1996, di Jalan Diponegoro No. 58, Menteng, Jakarta Pusat, pecah karena dua 'banteng' beradu. Puluhan nyawa orang terenggut dari raganya. Sebuah gedung di Jalan Diponegoro, menjadi saksi bisu sejarah kelam politik Indonesia itu.
 
Berawal dari kedatangan massa yang mengenakan baju merah bertuliskan 'Kongres Soerjadi' dan ikat kepala dengan warna senada meneriakkan kalimat, “Hidup Soerjadi! Hidup Soerjadi!” sekitar pukul 05.00 WIB.

Suara teriakan itu pun seperti menjadi alarm bagi warga yang terlelap di bangunan itu. Mendengar teriakan 'Soerjadi,' massa di gedung pun membalas dengan “Hidup Mega! Hidup Mega!”

Ketika mendekati gedung, massa dari luar menghujani bangunan itu dengan batu. Tak terima, pendukung Megawati Soekarnoputri membalas.

Semua berhulu dari Kongres PDI di Medan, Juni 1996. Di sana, Soerjadi kembali terpilih sebagai Ketua Umum PDI. Sementara itu, di Jakarta, kubu Megawati menggelar rangkaian mimbar bebas di kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro. Mereka menilai Soerjadi terpilih karena intervensi pemerintah. Konflik pun meruyak. Berujung bentrok berdarah di area kantor tersebut.

Aktivitas politik kelompok Megawati dialihkan ke Jl Lenteng Agung, Jakarta Selatan. PDIP, yang didirikan kemudian oleh Megawati dan para pengikut, menjadikannya kantor DPP.

Sempat telantar, gedung di Jl Diponegoro No 58 itu akhirnya digunakan sejumlah pihak. Pada Senin 1 Juni, PDIP kembali memakainya sebagai "markas besar."

Salah satu saksi hidup Peristiwa 27 Juli tersebut adalah Kuncoro. Saat itu, dia baru 19 tahun, namun sudah ikutan meneriakkan perlawanan kepada Orde Baru.

“Saya berada di gedung sejak Jumat malam. Berkumpul dan berdiskusi. Namun, Sabtu jam 05.00 WIB, kami mendapat serangan. Kami langsung terjaga. Saling lempar. Tak lama kemudian datang polisi-polisi mencoba mendobrak dan masuk,” ujar Kuncoro saat ditemui, di Jakarta, Senin (1/6/2015).

"Mereka yang menyerang. Kami bertahan. Ada meja, kita balikkan meja. Ada batu terlempar, kita balas. Jalan ditutup dan kita tidak bisa keluar,” ungkap Kuncoro.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Belum Juga Terungkap

Harga sebuah perjuangan pun dibayar mahal. Serangan massa Soerjadi ke Gedung Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI merenggut nyawa banyak simpatisan Mega. Kuncoro pun menyaksikan kawan-kawannya terkapar berlumuran darah.

“Para pendukung Soerjadi merangsek paksa. Mereka seperti dibantu tentara. Saya melihat saat kejadian tersebut, kawan saya terkapar dan banyak juga yang diinjak-injak. Akhirnya kami memilih bersembunyi di dalam gedung,” tutur Kuncoro yang kini menjadi Ketua Forum Komunikasi Kerukunan 27 Juli 1996.

Sayangnya, pada era pemerintahan Megawati kasus tersebut belum juga terungkap. Menurut dia, ada sejumlah nama yang harus bertanggung jawab atas pertumpahan darah itu. Dia berharap Presiden Joko Widodo bisa menyelesaikannya.

"19 tahun sudah berlalu, tetapi masih dibiarkan. Ada sejumlah nama yang harus bertanggungjawab yaitu Pangdam Jaya Sutiyoso, Kasdam Jaya Susilo Bambang Yudhoyono, dan masih banyak lagi. Karena itu kita ingin Presiden Jokowi bisa menyelesaikannya,” tutur Kuncoro.

Bukan hanya Kuncoro, seorang mahasiswa Universitas Kristen Indonesia, jurusan kedokteran, juga menjadi saksi Sabtu kelabu itu. Ia adalah Ribka Tjiptaning, kader PDIP yang kini menjadi anggota DPR.

Saat itu, Ribka ditarik masuk ke Kantor LBH oleh rekan-rekannya. Lulusan UKI jurusan Kedokteran ini kemudian merawat luka kader PDIP dalam kondisi darurat. Menurut dia, kondisi korban mengenaskan. “Bahkan ada yang terinjak-injak. Selain itu ada amputasi kelingkingnya. Saya yang menjahit lukanya," kata dia.

Bangunan yang menjadi saksi sejarah itu kini bersalin wajah. Cantik dan megah.

Walau sudah berubah total, Megawati mengatakan tidak pernah melupakan insiden yang menyebabkan kantor partainya hancur. Termasuk juga sejumlah kader PDIP yang meninggal dunia. Karena itu, dia berharap kantor PDIP yang baru direnovasi dapat dimanfaatkan dan dirawat sebaik-baiknya oleh para kader.

Mega juga ingin agar tragedi penyerangan kantor PDIP pada 27 Juli 1996 diabadikan dalam sebuah karya film. Dia menilai peristiwa itu sangat bersejarah bagi demokrasi di Indonesia. "Kita ingin memfilmkan peristiwa ini karena sangat menggugah rasa perikemanusiaan," ungkap Mega. (Bob/Yus)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini